Oleh : f.f. Baghareb [ Fawzy O’nishi ]
Selayang Pandang : Struktur Kota & Heritage Berbasis Lingkungan, Seni Budaya, Sejarah, dan Nasionalisme Kebangsaan dalam Spirit Ihsan di Bekasi dan Kota Penyangga.
‘Almanak masa silam dan planologi kota memerlukan equilibrium baru dalam memahami fungsinya’, tak hanya bagi peningkatan kualitas hidup; cara pandang; self esteem; serta produktifitas masyarakat terhadap kotanya, tapi juga bagi ekosistem dan keberlangsungan kawasan itu sendiri.
Sejalan dengan apa yang telah diutarakan Ketua Umum PKMS perihal Bekasi dalam 20 tahun kedepan – dampak dari kondisi abai dan disharmoni pembangunan terhadap keberlangsungan kawasan – tak berlebihan bila dikatakan bahwa tak semua dari kita berada dalam kondisi sadar terhadap keberadaan dan arti penting aset heritage dan sejarah, yang kini turut limbung bersama disharmoni tata ruang di tengah dinamika masifnya pembangunan bidang ekonomi, serta kebutuhan akan pengembangan struktur fisik yang memang tak terhindarkan dan dianggap mendesak di berbagai wilayah, hingga memunculkan kesan fatalis terhadap lingkungan termasuk pengaruhnya pada indeks percaya diri dan tingkat kebahagiaan masyarakat dalam beberapa dekade.
Heritage yang bagi sebahagian kalangan tampak utopia dan super abstrak untuk dapat tercerna, sejatinya telah memainkan peran penting dalam skala global termasuk di kawasan ASEAN. Membantu menghindarkan program pengembangan kawasan dari kondisi stagnan dan mampu meminimlisir serta me’recovery anomali lingkungn dari dampak urbanisasi maupun kerusakan pembangunan lainnya.
Terlebih jauh, heritage dalam dinamikanya mampu menghasilkan suasana elaboratif dan kolaboratif lintas komponen.
Di level paling memprihatinkan, kota yang kehilangan ekosistem cagar budaya dan ekologi kawasan sekalipun, masih dapat kembali ditata melalui upaya ekplorasi kaleidoskop dan memorabilia sejarah.
Melalui heritage, proses pembangunan fisik dan kualitas daya guna masyarakat akan terhindar dari kondisi kekurangan bahan, dimana heritage dapat berperan dalam membantu memberikan clu serta amunisi ide dan gagasan.
Pembangunan bersifat holistik di berbagai prefektur, county, dan kota modern di dunia global telah menempatkan element budaya dan sejarah menjadi bagian tak terpisah. Wow effect-nya didesain tak hanya untuk mampu menghipnotis tapi juga merambah ke berbagai sektor. Tak mengherankan bila negara kawasan Timur Tengah pun mampu menghadirkan fenomena takjub melalui pendekatan dan penerapan heritage dalam agenda nasional mereka. Kini Saudi Arabia bahkan tak ingin tertinggal dalam mengekplorasi sektor ini. Mesir telah lebih seabad dalam pengembangan heritage yang jadi penyelamat kehancuran ekonomi dan politik pasca pergantian milenium.
Berangkat dari contoh yang umum terjadi di Jabodetabek, aset masa silam Bekasi dalam skala milenium yang kerap diungkap berbagai literatur – kalamana para pengamat barat hendak mendefinisikan keberadaan Jawa maupun ibu kota Indonesia di kancah sejarah dunia – tampaknya belum menjadi perhatian khusus publik Bekasi. Sejarah dan arkeologi Bekasi yang terkonfirmasi secara global rupanya belum dipandang sebagai pendorong bagi pembangunan serta branding kota, para pengambil kebijakan maupun lembaga yang ada belum sepenuhnya mengamplifikasi sektor ini.
Kerap hanya sebatas menjadi kebanggaan berskala lokal, inskripsi prasasti sejarah Bekasi yang secara nasional menempati level ring satu dan berada di Museum Nasional pula, yang hanya berjarak beberapa pal dari pusat pemerintahan kota, tak membuat Kota Bekasi bergerak membentuk perimeter heritage yang komprehensif. Sejarah belum dipandang sebagai aset dan tak masuk dalam line up program yang prioritas dalam pengembangan kawasan.
Kendati kini kita masih sedikit hadir dengan rasa lega, di berbagai wilayah – sektor cultural heritage, wisata edukasi dan sejarah – umumnya hanya dimaknai dengan terselenggaranya perhelatan tradisi budaya skala lokal maupun festival daerah yang umumnya masih bersifat seremonial.
Sektor heritage yang masih termarginalkan bahkan turut berkubang dalam problem sirkular di tengah kalangan masyarakat yang termarginalkan pula. Yakni kelompok yang belum tersentuh aspek heritage dimana anasir itu justru sangat bermanfaat bagi kalangan tersebut.
Fakta bahwa sejarah Bekasi dan kawasan penyangga ibu kota memiliki posisi penting tampaknya belum termaknai secara konkrit. Kaleidoskopnya belum sepenuhnya tergali, ritme sejarahnya pun belum memiliki konsensus bersama. Fisiografi dan arsitektural kota dengan pendekatan modern tak jarang secara gambling hanya terpaku pada andil pengembang.
Tak sedikit khalayak mempertanyakan akan posisi kota penyangga Jakarta dalam sejarah. Dan ironinya diantara banyaknya pertanyaan seputar Bodetabek, hampir keseluruhannya mengerucut pada satu kesimpulan : absennya pemahaman yang benar akan arti penting kawasan bagi Sejarah Nasional maupun andil signifkannya dalam kehadiran ibu kota Kolonial dan negara RI. Tak mengherankan bila sejarah masih belum memiliki tempat khusus dalam kurikulum pendidikan daerah.
Bersyukur dan sungguhlah beruntung, diantara keantah berantahan kawasan, masih ada rasa percaya diri serta optimisme sekelompok masyarakat yang terus berupaya tuk terhimpun, dan sejatinya kita tak sedang berdiri di atas tanah air dan negeri kering kerontang yang tak menyisakan perbendaharaan berharga. Kotak pandora dan tumpukan bukti primer dalam historiografi seperti yang dimiliki Bekasi dan kota sekitar yang sunyi hening, belumlah sepenuhnya tercerabut, hingga kini aset itu tak henti menanti tuk diungkap dan dielaborasi ke berbagai unsur agar terkemas fakta otentiknya.
Sepakatkah kita bahwasanya Tanah Air yang kita pijak memiliki peradaban ? Bukankah heritage adalah salah satu gerbang dan bukti dari tarikh itu ?
Tragedi kolonialisme yang merusak tamadun bangsa Indonesia, masihkah menjadi tanggung jawab bersama untuk memulihkan dan mengurainya ?.
Seiring pergantian almanak, melalui langkah terkecil namun berkesinambungan, penuh harap agar PKMS turut serta menjadi garda utama dalam persoalan ‘forensic history’ wilayah cakupan seperti Depok dan Bekasi; yang lebih membumi dan inklusif serta menyentuh DNA kawasan, hingga harapan akan dampak konkritnya dapat dirasakan seluruh publik.
Sebagai perumpamaan, di tengah belum dimilikinya epicentrum cagar budaya dan sejarah di Kota Bekasi, assessment dan legitimasi bagi kanal heritage dan khasanah ilmu pengetahuan, tak dapat dinafikan memerlukan kepeloporan serta dukungan berbagai institusi dan lembaga, agar semarak tervisualisasikannya Bekasi sebagai kota yang lebih civilize – bertamadun dan memiliki daya saing – dapatlah dicapai. (Penulis adalah Historian Artist – Heritage Supporter – Indie Writer/ Dewan Pakar PKMS).