Oleh : Imam Trikarsohadi
Namanya, Raden Bunyamin. Para Kyai dan masyarakat Cirebon memanggilnya Ki Bun atau Ki Bawuk. Kalangan terdidik dan/ atau para santri senior, mengenalnya sebagai kyai salaf, tapi masyarakat awam justru lebih meyakininya sebagai kyai sakti yang acapkali membantu pengobatan masyarakat oleh sebab gangguan kesehatan di zaman itu, termasuk mereka yang digigit ular atau mengalami gangguan jiwa.
Maklum, hingga tahun 1970 an, fasilitas kesehatan untuk masyarakat sangat jauh dari memadai, hanya tersedia satu klinik kecil untuk satu kecamatan. Itu pun hanya buka sesuai jam kantoran pada waktu itu, Pukul 12 siang sudah tutup.
Diwaktu-waktu tertentu, para ustadz dan puluhan santri yang sedang mondok di Pesantren Babakan, Kecamatan Ciwarangin, Kabupaten Cirebon secara bergelombang mendatangi kediamannya untuk memperdalam “ngaji”.
Pada siang hari, kediaman beliau yang berlokasi persis dijalan utama menuju jalan kecil (lurung) menuju kampung-kampung terpencil dan hutan, menjadi tempat singgah para pejalan jauh dan pencari kayu bakar atau alang-alang dari berbagai desa sekitar menuju hutan.
Dibalik pintu pagar yang terdiri dari susunan kayu dan aneka macam tanaman (terutama aneka macam tumbuhan obat-obatan), Ki Bun selalu menyiapkan air segar dalam kendi.
Di waktu – waktu panen hasil kebun; singkong, boled (ubi), ketela, jagung atau apa pun itu, Beliau akan menyiapkan sebagain hasil kebunnya untuk para pelintas di jam-jam mereka turun dari hutan antara pukul 12 siang hingga 3 sore.
Pada malam hari, saya yang ketika itu masih duduk di bangku SD, acapkali mendapat cerita dari warga sekitar bahwa jika malam menjelang, terutama di malam Jum’at dan bulan Maulud, mereka lebih memilih jalan memutar lewat depan masjid daripada melintasi kediaman Ki Bun.
Berbagai cerita mistis acapkali terlontar dari pengakuan para warga, terutama soal sosok “harimau” yang acapkali muncul di waktu-waktu seperti diceritakan para warga.
“Hmmm ini mungkin sosok Ki Bawuk,’ gumam saya dalam hati. Sosok harimau siluman dari belantara hutan di Sumedang (yang diperkirakan dahulunya pusat Kerajaan Padjadjaran), dan sosok yang jumlahnya jamak ini acapkali diceritakan kakak – kakak Ayah saya, para kyai (paman saya) dan para sepuh waktu itu.
Tapi, tentu, sebagaimana adat saya dari kecil, maka, tak terlalu peduli tentang hal itu. Sebab yang saya tahu dan alami adalah acapkali mencium aneka macam aroma yang berbeda-beda di sekitar halaman dan sudut rumah kakek (mama tua) saya ini, terutama bila malam Jum’at dan malam – malam bulan Maulud hingga usai malam pelal (malam dimana di Keraton Kasepuhan Cirebon menggelar acara panjang jimat).
Sejak kecil, di waktu-waktu itu, hidung saya sudah terbiasa mencium aroma berbeda antara satu sudut dengan sudut lainnya; ada aroma bakaran sate, aroma aneka macam kembang, aroma parfum khas timur tengah, dan aroma yang sampai saat ini saya belum mendapatkan jawabannya.
Apa boleh buat, ketika semua hal ihwal itu saya tanyakan kepada kakek, ia selalu akan menjawab;” tugas mu sekarang belajar, sebab dunia mu kelak akan berbeda dari situasi sekarang…” Lalu,sejurus kemudian, beliau pun akan kembali mengulang wejangannya tentang bahwa kebaikan adalah sifat hati yang alami yang dianugrahkan kepada manusia oleh Gusti Allah, dan ia merupakan unsur paling indah dalam esensi kehidupan manusia. Maka hal yang paling penting untuk seorang manusia adalah untuk mengembangkan kebaikan dan meningkatkan moralitasnya.
Seorang manusia yang baik senang sinau (belajar) seperti, membaca kitab (buku) yang baik dan melakukan perbuatan baik sehingga menjadi teladan bagi masyarakat umum untuk melakukan hal yang sama, hidup dengan damai sejahtera berdasarkan pada prinsip Gusti Allah.
Menurutnya, Gusti Allah mendudukan manusia pada posisinya sebagai “Khalifah Fil Ardhi” Pemimpin di Muka Bumi ini. Tengoklah burung yang tidak henti-hentinya memberi banyak manfaat kepada alam sekitarnya dimulai dari menjadi perantara terjadinya penyerbukan, menjadi bagian dari mata rantai makanan dengan memakan ulat atau serangga yang ada pada ranting atau daun tanaman, kotorannya menyuburkan tanah, suaranya memberikan keceriaan dan kebahagiaan pada manusia dan alam, gerakan terbangnya memberi inspirasi manusia sehingga mampu menciptakan kapal terbang.
Apa yang dilakukan burung semata-mata melaksanakan tugasnya taat kepada perintah Tuhan yang menciptakannya, tidak ada yang merugikan bagi lingkungannya dan Tuhan berikan senantiasa rejeki untuknya dalam berbagai kondisinya dihadapinya.
Tentunya manusia harus jauh lebih banyak memberikan manfaat kepada alam sekitarnya melalui daya, upaya dan karyanya tanpa harus memikirkan dahulu apakah harus dibayar atau tidak. Alangkah bahagianya bila antar sesama manusia saling memberi, saling berbagi, saling membantu dalam berbagai bentuk dan kesempatan yang dihadapinya.
Semua itu bisa dilakukan dari hal yang terkecil sekalipun. Sesungguhnya alam sudah memberikan tanda tanda bagi mereka yang mau memberi dan berbagi kebaikan kepada sesamanya.
Maka, kata kakek, perbanyaklah kebaikan dengan mengerjakan semua aktifitas dengan landasan memberi manfaat kepada diri sendiri dan orang lain, dengan niat ibadah, sukarela tanpa harus dibebani ada balasan materi dari sesama, niscaya kebaikan itu akan memantulkan hasil baiknya.
Itulah kira-kira salah satu dari begitu banyak wejangan beliau yang sampai saat ini masih membekas. Selebihnya ada yang teringat lamat-lamat, dan banyak pula yang cenderung tamat. (*).