Oleh : Ir. Sunu Pramono Budi, MM

Berpartai politik di negeri ini, Indonesia, sebenarnya bukan tradisi kita. Terus terang, sejak kerajaan pertama Mulawarman (abad 4), masuknya Islam (abad 10), hingga dijajah Belanda dan Jepang 350 tahun, kita tidak mengenal kekuasaan melalui partai politik.

Kerajaan dan kesultanan dipimpin para raja dan sultan secara turun temurun. Pelajar kita yang zaman penjajahan sekolah ke Baratlah yang mengenalkan sistem partai politik dalam berdemokrasi (baca: Trias Politica). Sebelum reformasi kita memahami dan mempraktekkan berdemokrasi dengan sistem perwakilan. Bentuknya, ada lembaga perwakilan rakyat dan musyawarah untuk mencapai mufakat. Voting sangat dihindari, dan hanya diambil sebagai jalan terakhir. Sistem ini diberi nama demokrasi Pancasila. Bukan demokrasi bebas (liberal) seperti sekarang ini.

Maka untuk mewadahi sistem berdemokrasi melalui musyawarah untuk mufakat itu, diwujudkan dengan sangat pas dalam sila ke-4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.

Tetapi derasnya era globalisasi serta iming-iming demokrasi, agar negara terlihat modern, para pemimpin telah mereformasi praktek sila ke-4 itu. Sistem perwakilan diganti dengan demokrasi liberal. Bagaimana dampaknya, berapa besar biayanya, berapa yang dipenjara, dan lainnya, bisa kita lihat dan rasakan sendiri. Yang paling nyata, sesama sahabat tega-teganya saling menghujat. Sesama saudara, gampang sekali lisan kita saling menghina.

Permasalahan yang rumit dan berat lainnya adalah ranjau politik. Sepertinya sudah menjadi kebiasaan. Siapa yang berkuasa berupaya “mengerdilkan” lawan politiknya. Demikian pula yang kalah/tidak berkuasa, berusaha menggalang massa beroposisi. Dengan beragam cara berusaha menjatuhkan lawan partai politiknya. Sejarah mencatat, kondisi ini semacam upaya yang sudah laten. Mentradisi.

Seperti diketahui, ideologi dasar yang kemudian menjelma menjadi partai di Indonesia diantaranya: nasionalisme, agama, dan sosialisme. Misal, dari nasionalisme beranak-pinak menjadi parpol seperti PNI, GOLKAR, PDIP, Demokrat, dan seterusnya. Kelompok Agama, melahirkan: PNU, PKB, P3, Parkindo, PSII, PKS, dan lain-lain. Sosialisme melahirkan PKI.

Dalam perjalanan waktu, agar bisa meraih suara banyak, perwujudan partai itu bertransformasi. Gabungan paham nasionalisme agama dan atau sosialisme religius.

Karena itu, jangan heran jika aktivis dan pendiri partai sudah terbiasa dengan fenomena ini. Jatuh dan bangun akan terus dialami. Menjadi “pekerja” partai hampir-hampir seperti beli pakaian. Jika enak disandang, sudah tak nyaman dibuang. Ganti suasana. Penyebabnya, macam-macam. Bisa karena tidak ada pemilih, kurang ambang batas suara, dan atau dikriminalisasi.

Kadang terbesit pikiran. Bagaimana caranya agar kita bisa segera kembali ke sistem demokrasi perwakilan (era sebelum reformasi) seperti dulu? Atau mau eksperimen coba sistem khalifah (zaman Turki Usmani), atau kerajaan saja (seperti Inggris, Belanda, Jepang, Arab, Thailand, Malaysia)? Biaya lebih murah, tak banyak masalah. Tentunya perlu perenungan mendalam dan kesepakatan. Pengalaman bernegara kita, jika belum ada kejadian besar, sulit melakukan perubahan.

Itulah politik. (*)

 

 

Bagikan:

Tinggalkan Balasan