Oleh : Imam Trikarsohadi
Kehadiran relawan politik merupakan salah satu modal utama berkembangnya demokrasi Indonesia. Sebab, ia merupakan manifestasi dari meningkatnya partisipasi aktif warga masyarakat dalam berdemokrasi substantial.
Relawan politik yang bergerak secara offline maupun online mampu meningkatkan partisipasi masyarakat yang menjadi kunci kehadiran model pemerintahan demokrasi ekstra parlementer.
Kehadiran para relawan politik juga sebagai konsekuensi logis dari demokrasi yang menganut sistem one man one vote, dimana mengharuskan siapapun yang menginginkan kursi politik harus mendapat suara pemilih terbanyak. Sebab itu, kehadiran relawan menjadi penting bagi massa yang mendukung calon pada kontestasi Pilkada maupun Pilpres.
Apa boleh buat, dalam perkembangannya, fenomena relawan politik seperti telah menjadi pilar utama pelembagaan demokrasi dengan caranya masing-masing, bergerak sendiri untuk mendukung kandidat masing-masing sehingga dapat menjadi titik awal dari dinamika transformasi nilai-nilai politis yang bernuasa patrimonial, oligarkis menuju volunterisme dan partisipatoris.
Tentu saja, demokrasi partisipatoris akan lebih memberikan perluasan pada partisipasi publik dengan basis utama atas kepedulian dan persoalan publik. Namun, tentunya partisipasi efektif yang dimaksud adalah partisipasi yang memiliki kekuatan tawar yang riil, terbuka dan kompetitif dimana publik dapat mengungkapkan pilihan-pilihannya dengan baik dan kemudian diperhitungkan oleh para pengambil kebijakan.
Perluasan partisipasi publik ini diharapkan dapat memunculkan kembali kekuatan-kekuatan sosial non-partai yang selama ini tergerus oleh dominasi kaum oligarki dan arus utama partai politik—sebuah dominasi yang seringkali menyebabkan medium interaksi diruang publik semakin mengecil. Selain itu, demokrasi partisipatoris turut dipengaruhi oleh relasi media massa terutama media cetak dan media sosial–yang bahu membahu turut memberikan sosialisasi dan komunikasi politik dengan baik.
Saya menjadi tertarik akan keberadaan relawan dalam demokrasi, karena memantik ingatan akan jejak-jejak kebudayaan manusia Indonesia yang dibangun di atas kesadaran kohesi kolektif, kerja sama, dan saling menghargai.
Relawan Alinasi Nasional Indonesia Sejahtera (ANIES) misalnya, ia hadir di hampir seluruh provinsi se-Indonesia dalam tempo yang cepat. Selidik punya selidik, speed yang terjadi karena dipicu nilai-nilai persaudaraan dan kasih sayang antar sesama, bukan bertujuan mencari uang atau materi, maka gerakanya dinamis dan trengginas.
Relawan ANIES tidak dapat dikategorikan sebagai partisipasi yang dimobilisasi, sebab partisipasi yang lahir adalah partisipatif sukarela (otonomi) baik melalui aksi empiris di lapangan (offl ine) dan online.
Dalam historiografi politik, istilah relawan (volunteer) dikembangkan semenjak tahun 1755 oleh seorang Perancis M. Fr Voluntaire ketika memberi pelayanan kepada tentara yang sedang berperang. Tugasnya adalah mengabdi secara ikhlas dalam kegiatan altruistik untuk mendorong, memperbaiki, dan meningkatkan kualitas kehidupan di bidang sosial, budaya dan ekonomi. Istilah relawan diambil dari bahasa Jerman “aktivismus” yang muncul pada akhir perang dunia pertama.
Istilah ini kemudian digunakan untuk menandai prinsip keterlibatan politik secara aktif oleh kaum intelektual. Bukan hanya pemikiran, tetapi juga usaha untuk membela dan mewujudkan pemikiran tersebut disebut “aktivisme”. Aktivismus ini merupakan bagian dari ekspresionisme, yang saat itu memiliki nilai politik sangat kuat. Biasanya aktivismus dihubungkan dengan Kurt Hiller, pengarah organisasi Neuer Club yang menaungi para penyair ekspresionis awal; maupun Franz Pfemfert, pendiri majalah Die Aktion pada 1911 yang sangat politis. Dalam berbagai pengertian itu, kaum militan maupun aktivismus akhirnya dapat dikatakan sebagai bagian dari relawan (volunteer).
Kehadiran relawan politik pada kontestasi presidensial 2024 berbeda dengan sejarah awal kelahiran voluntaristik tersebut di atas. Pada saat ini, khususnya Relawan ANIES bukan bagian dari anggota partai politik. Kehadiran para relawan bukan karena daya tarik partai politik melainkan kepada politik nilai yang melampaui kepentingan partai. Bahkan, kehadiran relawan politik dapat disinergikan dengan tim sukses pemenangan kampanye sebuah partai politik, karena fungsi mobilisasi yang lebih masif.
Kenapa gerakan relawan politik lebih masif? Jawabnya karena berbagai aktivitas yang dilakukan benar-benar ditujukan untuk kepentingan bersama. Mereka juga dengan sukarela menyumbangkan dirinya untuk mengambil peran aktif dengan tenaga dan pikiran tanpa berharap keuntungan materi apapun. Dalam hal ini para volunteer sering bersikap proaktif dan bukan reaktif dalam membantu mewujudkan cita-cita bersama guna melahirkan kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera.
Dengan demikian, pada akhirnya, jiwa yang dimiliki para relawan dapat menjadi aspek kunci dari masyarakat sipil dalam upaya pelembagaan demokrasi yang lebih partisipatoris.
Dalam perkembangannya kini, sebut misalnya mereka yang mendukung Anies Baswedan sebagai capres 2024, tecatat telah terbentuk ribuan organisasi relawan politik yang mengorganisasikan diri sendiri dengan sistem kemandirian (self help). Fenomena ini dapat dikategorikan sebagai semakin tingginya kebangkitan politik sipil yang menadai kembalinya partisipasi publik.
Kebangkitan politik sipil dapat ditelusuri melalui kehadiran relawan politik yang tersebar di seluruh Indonesia tanpa sekat agama, etnis atau ras (primordialisme). Relawan politik ini kemudian menciptakan asosiasi sipil secara spontan dengan mengedepankan kepercayaan publik tanpa diperintah oleh partai politik apapun.
Disini kepercayaan (trust) sangat diperlukan guna membentuk integrasi sosial, antara citizen dan lembaga-lembaga demokratis yang dinamis dalam sebuah asosiasi dan/ atau forum.
Maka, bisa dikatakan, partisipasi yang semakin tinggi dari relawan politk dalam konstestasi presidensial 2024, salah satunya disebabkan oleh lemahnya peran partai politik sebagai rahim ideologis bagi calon-calon pemimpin di segala tingkatan.
Masyarakat luas berpenilaian bahwa partai politik semata menjadi alat meraih kekuasaan dan tidak menjadi sekolah kenegarawanan bagi para politisi. Alhasil, partai politik melanggengkan kekuasaan oligarki para patron dalam meraup suara rakyat. Akumulasi dari kekecewaan publik terhadap kinerja partai politik akhirnya melahirkan gerakan relawan politik.
Gerakan non-partisan seperti yang ditunjukkan oleh relawan politik telah mampu mendorong perubahan dari luar sistem politik formal, yang selama ini belum mampu menghasilkan perubahan yang signifi kan.
Kemunculan serpihan-serpihan gerakan sosial non-partisan yakni relawan politik—telah mampu menumbangkan oligarkis partai politik yang sekaligus membangun pelembagaan demokrasi partisipatoris.
Dalam hal ini demokrasi partisipatoris diartikan sebagai demokrasi yang melibatkan seluruh masyarakat dalam proses politik dan pengambilan keputusan publik, baik langsung maupun tidak langsung, dimana rakyat dapat mengajukan usul, masukan mengenai kebijakan yang akan ditetapkan oleh pemerintah.
Bila demokrasi partisipatoris dapat terlembaga dengan baik, maka hal itu akan menjadi salah satu faktor kunci kehadiran model pemerintahan demokrasi ekstra parlementer—yang mana model ini merupakan pencerminan dari aktivitas politik yang diselenggarakan oleh kelompok-kelompok terutama relawan politik diluar institusi-institusi resmi negara.
Disini peran relawan politik diupayakan dapat mengontrol, mengawasi, meningkatkan serta memberikan masukan seputar kebijakan yang dilahirkan oleh pemerintah. Sehingga, akan selaras dengan kehendak rakyat dalam penyelenggara kehidupan bernegara.
Ringkasnya, fenomena baru demokrasi Indonesia tersebut telah menandai perubahan rekonfigurasi relawan politik. (*).