LINGKAR INDONESAI (Jakarta) – Pemerhati Strategi Pertahanan Dede Farhan Aulawi mengatakan, seiring dengan meningkatnya tensi politik global yang ditandai adanya ketegangan di berbagai kawasan, seyogianya meningkatkan kesadaran kolektif dalam menanamkan nilai-nilai bela negara dengan lebih intens.

“Ketegangan bukan hanya ditandai peperangan Rusia vs Ukraina saja, tetapi terjadi di beberapa titik strategis yang dikhawatirkan memicu peperangan global yang dikenal dengan Perang Dunia Ketiga. Hal ini bukan soal bicara berani atau tidak berani, tetapi menakar realitas kekuatan persenjataan yang kita miliki “, ujar Pemerhati Strategi Pertahanan Dede Farhan Aulawi di Jakarta, Jum’at (02/12/2022).

Hal tersebut ia jelaskan dalam diskusi bersama beberapa tokoh bangsa di kawasan Kemang, Jakarta Selatan. Dede juga selama ini dikenal sebagai Dewan Pakar Forum Bela Negara RI Jawa Barat yang aktif menanamkan nilai-nilai cinta tanah air pada generasi muda Indonesia. Untuk itulah, dirinya juga aktif mengajarkan strategi perang gerilya dan anti gerilya dalam mengantisipasi peperangan yang melibatkan Indonesia.

Menurutnya, belajar dari kampanye sukses Alexander Agung tidak hanya dihasilkan dari taktik operasi medan pertempuran semata tetapi juga dari kebijaksanaan politik yang cerdik untuk menanamkan nilai-nilai kesetiaan berbagai suku. Coba perhatikan ketika Alexander merekrut seorang pemimpin gerilya ke dalam pasukannya dan kemudian menikahi putrinya. Beberapa komandan Romawi di Spanyol— Tiberius Sempronius Gracchus , Marcus Porcius Cato,  Scipio Africanus Tua dan Muda , dan Pompeius Agung yang memperkenalkan taktik yang lebih gesit dan fleksibel seringkali berhasil mengalahkan pasukan gerilya besar, dan kemenangan mereka kemudian dieksploitasi oleh perlakuan yang layak dari yang ditaklukkan untuk mendapatkan pendudukan yang relatif damai.

Kemudian dalam penaklukan mereka atas Irlandia, orang Normandia meminjam taktik gerilya musuh dengan berpura-pura mundur, kemudian menggerakkan serangan kavaleri. Taktik ini dilawan dengan mundurnya Irlandia ke negara rawa yang tidak bisa ditembus.

Ketika pengawasan perbatasan diperketat, lalu kembali ke metode perang formal dengan kekuatan penuh untuk menghancurkan. Henry Bouquet, melatih resimen infanteri untuk berperang dengan gaya India dalam Perang Prancis dan India (1754–63). Risalah Bouquet tentang taktik, senjata, pelatihan, logistik , dan formasi taktis terdesentralisasi mengingatkan pada pekerjaan Caesar di Gaul. Jenderal Inggris yang bertempur tidak pernah memahami ajaran Bouquet dan menderita karenanya. Kebutaan serupa membuat Napoleon I dan para jenderalnya kalah telak di Spanyol dan Rusia.

Begitupun dengan penaklukan Prancis atas Aljazair (1830–1844) mungkin akan gagal jika bukan karena perselisihan suku dan inovasi taktis dari Thomas-Robert Bugeaud , yang memahami teknik tipu muslihat peperangan, penyerbuan, dan penyergapan.

Meskipun Bugeaud percaya pada pendudukan yang konstruktif, dia tetap mengandalkan teknik  penyerbuan untuk menerapkan kebijakan bumi hangus agar penduduk asli kelaparan hingga tunduk. Taktik ofensif Bugeaud untuk membersihkan, menahan, dan memperluas daerah penaklukan menjadi model untuk kampanye pengamanan berikutnya di seluruh dunia. Termasuk kemenangan Amerika Serikat atas Barat dan AS terjun ke dalam kolonialisme di Kuba dan Filipina.

Begitulah rangkaian keberhasilan kolonial yang kadang-kadang berbalik karena kepemimpinan yang tidak kompeten dan pasukan yang kurang terlatih.  Blockhouse dan garnisun menjaga perdamaian di daerah yang tenang. Jika penduduk asli memberontak, mereka dipadamkan dengan kekuatan penuh.

Jadi ada beberapa teknik dan taktik gerilya yang bisa dipetik, baik dari berbagai peristiwa pertempuran yang terjadi di luar negeri maupun heroisme teknik dan taktik gerilya di rangkaian sejarah Indonesia sendiri.

Teknik dan taktik gerilya ini terus berkembang seiring perkembangan teknologi, makanya lahir konsep gerilya di medan pertempuran informasi dan media dengan tujuan penyesatan informasi kekuatan, dan saling menjatuhkan psikologis pasukan musuh. Di waktu yang bersamaan memupuk dan memelihara mentalitas pasukan sendiri agar tetap memiliki semangat juang dan militansi kesetiaan terhadap bangsa dan negara.

“Teknik dan taktik gerilya di medan pertempuran informasi ini, dulu TIDAK diajarkan karena teknologinya belum tersedia. Tapi kini menjadi sangat penting untuk diajarkan karena menjadi strategi pertahanan yang integratif. Di saat yang bersamaan mungkin musuhpun melakukan hal yang sama, maka lahirlah desain teknik dan taktik anti gerilya. Untuk itulah, saya sering mengajarkan desain strategi pertempuran gerilya dan anti gerilya kontemporer kepada seluruh elemen bangsa agar bisa dan siap berdiri di barisan depan jika negara membutuhkan, sebagai bentuk manifestasi kecintaan terhadap bangsa dan negara “, pungkas Dede mengakhiri diskusi. (red).

Bagikan:

Tinggalkan Balasan