MEDIA LINGKAR INDONESIA – “ Harga tanah dari waktu ke waktu pasti akan semakin meningkat dan semakin mahal. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya peningkatan jumlah penduduk yang sangat signifikan, sementara ketersediaan luas tanah daratan juga semakin berkurang baik karena pemanasan global, abrasi laut dan alih fungsi lahan. Oleh karenanya tidak mengherankan jika banyak orang yang tergiur untuk menguasai atau memiliki lahan tanah tersebut. Jika penguasaan tanah tersebut dilakukan secara legal tentu tidak masalah, tetapi jika dikuasai secara ilegal tentu menjadi bermasalah. Untuk menguasai tanah secara ilegal tersebut biasanya para oknum yang satu dengan yang lain saling memanfaatkan dan bekerja sama, sehingga lahir yang disebut dengan mafia tanah “, ujar Pemerhati Pertanahan Nasional Dede Farhan Aulawi, di Bandung, Senin (10/5).

Selanjutnya dia juga mengatakan bahwa dirinya sangat mendukung program Pemerintah dalam memberantas para mafia tanah ini. Para aparat penegak hukum sudah selayaknya harus merespon cepat dan sigap harapan pemerintah tersebut untuk memberantas mafia tanah sampai ke akar – akarnya. Bongkar semua dan tindak sesuai dengan hukum yang berlaku. Namun tentu harus mampu membedakan antara “sengketa tanah’ dengan “mafia tanah”. Mafia tanah itu dikualifikasi suatu kejahatan di bidang pertanahan yang terorganisir, profesional, memiliki modus operandi dan biasanya memiliki jaringan. Ujar Dede.

Kemudian dia juga mencontohkan cara kerja mafia melalui pembuatan dokumen palsu atas bukti kepemilikan hak tanah yang bekerja sama dengan oknum yang mempunyai kewenangan dalam penerbitan bukti alas hak palsu, yang biasanya dilakukan secara rapi sehingga sulit untuk diungkap. Siapapun yang terlibat harus dapat dimintai pertanggungjawaban pidana karena adanya penyertaan tindak pidana termasuk apabila adanya dugaan aktor intelektual sebagaimana Pasal 55 KUHP. Semua aparat penegak hukum sudah memiliki landasan hukum yang kuat untuk mengungkap kebenaran dan memberantas setiap tindak pidana, termasuk para mafia tanah tersebut.

Namun demikian, dalam proses penegakan hukumnya tentu harus mengedepankan prinsip presumption of innocence (asas praduga tidak bersalah), karena Indonesia merupakan negara hukum sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Dalam penanganan perkara ini, tentu diperlukan kecermatan dan kehati – hatian untuk membedakan “sengketa tanah” dan tindak pidana yang dilakukan oleh mafia tanah. Persoalan sengketa hak atas tanah merupakan ranah hukum perdata, sementara tindakan para mafia tanah sudah masuk wilayah pidana. Dalam konteks ini negara harus hadir dalam memberikan perlindungan hukum kepada pembeli yang beritikad baik ataupun pihak-pihak yang telah membebaskan tanah sesuai prosedur yang berlaku dalam rangka pengadaan tanah baik oleh pihak pemerintah maupun oleh pihak swasta.

Begitupun dengan penyebutan atau stigmatisasi sebagai mafia tanah tanpa adanya suatu bukti dapat menimbulkan adanya pencemaran nama baik seseorang yang diberikan perlindungan hukum dalam negara hukum. Oleh karenanya seharusnya penyebutan keterlibatan seseorang itu haruslah dilakukan secara hati-hati dan tidak boleh menyebabkan menyerang kehormatan seseorang.

“ Ke depan sebaiknya direncanakan banyaknya sosialisasi pertanahan ke masyarakat, karena salah satu faktor penyebab timbulnya sengketa tanah juga karena ketidaktahuan atau ketidakmengertian masyarakat dalam melakukan transaksi jual beli tanah, termasuk kelengkapan administrasi kepemilikan tanah. Ketidaktahuan masyarakat inilah yang seringkali dimanfaatkan oleh “oknum” tertentu sebagai “peluang” untuk mengusai lahannya. Mudah – mudahan administrasi peratanahan masyarakat ke depan bisa semakin baik “, pungkas Dede.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan