
Oleh : Imam Trikarsohadi
Oleh sebab berhembus kabar bahwa Pemerintah akan menaikan harga BBM mulai 1 September 2022, berjuta-juta warga di berbagai daerah antri mengisi BBM di SPBU sejak sehari sebelumnya, dan ternyata kenaikan harga BBM tak terjadi pada 1 September, ini berarti, lagi-lagi, pemerintah nge-prank warga nya sendiri.
Pertanyaannya, apa maksud dari tindakan pemerintah (baca : penguasa-red) ini ? Jawabnya, bisa jadi penguasa sedang melakukan taktik psychology politik dengan tujuan testing on the water. Jika reaksi dari masyarakat keras dan masif, maka bisa jadi kenaikan dibatalkan demi reputasi presiden. Tetapi, jangan salah, tujuan menjaga reputasi bisa juga gagal lantaran APBN tak mampu menyanggah dana subsidi untuk BBM.
Inilah betapa gamblangnya bahwa ekspektasi senantiasa mendahului hal-hal yang konkrit dan empiris,celakanya; harga-harga terlanjur naik begitu rencana kenaikan BBM diumumkan. Itu berarti, sejatinya, bahwa kebijakan pemerintah harus realistis, sebab jika sebuah kebijakan didasarkan asumsi semu atau kamuflase, maka pada titik tertentu akan terjebak dalam situasi rumit seperti senjata makan tuan.
Bisa jadi, kenaikan BBM sejatinya tak bisa dicegah dan itu sudah diketahui dan diputuskan kabinet, tapi dijedah untuk sementara waktu demi reputasi presiden, tapi kemudian secara diam-diam BBM akhirnya naik juga. Jika ini yang terjadi, berarti masyarakat terkena serbuan secara ekonomi psychics sebanyak dua kali, yang konsekeunsinya bisa memantik krisis sosial dan politik.
Apa boleh buat, ihwal kebijakan kenaikan harga BBM atau harga kebutuhan pokok, jika memang tidak bisa dicegah, maka sudah pasti akan menurunkan elektabilitas dan legitimasi seorang presiden, ini terjadi di negara manapun di dunia. Artinya, jika kekhawatiran turunnya legitimasi yang dijadikan dasar menunda kenaikan harga BBM, maka hal itu merupakan kalkulasi yang irasional dan tidak transparan. Karena jika harga BBM sudah diumumkan naik, maka otomotis harga-harga juga naik, dan kalaupun kenaikan harga BBM dibatalkan, harga-harga kebutuhan pokok tak bakal turun lagi.
Dan efeknya, masyarakat pada akhirnya tidak percaya lagi terhadap segala macam kebijakan pemerintah, lalu, sebagai reaksinya terjadilah kekacauan ekonomi, termasuk munculnya aneka macam tindakan kriminalitas ekonomi. Sebab, dalam ekonomi ada yang disebut daya tahan akhir, dan itu terhubung dengan psychology masyarakat.
Disinilah pentingnya mempertimbangkan secara serius dan sungguh-sungguh aspek humanitiy dalam pengambilan kebijakan yang menyangkut kepentingan banyak orang, bukan hanya didasarkan data kalkulatif. (*).