LINGKAR INDONESIA (Jakarta) – Para pengamat militer dunia sedang mencermati kemungkinan terjadinya duel antara tentara bayaran Rusian, Wagner Group dengan tentara bayaran Amerika Serikat (AS), Blackwater di perang Ukraina.

Seperti diketahui, tentara bayaran Wagner Group yang membantu pasukan Rusia menjadi sorotan karena kekejaman di medan tempur Ukraina.

Wagner Group masuk ke Ukraina setidaknya sebulan setelah Rusia melancarkan invasi di negara itu.

“Kelompok milisi lain yang terkait dengan Yevgeny Prigozhin, propagandis Rusia yang dekat dengan Putin dan pemilik Wagner, mulai tiba di Ukraina hari ini,” demikian menurut Intelijen Ukraina, seperti dikutip Eurasian Times pada Maret 2022.

Pemerintahan Presiden Vladimir Putin telah menyewa pasukan Wagner Group untuk membantu pasukan Rusia menginvasi Ukraina. Para tentara bayaran ini bahkan terkenal atas dugaan kebrutalan mereka selama beroperasi di Ukraina.

Baru-baru ini, beredar video yang berisi tentara Wagner mengeksekusi pembangkang. Dalam rekaman itu, tampak seseorang membawa palu godam dan memukul kepala sang pembangkang.

Menanggapi video itu, Bos Wagner Yevgeny Prigozhin hanya mengatakan prajuritnya tengah bersenang-senang.

Berdasarkan laporan Uni Eropa, Wagner Group didirikan mantan tentara Rusia Dmitry Utkin sebagai organisasi militer swasta pada 2014.

Utkin memilih nama Wagner lantaran kecintaan dia terhadap komposer anti-Semit Richard Wagner. Jenderal itu juga dilaporkan mengagumi neo-Nazi.

Di tahun yang sama, Wagner pertama kali menunjukkan diri di medan perang saat membantu Rusia mencaplok Crimea dari Ukraina. Tentara bayaran ini juga disebut terlibat dalam upaya gerakan separatisme di Luhansk dan Donetsk agar merdeka dari Ukraina.

Tak hanya itu, mereka dilaporkan terlibat dalam perang di Libya untuk mendukung Jenderal Khalifa Haftar pada 2019, Ketika itu, Haftar melakukan serangan terhadap pemerintah di Tripoli.

Mereka juga sempat beroperasi di Republik Afrika Tengah. Di negara ini tentara Wagner dituduh melakukan pelanggaran hak asasi manusia termasuk pelecehan seksual terhadap perempuan saat bekerja dengan pasukan pemerintah.

Di sisi lain, tentara Wagner juga dituduh bekerja sama dengan para pemberontak untuk mendapatkan berlian yang ditambang secara lokal.

Wagner juga pernah terbang ke Mali untuk berperang melawan kelompok ekstrimis Islam.

“[Tujuan mereka] menyebabkan kekacauan, menimbulkan ketakutan, tak mengkhawatirkan kerusakan tambahan atau hak asasi manusia, menjadi sebrutal yang diperlukan, dan menjadi pandai dan licik sesuai kebutuhan”, kata McFate, seperti dikutip iNews.

Beberapa bulan lalu, Wagner juga merekrut narapidana untuk membantu pasukan Rusia di Ukraina.

Pada perang di Ukraina, Wagner Group kini dipimpin oleh pentolan yang tak kalah brutal, Yevgeny Prigozhin, yang merupakan salah satu kroni Presiden Vladimir Putin.

Namun, Kremlin bukan satu-satunya yang memakai tentara bayaran. Amerika Serikat disebut-sebut pernah melakukan hal serupa dengan mengerahkan pasukan kombatan bayaran Blackwater yang juga terkenal brutal saat perang di Irak.

Pada perang Ukraina, sejauh ini belum terdapat indikasi nyata pertempuran antara Wagner Group dan Blackwater AS. Meski demikian, jika Rusia berlarut-larut berada di Ukraina dan tetap menggunakan Wagner, maka terbuka kemungkinan AS akan mengirim Blackwater.

Pengamat dari lembaga think tank AS Atlantic Council, Sean McFate, mengatakan tujuan pasukan bayaran itu untuk menciptakan ketakutan.

Blackwater

Sementara itu, AS juga disebut-sebut pernah mengerahkan tentara Blackwater saat menduduki Irak pada 2003.

Di Irak, mereka melepas tembakan tanpa pandang bulu, konvoi kendaraan lapis baja, meluncurkan granat, dan menembak kerumunan orang di alun-alun ibu kota.

Mereka juga terlibat dalam pembantaian Nisour Square pada 2007. Setelah insiden tersebut, komunitas internasional ramai-ramai mengecam penggunaan tentara bayaran dalam perang

Empat tentara Blackwater kemudian harus menjalani hukuman penjara karena membunuh 14 warga sipil termasuk dua anak, demikian dikutip The Guardian.

Mereka yakni Paul Slough, Evan Liberty, Dustin Heard, dan Nicholas Slatten. Slatten dijatuhi hukuman seumur hidup, sementara tiga yang lain penjara 30 tahun.

Namun, pada 2020, Presiden AS saat itu Donald Trump memberi pengampunan kepada keempat tentara Blackwater.

“Paul Slough dan kawan-kawannya tak pantas menghabiskan satu menit pun di penjara. Saya sangat emosional atas berita fantastis ini,” kata pengacara Slough, Brian Heberlig.

Pengampunan diberikan presiden AS kepada personel layanan dan kontraktor yang dituduh atau dihukum karena kejahatan terhadap non-kombatan dan warga sipil di zona perang.

Blackwater didirikan Eric Prince. Sementara itu, sang adik, Betsy DeVos sempat menjadi Sekretaris Pendidikan di era Trump pada 2017 hingga 2021. (*/im)

 

Bagikan:

Tinggalkan Balasan