MLINGKAR-Bekasi. MENGAPA Madura tetap saja miskin meski kaya minyak dan gas bumi (migas), seperti yang saya sebutkan dalam tulisan sebelumnya? Data dari Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) menyebutkan bahwa Pulau Madura memiliki sekitar 104 blok sumber migas. Sebanyak 20 diantaranya telah dieksplorasi dan dieksploitasi.
Kutipan dari Kajian Naskah Akademik Pembentukan Provinsi Madura berikut bisa menjelaskan dan sedikit memberikan jawaban atas pertanyaan di atas.
Dana Bagi Hasil (DBH) untuk minyak dan gas bumi berbeda dalam prosentase. Untuk minyak bumi, Pemerintah Pusat mendapatkan 85%, sedangkan 15%-nya dibagi ke daerah penghasil. Untuk gas bumi, Pemerintah Pusat mendapatkan 70%, sedangkan 30%-nya dibagi ke daerah penghasil.
Prosentase tersebut sama dengan prosentase bagi hasil yang telah diatur dalam Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract/PSC). Tapi, Pemerintah Pusat juga menambah 0,5% dari bagian bagi hasilnya kepada daerah untuk dana pendidikan. Sehingga share pemerintah pusat berkurang 0,5% sedangkan daerah bertambah 0,5%.
Prosentase tersebut merupakan prosentase yang akan dikalikan dengan bagian yang menjadi hak pemerintah sesuai dengan Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract). Bagian yang diterima oleh pemerintah provinsi/kabupaten/kota tergantung dari definisi daerah penghasil.
Jika daerah penghasil merupakan Pemerintah Pusat (> 12 mil), maka hasil dari lapangan migas itu 100% menjadi milik Pemerintah Pusat. Jika daerah penghasil termasuk wilayah provinsi (4-12 mil), maka dari 15% share daerah, 5% merupakan bagian pemerintah provinsi sedangkan 10% sisanya menjadi hak seluruh kabupaten/kota di provinsi tersebut (dibagi rata).
Jika daerah penghasil termasuk wilayah kabupaten/kota (<4 mil), maka dari 15% share daerah itu, pemerintah provinsi mendapatkan 3%, kabupaten/kota penghasil mendapatkan 6% dan kabupaten/ kota lainnya mendapatkan 6% (dibagi rata).
Secara umum, Dana Bagi Hasil (DBH) Minyak Bumi memiliki prosentase dua kali lipat dari gas bumi. Sehingga, jika daerah penghasil termasuk wilayah provinsi (4-12 mil), maka dari 30% share daerah, 10% adalah bagian pemerintah provinsi, sedangkan 20% sisanya menjadi hak seluruh kabupaten/ kota di provinsi tersebut (dibagi rata).
Jika daerah penghasil termasuk wilayah kabupaten/kota (<4 mil), maka dari 30% share daerah, pemerintah provinsi mendapatkan 6%, kabupaten/kota penghasil mendapatkan 12%, sedangkan kabupaten/kota lainnya mendapatkan 12% (dibagi rata).
Untuk wilayah yang termasuk Pemerintah Pusat, maka 100% dari hasil itu masuk ke Pemerintah Pusat. Menariknya, hampir seluruh blok yang dieksplorasi maupun eksploitasi itu berada di lepas pantai Madura sejauh lebih dari 12 mil laut.
Mengapa bisa begitu? Di sinilah lebih menarik lagi. Padahal, kata Harun Al Rasyid, Ketua Umum Benteng Madura (BENRA), sebenarnya itu Onshore semua. Artinya, sumber migas itu bisa saja diambil dari daratan. “Tapi semuanya ditarik ke 12 mil dari pantai, ada apa ini,” tegasnya kepada Freedom News.
Menurut Sekretaris Dewan Pembangunan Madura (DPM) ini, semua itu dilakukan oleh Pemerintah hanya untuk menghindari batas ini masuk wilayah provinsi atau kabupaten/kota. “Seperti di Riau, itu kan jelas bargaining-nya dengan Pusat. Sekarang ini sengaja dijauhkan dari pantai Madura,” ujarnya.
“Kalau mau jujur, mereka pasti tahu. Mengapa ini ditarik dari pantai menjadi Offshore. Sehingga, ini jadinya tidak ada masukan bagi Madura. Ya, mbok diberi landing point-nya di Madura. Kalau sudah ditarik lebih dari 12 mil dari pantai ya secara ekonomi tidak ada hasilnya,” lanjut Harun Al Rasyid.
Dari 20 blok yang sudah dieksplorasi maupun dieksploitasi di Madura itu, sekitar 70% diantaranya itu di lepas pantai. “Sisanya, 30% kurang dari 4 mil dan 4-12 mil. Ini artinya, sebanyak 70% semua disedot ke Pusat,” ungkap Sekjen Panitia Nasional Pembentukan Provinsi Madura itu.
Operasi Offshore melibatkan kegiatan di perairan, umumnya di luar batas pantai, sedangkan operasi Onshore berlangsung di daratan. Lokasi Onshore merujuk pada kegiatan atau proyek yang terjadi di daratan atau wilayah yang terhubung langsung dengan daratan.
Tidak bisa dipungkiri bahwa Madura itu Pulau Migas. Lihat saja yang ada di wilayah Sumenep, misalnya. Empat perusahaan migas dipastikan melanjutkan eksplorasi di Kabupaten Sumenep. Keempat perusahaan kontraktor kontrak kerja sama (K3S) yakni Husky-CNOOC Madura Limited (HCML), SPE Petrolium, PetroJava, dan Energi Mineral Langgeng (EML).
Seperti dilansir dari TEMPO, Kepala Kantor Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Kabupaten Sumenep, Abdul Kahir, mengatakan PT HCML positif melanjutkan eksplorasinya di perairan Pulau Raas, SPE Petrolium di Kecamatan Pragaan, PT EML di Kecamatan Saronggi, sementara Petro Java di Blok North Kangean. “Dua onshore dan dua lagi offshore,” katanya, Senin, 10 Februari 2014.
Temuan cadangan minyak onshore oleh PT Energi Mineral Langgeng (EML) berhasil mengebor sumur eksplorasi ENC-02 di Desa Tanjung, Kecamatan Saronggi, Sumenep. Cadangan minyak sumur ENC-02 diprediksi mencapai 70 juta barel.
Nurwahidi, Kepala Perwakilan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Jawa Bali dan Nusa Tenggara menerangkan, sumur eksplorasi ini
mulai ditajak pada 9 September 2018 dan berakhir 6 April 2019.
Tindak lanjut kegiatan eksplorasi di wilayah South East Madura Block itu bisa mempengaruhi status Kabupaten Sumenep, sebagai daerah penghasil minyak dan gas.
“Ini penemuan yang menggembirakan dan besar artinya bagi Sumenep yang sudah bertahun-tahun berjuang menjadi daerah penghasil migas,” jelas Nurwahidi, seperti dilansir disemua.com milik BBS Group, mengutip Suarasurabaya.net.
Jika nantinya secara keekonomian bisa diproduksi, produksi minyak dan gas yang dikelola EML bisa meningkatkan perekonomian daerah.
“Apalagi, selama proses pengeboran sumur eksplorasi ENC-02 juga telah melibatkan sedikitnya 50 orang pekerja yang berasal dari warga Desa Tanjung dan sekitarnya. Ini setara dengan sepertiga jumlah pekerja yang terlibat dalam kegiatan tersebut,” jelasnya.
Kahir mengingatkan empat perusahaan asing itu wajib terus berkomunikasi secara intensif dengan Pemerintah Kabupaten Sumenep serta menjalin kerja sama dengan BUMD milik Sumenep, salah satunya adalah PT Wira Usaha Sumekar (WUS). Sejauh ini baru PT Husky yang paling intensif melakukan komunikasi.
Husky, lanjut dia, bahkan memberi pelatihan kepada tenaga sumber daya manusia di PT WUS dan Kantor ESDM Sumenep dalam hal pengadaan barang dan jasa terkait dengan kegiatan eksplorasi migas.
“Kerja sama ini dimaksudkan supaya Sumenep tidak hanya dieksploitasi saja kekayaan alamnya,” ujarnya. Jika empat perusahaan itu mengeksploitasi, ada syarat lanjutan yang harus dipenuhi, yaitu memiliki kantor perwakilan di Sumenep dan bekerja sama dengan BUMD.
Sebelum empat perusahaan itu, sudah ada dua perusahaan migas lain yang melakukan eksploitasi migas di Sumenep, yaitu PT Santos dan PT Kangean Energi Indonesia (KEI).
PT Santos, yang telah beroperasi sejak 2007, tidak hanya menggarap Blok Maleo di Kecamatan Gili Genting, tapi juga Blok Peluang. Sedangkan PT KEI menggarap sumur migas di Pulau Pagerungan Besar dan sumur Terang Sirasun Batur (TSB) di perairan Pulau Komirian, Kecamatan Raas. “Yang sumur Sepanjang sudah ditinggalkan KEI karena cadangan minyaknya habis,” ungkap Kahir.
Di lepas pantai utara Kecamatan Ketapang, Sampang, seperti dikatakan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif, pihaknya menyetujui rencana pengembangan lapangan pertama atau Plan of Development I (POD I) Petronas Carigali North Madura II, di Lapangan Hidayah yang merupakan bagian dari Wilayah Kerja North Madura II.
Persetujuan tersebut diberikan Menteri ESDM melalui surat persetujuan pada 27 Desember 2022 yang merupakan jawaban atas rekomendasi yang disampaikan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas).
Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto mengatakan, Petronas Carigali North Madura II baru menemukan cadangan setelah melakukan pengeboran tiga sumur eksplorasi di wilayah ini. Sumur terakhir yang dibor adalah Hidayah-1 yang menghasilkan penemuan dengan estimasi cadangan minyak sekitar 88,55 Million Stock Tank Barrel (MMSTB).
Lapangan Hidayah berlokasi sekitar 6 kilometer di utara Pulau Madura. Di kawasan ini, beberapa lapangan migas sudah terlebih dahulu beroperasi. “Hal tersebut menunjukkan bahwa jika dilakukan eksplorasi, lapangan-lapangan baru akan tetap mungkin ditemukan bahkan di wilayah yang kegiatan hulu migasnya sudah cukup padat,” ujar Dwi dalam keterangan tertulis, Selasa (10/1/2023).
Lebih lanjut, Dwi menilai bahwa SKK Migas mendorong percepatan POD I Lapangan Hidayah agar sumber daya minyak yang ditemukan dapat segera diproduksi. Adapun, selesainya pengembangan Lapangan Hidayah diharapkan menambah produksi minyak, sehingga diharapkan dapat berperan mengurangi impor.
“Ke depannya, tentu saja Lapangan Hidayah akan menjadi salah satu kontributor penting untuk mencapai target produksi minyak 1 juta barel di tahun 2030,” kata Dwi seperti dikutip dari CNBC Indonesia.
Dwi menyampaikan bahwa kondisi produksi minyak saat ini masih di bawah konsumsi, sehingga upaya mempercepat penemuan minyak agar bisa diproduksi akan senantiasa menjadi prioritas. Adapun untuk produksi gas di atas kebutuhan di dalam negeri, sehingga sisanya diekspor untuk memperkuat devisa negara.
Perkiraan biaya yang diperlukan untuk pengembangan Lapangan Hidayah antara lain terdiri dari biaya investasi (di luar sunk cost) yang diperkirakan sekitar US$926 juta; biaya operasi termasuk PBB sampai lapangan mencapai economic limit sekitar US$ 1,99 miliar; dan biaya Abandonment and Site Restoration (ASR) sekitar US$ 201 juta.
“Masuknya investasi seperti ini merupakan bukti bahwa industri hulu migas Indonesia masih menarik di mata investor. Tinggal bagaimana kita sama-sama bekerja menciptakan iklim investasi yang kondusif,” ujar Dwi.
Dengan disetujuinya POD I Lapangan Hidayah, kegiatan pembangunan fasilitas produksi dapat segera dilakukan. Diharapkan lapangan ini akan mulai berproduksi (onstream) pada awal tahun 2027 dengan tingkat produksi saat itu pada kisaran 8.973 barrel oil per day (BOPD).
Lapangan ini akan mencapai puncak produksi pada tahun 2033 dengan kisaran produksi 25.276 BOPD. Lapangan ini diperkirakan akan aktif berproduksi selama 15 tahun (2027-2041).
Dalam kurun waktu tersebut, lapangan ini diperkirakan akan memberikan kontribusi penerimaan Negara sebesar US$ 2,1 miliar atau setara dengan sekitar Rp 31 triliun.
“Kami berharap semua pemangku kepentingan dapat memberikan dukungan sepenuhnya atas pengembangan Lapangan Hidayah sehingga kontribusi-kontribusi yang kami perkirakan tersebut dapat segera terwujud,” ujar Dwi. (MLI)