Oleh : Ir. Sunu Pramono Budi,MM

Ketika awal penempatan warga kolonisasi di Gedong Tataan,  Lampung (November 1905), sesungguhnya telah ada perpindahan antar masyarakat di Indonesia. Tetapi perpindahan itu umumnya terjadi dari luar Jawa ke pulau Jawa. Motif perpindahan itu lebih karena dagang, merantau, sekolah, dan semangat  ingin  berjuang. Tetapi mobilitas itu tidak terorganisasikan, dan dilakukan orang per orang. Terlebih dimasa lalu,  Pulau Jawa khususnya kota-kota seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya sudah menjadi basis perjuangan generasi muda untuk melepaskan diri dari penjajahan.

Mengapa sejak dahulu banyak orang yang masuk ke Jawa dibanding yang keluar Jawa? Realitas sejarah memang demikian. Sebelum masuknya penjajah Belanda tahun 1600an, silih berganti kerajaan besar ada di Pulau Jawa. Padahal secara kronologis, kerajaan pertama kali di Indonesia adalah Kerajaan Kutai di Kaltim (Rajanya Mulawarman, abad 4). Di Sumatera ada Sriwijaya, di Sulawesi ada Kerajaan Gowa. Di Maluku ada Tidore, dan lainnya. Tetapi kenyataannya keberadaan kerajaan di luar Jawa tersebut kurang berkembang, sehingga kurang menarik para pedagang, pelancong, pelajar, atau suku bangsa lain untuk menetap.

Dampaknya,  ketika awal kolonisasi 1905, telah terjadi ketimpangan sebaran penduduk di Kepulauan Nusantara. Itulah sebabnya, mengapa program kolonisasi dilakukan dengan memindahkan warga dari pulau Jawa ke luar Jawa. Tidak sebaliknya,  mendatangkan penduduk luar Jawa ke pulau Jawa.

Beberapa tokoh pemuda dari luar Jawa yang saat itu hendak berjuang melawan penjajah  berdatangan untuk sekolah atau bekerja di Jawa. Melalui kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya mereka bersatu dengan massa rakyat melawan penjajah.

Ternyata, walaupun kolonisasi sudah dilaksanakan, hingga Proklamasi Kemerdekaan 1945, tetap saja jumlah penduduk Jawa masih lebih padat dibandingkan penduduk luar Jawa. Bisa dibayangkan. Dengan adanya kolonisasi dan transmigrasi saja masih terjadi ketimpangan sebaran penduduk dan pembangunan. Bagaimana jika tidak ada transmigrasi?

Sehingga sudah selayaknya jika para pioner dan pelopor transmigrasi itu disebut sebagai bagian anak kandung perjuangan. Mengapa? Karena, ketika orang-orang berdatangan ke Pulau Jawa, mereka justru bersusah payah melawan arus migrasi untuk membuka hutan belantara Nusantara.

Ketika di Jawa fasilitas tersedia dengan baik, mereka justru meninggalkan kampung halamannya untuk bekerja keras membangun permukiman baru di luar Jawa. Kini hutan belantara itu telah menjadi kota-kota dan kawasan ramai di luar Jawa. Ketika permukiman transmigrasi itu menjelma pusat keramaian, bukan  transmigran saja yang menikmati hasilnya, tetapi juga seluruh warga masyarakat Indonesia.(Penulis adalah Ketum DPP PATRI dan Anggota Dewan Pakar Pusat Kajian Manajemen Strategik).

Bagikan:

Tinggalkan Balasan