Oleh : Ir. Sunu Pramono Budi,MM

Setelah menyimak profil Provinsi Papua Selatan (PPS) dari Wikipedia, saya termenung. Sebagai anak Transmigran, saya sudah terbiasa hidup di pedalaman. Saya juga pernah berkunjung di pedalaman di berbagai provinsi seluruh Tanah Air. Termasuk mengunjungi sebagian pedalaman dan permukiman transmigrasi di Pulau Papua.

Sekarang saya tinggal di Kota Depok. Kota kecil yang termasuk wilayah Jabodetabek (Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang dan Bekasi). Walau Depok beraneka ragam penduduk, kotanya kecil, dan sangat padat penduduk, tetapi terasa nyaman, damai.

Sebagai info, Kota kecil di Selatan Jakarta itu luasnya 200,29 km2. Kecamatan terluas Tapos (33,26 km2), terkecil Cinere (10,55 Km2). Depok terdiri 11 kecamatan, dengan jumlah penduduk 2.056.335 jiwa. Jumlah penduduk tertinggi di kecamatan Tapos (263.000 jiwa), dan terendah di Cinere (101.000 jiwa). Tingkat kepadatan penduduk (densiti) rerata 10.500 jiwa/km2.

Bandingkan dengan Provinsi Papua Selatan (PPS). Provinsi yang ditetapkan pada 2022 (UU Nomor 14/2022) itu  luasnya lebih dari 500 kalinya Kota Depok (117.833,29 km2). Satu provinsi (PPS) jumlah penduduknya hanya seperempatnya Kota Depok (516.075 jiwa). Sehingga kepadatan (densiti) PPS rerata 4 jiwa/km2.

Di PPS ada kabupaten terkecil, yaitu Mappi. Luasnya 24.118 km2, penduduknya hanya 108.295 jiwa. Mirip dengan jumlah penduduk satu kecamatan (Limo, 115.700 jiwa). Ada juga kabupaten (Merauke), luasnya 44.072 km2. Penduduknya hanya 230.744 jiwa. Jika dibandingkan dengan Depok, Kabupaten Mappi luasnya 12 kali lipat. Tetapi jumlah penduduknya sangat kecil.

Apa yang menarik dari data dan fakta itu? PPS yang punya perbatasan dengan manca negara, potensi alam sangat baik, sehingga sangat memerlukan dukungan jumlah penduduk. Karena hakikatnya adanya penduduk berkaitan dengan adanya pasar, sekolah, pedagang, pemerintahan, dan lainnya. Lembaga, infrastruktur, peluang usaha, semuanya untuk melayani kebutuhan orang. Sehingga jika tidak ada penduduknya, atau ada tetapi sangat sedikit, secara ekonomis sulit berkembang. Ada pasar, tidak ada pembelinya. Ada sekolah, tidak muridnya. Dan seterusnya.

Mendatangkan penduduk bisa secara alami. Tetapi biasanya warga pendatang akan memilih lokasi diperkotaan. Sedangkan yang dibutuhkan, bagaimana mempercepat pembangunan di pedalaman. Bagaimana caranya? Cara yang sudah terbukti adalah melalui Gerakan Nasional Transmigrasi.

Di PPS transmigrasi bukan hal baru. Termasuk calon ibukota PSS di KTM (Kota Terpadu Mandiri) Kurik, awalnya kawasan transmigrasi. Hanya saja perlu ada kebijakan yang tepat. Bahwa permukiman transmigrasi yang hendak dikembangkan merupakan gabungan warga lokal dan pendatang. Sehingga diantara mereka bisa saling belajar dan berbagi manfaat. Ini untuk menegaskan kembali bahwa Transmigrasi adalah Gerakan Nasional Perekat Bangsa, lintas agama, suku, dan budaya.

Bagaimanapun, untuk membangkitkan pembangunan daerah, menjaga kedaulatan negara, dan menguatkan konsolidasi Nasional perlu adanya sinergi antar warga Bangsa. Diantaranya memperkuat peran penduduk di kawasan transmigrasi.

Mari kita dukung kebangkitan pembangunan PPS, dengan menguatkan Gerakan Nasional Transmigrasi di PPS.

Menyongsong Hari Kebangkitan Nasional 2023.(*).

 

Bagikan:

Tinggalkan Balasan