LINGKAR INDONESIA (Bandung) – Pemerhati Kriminalitas Dede Farhan Aulawi mengatakan, jika terjadi suatu peristiwa kematian seseorang atau sekelompok orang yang diduga kematiannya disebabkan adanya tindak pidana, misalnya penganiayaan, pembunuhan, dan lain – lain, maka biasanya dilakukan Autopsi terhadap mayat tersebut. Namun demikian masyarakat umum tentu banyak yang belum paham tentang apa dan kenapa perlu autopsi mayat.
“Oleh karena itu, mungkin ada manfaatnya jika menulis penjelasan mengenai segala sesuatu yang terkait dengan autopsi ini. Dengan harapan tulisan singkat ini bisa bermanfaat bagi masyarakat yang ingin mengetahuinya, dengan memberikan gambaran pengetahuan segala hal yang terkait dengan autopsi “, ujar Dede Farhan Aulawi di Bandung, Minggu (9/7/2023).
Menurutnya, bedah mayat forensik secara etimologi merupakan serangkaian tindakan dengan jalan memotong bagian tubuh seseorang. Dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah Al- Jirahah yang berarti melukai, mengiris, atau operasi pembedahan. Sedangkan secara terminologi Bedah mayat forensik adalah suatu penyelidikan atau pemeriksaan tubuh mayat, termasuk alat-alat organ tubuh dan susunannya pada bagian dalam dengan tujuan menentukan sebab kematian seseorang, baik untuk kepentingan ilmu kedokteran maupun menjawab misteri suatu tindak pidana.
Dalam tahap pemeriksaan di sidang pengadilan, bantuan dari seorang ahli sangat dibutuhkan dalam suatu proses pemeriksaan perkara pidana. Seorang ahli mempunyai peran penting dalam hal membantu aparat penegak hukum yang berwenang untuk membuat terang suatu perkara pidana, dengan cara mengumpulkan bukti – bukti yang berkaitan sesuai dengan bidang ahlinya, dan memberikan petunjuk yang lebih kuat dan lebih mengarah kepada siapa pelaku tindak pidana tersebut, serta memberikan bantuan bagi hakim untuk menjatuhkan putusan dengan tepat dan adil terhadap perkara yang diperiksanya.
Selanjutnya ia juga menjelaskan bahwa dengan merujuk Pasal 6 ayat (2) Undang – Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan bahwa, “Tidak seorangpun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut Undang – Undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya ”.
Dalam beberapa kasus, ketika pihak penegak hukum meminta persetujuan keluarga untuk diadakan Bedah mayat forensik (autopsi) tetapi pihak keluarga merasa keberatan, maka kasus- kasus tersebut tidak bisa diselesaikan sehingga gagal dalam menentukan siapa pelaku dari tindak pidana tersebut, yang memebunuh atau menganiaya terhadap korban.
Kemudian Dede juga menambahkan bahwa bedah mayat forensik dilakukan semata-semata guna kepentingan peradilan, dan kejelasan yang dapat diungkapkan dari Bedah mayat forensik diantaranya untuk mengetahui sebab kematian, cara kematian, pembunuhan, bunuh diri, kecelakaan atau mati karena penyakit. Upaya ini sangat dibutuhkan dalam proses peradilan dari tahap penyidikan, penuntutan, sampai pada pemeriksaan di persidangan. Terkait adanya ketentuan perundangan seperti telah diuraikan diatas, maka dalam proses penyelesaian perkara pidana penegak hukum wajib mengusahakan pengumpulan bukti dan fakta mengenai perkara pidana yang ditangani dengan selengkap mungkin, sebagaimana pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam proses peradilan adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materiil terhadap suatu perkara pidana.
Dalam dunia kedokteran proses kematian terjadi karena dua hal yaitu pertama, meninggal secara wajar, pasien meninggal karena proses sakit yang dideritanya, misalnya seperti meninggal karena penyakit jantung, diabetes, ginjal dan sebagainya. Kedua, meninggal secara tidak wajar, biasanya proses kematian karena adanya unsur paksaan misalnya seperti pembunuhan, bunuh diri, atau meninggal karena kecelakaan.
Lebih lanjut ia juga menguraikan bahwa pelaksanaan proses autopsi tidak boleh sembarangan dan harus ada permintaan surat Visum et Repertum (V.e.R) dari pihak kepolisian (penyidik) dan surat persetujuan dari keluarga korban yang berupa informed consent agar proses autopsi bisa dilakukan terhadap jenazah. Sedangkan dalam hal korban tersebut tidak mempunyai identitas, sehingga tidak diketahui keluarganya, maka dokter dapat melakukan tindakan bedah mayat forensik atau autopsi hanya dengan berdasarkan permintaan Visum et Repertum (V.e.R) dari pihak kepolisian (penyidik) sesuai pasal 133 KUHAP.
“Jadi autopsi (bedah mayat forensik) sangat perlu dilakukan untuk pengungkapan suatu perkara pidana yang berakibat kematian terhadap korban. Bedah mayat forensik dilakukan untuk mencari kebenaran materiil, sehingga membuat terang dalam pemeriksaan disidang pengadilan. Bedah mayat forensik (autopsi) merupakan tindakan medis yang dilakukan oleh dokter kehakiman atas permintaan penyidik guna penyelidikan maupun penyidikan suatu perkara pidana yang mengakibatkan kematian atas korbannya. Inilah sedikit gambaran informasi mengenai autopsi yang saya ketahui. Untuk lebih jelasnya tentu bisa meminta keterangan lebih lanjut dari dokter. Mudah – mudahan sedikit memberikan gambaran dan bermanfaat. Terima kasih “, pungkas Dede. (MLI).