LINGKAR INDONESIA (Bandung) – Direktur Eksekutif Lembaga Pengembangan Profesi dan Teknologi Kepolisian (LP2TK) Dede Farhan Aulawi mengatakan, ada baiknya semua institusi membangun ‘Whistleblowing Systems (WBS)’ dalam rangka mewujudkan institusi bersih secara substantif. Meski tidak mudah karena terkait dengan sistem pelaporan yang bisa memberikan jaminan rasa aman bagi siapapun yang ingin melapor sebagai wistleblower.
Menurut Dede, harapan mewujudkan institusi yang bersih tentu menjadi harapan setiap warga negara sebagai pijakan dasar menuju tata kelola negara yang bersih. Di setiap tempat atau lembaga selalu ada peluang terjadinya pelanggaran, dan hal itu tergantung kepada orangnya masing – masing. Meskipun pemerintah cq Kemenpan RB sudah memiliki program zona integritas yang terkait dengan Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK) dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM), namun dalam prakteknya belum merepresentasikan sesuai harapan. Seolah hanya formalitas administratif saja, dan belum menyentuh tujuan secara substantif.
“Sebab itu, ada baiknya semua institusi membangun ‘Whistleblowing Systems (WBS)’ dalam rangka mewujudkan institusi bersih secara substantif. Meski tidak mudah karena terkait dengan sistem pelaporan yang bisa memberikan jaminan rasa aman bagi siapapun yang ingin melapor sebagai wistleblower. Apalagi ketika laporan tersebut harus disampaikan kepada orang yang dianggap sebagai bagian dari sistem yang dianggap “rusak”. Di sinilah masalah kepercayaan (trust) menjadi sangat penting sekali. Jangan sampai WBS hanya dianggap sebagai sistem yang akan menjebaknya,” kata Dede dalam diskusi ringan di kediamannya di Bandung, Minggu (25/9/2011).
Lebih lanjut ia menjelaskan, jika itu yang terjadi maka orang tidak akan percaya dengan sistem tersebut, dan pada akhirnya hanya akan melahirkan sifat apatisme sebagai simbol dan manifestasi ketidakberdayaan melawan sistem yang dianggap sudah rusak. Alih – alih memiliki tujuan yang baik, pada akhirnya dia bisa disingkirkan karena dianggap ‘tidak loyal’ dan ‘tidak solid’. Sungguh sebuah penyalahgunaan istilah dari suatu subkultur yang salah.
“Dengan demikian, membangun ‘Whistleblowing Systems (WBS)’ saat ini menjadi sangat penting bagi semua institusi negara, termasuk perusahaan – perusahaan baik perusahaan milik negara ataupun perusahaan swasta guna terciptanya sebuah sistem tata kelola yang bersih, profesional dan kredibel. WBS akan merangsang rasa kepedulian setiap anggota / pegawai untuk menyampaikan laporan jika melihat atau mengetahui adanya dugaan penyimpangan perilaku/penyalahgunaan wewenang atau permasalahan lain yang dilakukan di lingkungannya “, jelas Dede.
Jika laporan tersebut dinilai memenuhi syarat/kriteria WBS, maka harus diproses lebih lanjut. Perlu diketahui bahwa Whistleblower adalah seseorang yang melaporkan perbuatan dugaan adanya tindak pidana yang terjadi di tempat kerjanya, atau pihak terkait lainnya yang memiliki akses informasi yang memadai atas terjadinya dugaan tindak pidana tersebut. Setiap pengaduan pada dasarnya harus ditindaklanjuti jika memenuhi kriteria 5W + 1H, yaitu :
What : Ada penyimpangan kasus yang dilaporkan/peristiwa yang terjadi
Where : Menjelaskan dimana,
When : Kapan kasus tersebut dilakukan
Who : Siapa pejabat/pegawai yang melakukan atau terlibat
Why : Mengapa penyimpanan tersebut terjadi
How : Bagaimana cara perbuatan tersebut dilakukan
Dilengkapi dengan bukti permulaan (data, dokumen, gambar dan rekaman) yang mendukung/menjelaskan adanya dugaan penyimpangan/penyalahgunaan wewewenang atau permasalahan lain.
Dalam konteks ini untuk menciptakan iklim WBS yang kondusif maka perlu ada jaminan yang terkait dengan ‘Kerahasiaan Pelapor’. Laporan dapat disampaikan dengan nama samaran/alias dan hindari orang lain mengetahui username dan password-nya. Whistle blower atau pelapor tindak pidana memegang peran penting dalam penanganan perkara hukum. Peran pelapor sangat dibutuhkan dalam pengungkapan secara menyeluruh suatu tindak pidana, khususnya tindak pidana transnasional yang terorganisasi atau kejahatan luar bisa (extra ordinary crime) lainnya, seperti korupsi / gratifikasi, narkotika, atau terorisme.
Dalam penanganan perkara tindak pidana tertentu, seorang whistle blower harus mendapatkan perlakuan khusus dari penegak hukum atau dari pimpinan yang memiliki wewenang untuk menerima laporannya. Tindak pidana tertentu yang dimaksud seperti korupsi, terorisme, narkotika, pencucian uang, perdagangan orang, maupun tindak pidana terorganisir yang lain.
Merujuk pada UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, pelapor adalah orang yang memberikan laporan, informasi atau keterangan kepada penegak hukum mengenai tindak pidana yang akan, sedang atau telah terjadi. Dalam UU tersebut, whistle blower atau pelapor berhak mendapat perlakuan khusus, seperti perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang timbul akibat kesaksiannya.
Pelapor pun berhak untuk memberikan keterangan tanpa tekanan, dirahasiakan identitasnya atau mendapat identitas baru, dan lain-lain. Selain itu, whistle blower atau pelapor juga akan mendapatkan perlindungan hukum. Pasal 10 Ayat 1 berbunyi, “Saksi, korban, saksi pelaku, dan/atau pelapor tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikannya, kecuali kesaksian atau laporan tersebut diberikan tidak dengan iktikad baik.”
“ Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistle Blower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu, terdapat syarat untuk menjadi whistle blower. Syarat tersebut, yakni yang bersangkutan merupakan pihak yang mengetahui dan melaporkan tindak pidana tertentu dan bukan merupakan bagian dari pelaku kejahatan yang dilaporkannya. Surat edaran ini juga memberi jaminan, jika whistle blower dilaporkan oleh terlapor, maka penanganan perkara terhadap laporan whistle blower akan didahulukan. Tuntutan hukum dari laporan terlapor tersebut wajib ditunda hingga kasus yang whistle blower laporkan telah diputus oleh pengadilan dan memperoleh kekuatan hukum tetap “, pungkas Dede mengakhiri perbincangan.(adv).