Oleh : Ir. Sunu Pramono Budi.MM
“Siapa orang tuanya? Saha kolotna? Sinten tiang sepuhipun? Sinten tiang sepahipun?”
Suatu pertanyaan yang sering kita dengar ketika ada anak kecil menangis disuatu pengajian. Kalimat “Orang Tua” dalam sebagian bahasa kita diartikan sebagai sepuh, sepah (Jawa), dan kolot (Sunda), gaek (Minang), tuha (Lampung).
Saya bukan ahli bahasa, tapi tertarik memahami pengertian TUA, SEPAH, SEPUH, KOLOT, GAEK, dan berbagai pengertian dari bahasa lainnya. Unik sih.
Apa kebetulan, atau memang sudah dirancang bahwa ternyata memang tua itu sepuh. “Sepuh”, bisa dimaknai imitasi. Emas sepuhan, disepuh perak, atau cincin hasil sepuhan. Tidak asli. Tenaga fisik orang tua memang tidak sekuat (seasli) saat muda. Karena itu, kekuatan yang sudah sepuhan itu kalau dipaksa akan rontok.
Kata sepah juga begitu. Batang tebu yang digiling dan diambil airnya, bekasnya disebut “sepah” tebu. Sepah biasanya dibuang ditempat sampah, atau untuk bahan bakar di dapur. Maka, jika orang tua tidak bisa menjadi teladan, tak dapat memberi kemanfaatan, “ngalamat” seperti nasib sepah tebu.
Umumnya orang tua juga terkena penyakit “kolot”. Karena usia, pengalaman, riwayat jabatan, perjuangan, dan prestasi sebelumnya, bisa menjadi kolot. Serba ingin dihormati, disanjung, didengar, dihormati, dan dilebihkan. Astaghfirullah.
Budaya dan agama kita mengajarkan, betapa pentingnya menghormati kaum tua. Karena kelebihan orang tua, usianya tidak bisa kita kejar. Bagi kita, yang usianya sudah lebih setengah abad ke atas, perlu memaknai sepuh, sepah, dan kolot itu.
Jika kita sudah tidak punya kelincahan gerak fisik layaknya pemuda, maka kita merawat umur agar tetap ampuh. Sepuh yang ampuh. Sepah yang ampuh. Kolot nu ampuh. Dengan semakin tua kita jadi semakin ampuh, dan tentu lebih bijak. Ampuh dalam pikiran, perkataan, perilaku, dan dalam keteladanannya.
Ya Allah, jadikan kami dan orang tua kami sebagai orang tua yang ampuh. Aamien. (Penulis adalah Ketua Umum DPP PATRI).