Oleh : Imam Trikarsohadi.
Apa boleh buat, ketika demokrasi sudah sepenunya dikendalikan pasar dan pemodal, maka sistem ini terasa tidak menarik lagi dan menjengkelkan. Belum lagi aneka macam penyimpangan yang menyelinap dalam sistem ini, maka membuat demokrasi menjadi menyebalkan.
Orang ramai boleh saja mengaitkan demokrasi dengan berbagai rupa alasan dan latarbelakang; ideologi, uthopia, identitas, nasionalisme dan seterusnya. Tapi ketika kedaulatan final berujung pada tangan para pemodal, maka hiruk pikuk dan segala macam narasi tak ubahnya sebagai keheboan yang bebal.
Jika sudah demikian, demokrasi hanya sekedar simbol dari sistem ketatanegaraan yang ditandai dengan pesta perebutan kekuasaan lima tahun sekali – sonder adanya pemikiran untuk menyelesaikan masalah yang ada. Yang memuncak dari waktu ke waktu justru bertambahnya koruptor dan para begundal yang menyumbat arah menuju perwujudan kesejahteraan seluruh rakyat.
Ketika seluruh proses politik, baik yang dilakukan pelaku, panitia dan pengawas menjadi tidak lurus, tidak tegas dan selalu bisa ditawar, maka demokrasi tak ubahnya jamuan makan sambil membahas proyek komersil dan rancangan bagi hasil laba.
Sebab itu, kita tak boleh lengah, meski demokrasi adalah sebuh ikhtiar bersama yang eksotik dan memikat, tapi jika salah tafsir dan kacau mengelolahnya, maka apa pun itu, demokrasi akan menjadi segumpal beban kolektif yang hanya menghasilkan syahwat dan pertikaian yang dibuat-buat.
Sebagai sebuah paham sistem, demokrasi sejatinya bukan tata cara bagi-bagi uang receh kepada rakyat, bikin panggung hiburan gratis atau aneka macam kegiatan dan event yang mengelabuhi kewarasan. Karena demokrasi sesungguhnya adalah sebuah upaya kolektif tentang bagaimana kehidupan bersama sebagai sebuah bangsa semakin baik dari waktu ke waktu, sonder penindasan, intimidasi dan teror dalam wujud apapun.
Jadi, adalah kecelakaan yang disengaja jika memperlakukan demokrasi dengan cara seolah-olah sedang berada dalam sebuah tempat dengan mambayar atau dibayari — sambil makan-makan, minum-minum (bisa jadi sambil mabuk), seolah-olah berdebat, seolah-olah berembuk tapi sambil main ludo yang ketika kalah jengkel dan saat menang jejingkrakan.
Semestinya, ketika sebuah bangsa bersepakat berada dalam sebuah sistem demokrasi dengan tujuan mengupayakan hidup bersama yang tanpa korupsi nan sombong, kolusi nan pongah, nepotisme nan belagu, agitasi, teror secara sistemik, penindasan dan pembodohan, maka kita perlu menyadari bahwa dalam sebuah demokrasi, politik adalah sebuah jalan yang acapkali punya kekaburan, maka rakyat harus menolak semua yang semu, penuh omong kosong, perilaku yang dibuat-buat, dusta dan tidak jelas.
Sebab, jika dibiarkan terjadi terus menerus, maka bisa jadi pada suatu ketika akan terjadi kejemuan umum terhadap sistem demokrasi yang ternyata kalah seru dibandingkan pertandingan bola antar kampung (tarkam). Atau jangan-jangan memang benar demokrasi di negeri ini sudah tidak menarik lagi karena hanya mengumbar syahwat kekuasaan para lansia, sehingga kalah seksi dibandingkan serial sinetron FTV.
Demokrasi yang normal mensyaratkan rotasi para elit, terutama kepada mereka yang lebih muda, sesuai jenjang waktu yang telah disepakati bersama. Tujuannya agar tersedia energi yang lebih segar guna menghadapi berbagai tantangan dan peluang sesuai perkembangan zaman. Selain juga untuk mengeleminir syahwat dan ego para lansia yang membatu.
Dengan kata lain: demokrasi akan lebih menggairahkan jika para elitnya diisi oleh sosok-sosok yang lebih energik, lebih cerdas, lebih transformatif, dan lebih berakhlak.
Sebaliknya, ikhtiar bersama dengan sistem demokrasi akan hancur lebur jika kita masih saja berselera dengan para elit yang gemar mengepalkan tangan ke udara sambil meninju langit dengan para pengikut militan, laskar berseragam yang galak dan meneriakkan permusuhan kepada siapa saja yang bukan bagian dari mereka.
Gaya-gaya seperti ini yang mesti dihindari dalam sistem demokrasi kita–sebuah gaya yang menganggap konflik sebagai sebuah kebajikan serta memilih jalan hidup bersama secara berbahaya (vivere pericoloso). Ini sama saja membawa politik fasisme dalam sistem demokrasi. Memang selalu ada godaan dari politik yang seperti itu.
Demokrasi bukanlah pekik revolusi – yang menyatukan politik dengan kekerasan dalam bentuk apapun, dimana keputusan diambil setelah pihak yang dianggap kompetitor diancam, dihancurkan atau disuap. Cara ini, tentu saja akan menghancurkan harga diri dan merusak sendi-sendi moral bersama.
Demokrasi yang mesti dibangun adalah yang mengandalkan sebuah proses dimana; mereka yang bersaing selalu siap untuk berunding. Tidak saja untuk mengemukakan kepentingan yang diwakili, tapi juga mengemukakan sebuah wacana yang lebih universal.
Universalisasi adalah juga jalan ke arah pembebasan–karena tak ada lagi politik penaklukan, karena tak akan ada penguasa yang menindas yang dikuasai, tak akan ada yang terpasung sebagai budak atau yang memperbudak. Di sini tampak demokrasi bukanlah sebuah jalan pendosa.
Untuk itu, agar demokrasi di Indonesia tidak menjadi jalan yang keliru, maka perlu terus ditumbuhkembangkan keniscayaan kompromi. (*).