Oleh : Imam Trikarsohadi

Salah satu konsentrasi masyarakat Indonesia saat ini adalah menimbang-nimbang dan menimang-nimang bakal calon pasangan pemimpin pasca era Presien Joko Widodo di Tahun 2024 mendatang. Tentu, seperti biasanya orang banyak, dasar pertimbangannya aneka rupa ; dari yang paling rasional sampai yang susah dicerna akal.

Yang demikian, pun dilakukan para elite partai politik. Kunjung sana-kunjung sini mulai terlihat amat giat. Sinyal – sinyal bakal mitra koalisi mulai kencang diperlihatkan ke publik melalui pelbagai agenda dan cara.  Semua parpol mulai membikin bab pembukaan dengan aneka macam asumsi, alibi, dan sedikit logika dengan tujuan berjaya kedepan dan, tentu berada di pusaran kekuasaan.

Sejauh ini, adalah Partai Nasdem yang sudah secara terang benderang mengambil sikap jalan kedepan dengan mengusung Anies Rasyid Baswedan sebagai bakal calon Presiden dan mempublikasikan bakal mitra kolasi yakni; Partai Demokrat dan PKS, meski tetap membuka diri untuk berkoalisi dengan parpol lainya

Sikap Partai Nasdem ini tentu saja memantik keterjagaan parpol lain ; ada yang merespon sinis dan ada yang  diam-diam membuka kemungkinan bergabung sebagai mitra koalisi. Situasi ini kontan mempengaruhi geopolitik di dalam negeri, dan memalingkan perhatian dunia, terutama negara-negara yang sangat berkepentingan dengan Indonesia untuk berbagai urusan dan kepentingan.

Tentu, semuanya menjadi masuk akal untuk diseriusi. Sebab, permasalahan geopolitik di era saat ini telah menjadi  suatu hal yang sangat kompleks karena menyangkut bagaimana bangsa, negara serta masyarakat pada umumnya berinteraksi dengan tidak melepaskan kepentingannya masing-masing.

Pada saat yang bersamaan, perkembangan teknologi telah membentuk situasi dan kondisi dimana proses interaksi menjadi  sangat cepat.  Situasi ini punya dua sisi; bisa membawa keberkahan namun juga memantik aneka macam persoalan besar bagi umat manusia.

Sebab itu, nasib Indonesia kedepan, pada mulanya akan ditentukan oleh bagaimana para aktor strategis, termasuk para elite partai politik,  memahami dan memanfaatkan kemampuan geopolitik. Sebab, pemahaman dan kemampuan memanfaatkan geopolitik akan mempengaruhi kapasitas otak dan kesadaran para elite terhadap konsekuensi untuk setiap kebijakan strategis yang diambilnya. Yang patut jadi pertimbangan utama dan mesti berhati-hati adalah realitas bahwa pemahaman geopolitik mustahil dikembangkan tanpa mengakui pentingnya keberadaan konsep bangsa dan negara di masa kini.

Ihwal geopolitik, sejatinya, para pendahulu bangsa ini sudah jauh-jauh hari memberi arah jalan pemahaman sebagai suatu konsep khas Nusantara, hal ini tertuang dalam Serat Sasangka Jati yang pada tahun 1932 di Surakarta, atas petunjuk Ilahi (Suksma Sejati), R. Soenarto Martowardojo, menyampaikan bahwa interaksi unsur-unsur alam seperti api, air, angin, dan tanah yang berada di suatu wilayah tertentu sangat mempengaruhi pembentukan karakter dan kondisi fisik penduduk yang mendiami daerah tersebut. Karakter dan kondisi fisik masyarakat tersebut itulah yang menjadi studi penting interaksi geopolitik di berbagai masyarakat dunia yang sangat beragam, namun oleh teknologi dibawa menjadi sedemikian dekat, sehingga potensi konflik akibat perbedaan karakter dan pemahaman akan tinggi apabila para elite dan para pemimpin negara ini tidak memiliki kesadaran geopolitik.

Bung Karno pun menyadari pentingnya pemahaman terhadap geopolitik bagi para pembuat kebijakan strategis Indonesia. Oleh sebab itu pada tahun 1965 beliau mendirikan Lembaga Ketahanan Nasional atau Lemhannas sebagai wadah pendidikan dan kajian geopolitik.

Konsep-konsep geopolitik negara dan bangsa yang saat ini berkembang memang banyak berasal dari tradisi pemikiran barat,  baik dari Eropa maupun Amerika Serikat, namun setiap perkembangan konsep tidak bisa dilepaskan dari sudut pandang kepentingan apa konsep tersebut berasal.

Oleh sebab itu pemahaman mendalam tentang proses terbentuknya Bangsa Indonesia, mutlak diperlukan. Jika hal ini diabaikan, maka kita akan terus terjebak dengan mentalitas dengan sudut pandang yang tidak tepat terhadap kepentingan nasional.

Pemahaman pengambil kebijakan terhadap perkembangan konsep geopolitik, sangat menentukan arah pembentukan kebijakan strategis setiap negara atau entitas non-negara.  Sebab itu, pengambilan kebijakan ihwal siapa pemimpin kedepan juga harus menyadari perkembangan-perkembangan tersebut, karena kelak akan sangat mempengaruhi pengambilan kebijakan strategis Indonesia kedepan.

Akan halnya yang gemar mengadopsi konsep – konsep ketatanegaraan, mesti berhati-hati , karena  melakukan transplantasi suatu konsep, termasuk konsep tipikal pemimpin nasional, tapi  tanpa memahami asal usul konsep tersebut akan beresiko  mencederai kepentingan nasional.

Kompleksitas dari realitas geopolitik, membutuhkan  pendalaman yang penuh kesadaran terhadap segala kemungkinan yang dapat terjadi,  serta kesabaran dalam memahami dan kemudian memformulasikan kebijakan strategis.

Kesabaran menjadi suatu faktor penting dalam formulasi kebijakan strategis karena sebagaimana dijelaskan oleh Serat Sasangka Jati bahwa hal tersebut menyangkut proses penyerapan informasi yang luas namun teliti, serta dijalankan dengan tidak emosional.

Selain itu, kesabaran adalah suatu usaha yang memudahkan untuk menghadapi perkara yang sukar dan gawat, karena didasarkan pada tindakan yang sesuai kemampuan secara teratur dan teliti sampai tercapai apa yang dicita-citakan.

Usaha memperjuangkan kepentingan nasional kedepan, termasuk ihwal kepemimpinan nasional, tentu ini merupakan suatu usaha yang penuh resiko, sebab kepentingan nasional setiap bangsa kerap berbenturan.   Sebab itu, jangan coba-coba bersikap dan bertindak yang meremehkan ancaman terhadap keselamatan nasional.

Persaingan maupun persekutuan politik dalam negeri wajib diselaraskan dengan pagu yang sama yakni; memahami segala dinamika geopolitik yang terjadi hingga terjaganya kepentingan nasional Indonesia secara kokoh.

Dalam praktek kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya yang menyangkut kekuasaan,  kerap menimbulkan kualitas komunikasi amat buruk antar pelbagai elemen bangsa, sehingga berujung pada besarnya potensi terjadi disinformasi di masyarakat. Resiko kian bertambah besar dengan maraknya hoax yang disebar dengan cepat melalui media sosial digital.

Maka ada baiknya, dengan semakin dekatnya tahun persaingan politik, perlu diambil upaya bersama antar pihak yang berkepentingan untuk menggelar program kebangsaan berupa harmonisasi informasi publik.

Melihat gelagat kuat geopolitik dunia yang menajam, mestinya para elite partai politik melakukan dialog-dialog berkaitan dengan kepentingan geopolitik nasional dan perkembangannya,  baik akibat tekanan global, regional maupun domestik sebagai upaya meningkatkan kecerdasan rakyat akan potensi, tantangan dan harapan kedepan.

Sudah saatnya para elite untuk tidak lagi memainkan emosi rakyat hanya untuk meraih kekuasaan, karena secara geopolitik dunia, ancaman kepentingan luar bukan saja semakin dekat, tapi beberapa diantaranya sudah masuk. Abai atau telat sadar, maka boleh jadi — kita akan jadi tamu di rumah sendiri. (*).

Bagikan:

Tinggalkan Balasan