LINGKAR INDONESIA (Kota Bekasi) – Merosotnya kualitas dan output demokrasi saat ini, termasuk di Kota Bekasi, sangat berkorelasi dengan Pemilihan Umum (Pemilu).
Pemilu di Indonesia, termasuk di Kota Bekasi, pada realitasnya memerlukan cost yang sangat tinggi, sehingga investasinya juga tinggi, dan cenderung mengarah pada return on investement, baik itu Pileg, Pilkada dan seterusnya. Inilah yang kemudian menjadi salah satu sebab utama tingginya tingkat korupsi dan tidak memberikan dampak kesejahteraan signifikan kepada masyarakat.
Itu pula yang menyebabkan partai – partai politik tidak diminati kaum cerdik pandai. Sebaliknya, parpol pun lebih meminati siapa pun mereka yang punya modal dibandingkan meminang kaum cerdik pandai.
Efeknya kemudian ada begitu banyak produk undang – undang di tingkat pusat maupun daerah yang tidak bisa dipertanggungjawabkan secara akademis, bersifat parsial dan copy paste.
Demikian antara lain dikemukakan Anggota Dewan Pakar Pusat Kajian Manajemen Strategik (PKMS), Drs. Imam Trikarsohadi, MSi dan Dr. Abdul Khoir pada Diskusi Refleksi Akhir Tahun 2022 PKMS di Graha Hartika, Kota Bekasi, Jum,at (16/12/2022).
Menurut Imam Trikarsohadi, berdasarkan data The Economist Intelligence Unit (EIU) menunjukkan indeks demokrasi kita mengalami penurunan dan berada pada kondisi demokrasi tidak sempurna. Pada tahun 2014 indeks demokrasi 6,79, kemudian merosot menjadi 6,3 dan peringkatnya merosot dari 48 menjadi 64 pada saat ini.
“Sementara itu berdasarkan data dari Transparency International, indeks demokrasi 40 menjadi 37 dengan kemerosotan peringkat dari 102 menjadi 108. Korupsi semakin meningkat dengan kontrol terhadap demokrasi semakin sulit. Hal itu juga ditandai dengan adanya ketakutan masyarakat untuk menyampaikan kritik,” ujarnya.
Padahal, lanjut Imam, arus perubahan yang mendorong demokratisasi Pemerintahan, termasuk pemerinta daerah telah mencapai momentum yang demikian dahsyat dan hampir mustahil untuk ditolak, apalagi dilawan. Kini demokrasi telah menjadi tuntutan yang amat sah dari seluruh masyarakat.
“Tapi mesti diingat, demokrasi bukanlah peristiwa sekejap; dia adalah sebuah proses yang rumit dan berkelanjutan. Karena itu, untuk menumbuhkembangkannya diperlukan pembinaan dan pengelolaan yang tepat,” ujarnya.
Sisi lainya, lanjut Imam, pembangunan berkesinambungan hanya dapat dilaksanakan bilamana pemerintahan lokal diberdayakan untuk memainkan peranan yang maksimal, yang berdasar pada prinsip-prinsip partisipasi dan transparansi, dalam tata cara yang sejalan dengan hak asasi manusia.
Dijelaskannya, inti terdalam dari demokrasi adalah kepercayaan mendasar dari segenap warga masyarakat kepada pihak lain, dalam hal ini pemerintah, untuk mengatur semua urusan dan hajat hidup mereka. Kepercayaan mendasar atau social capital ini hanya bisa ditumbuhkan dari bawah, yakni dari tingkat lokal.
“Sebuah kultur demokrasi lokal yang bersemangat, masyarakat madani yang semarak, dan pemerintah lokal yang inklusif merupakan modal dasar bagi terwujudnya demokrasi yang lestari,” papar Imam Trikarsohadi.
Yang perlu diingat, lanjut Imam, fungsi terpenting dari demokrasi adalah manajemen konflik sosial. Kelompok-kelompok masyarakat madani, pejabat publik dan para pengambil keputusan di berbagai tingkatan, bukan saja merefleksikan konflik riil yang berkecamuk di tengah masyarakat, tapi mereka juga ikut membentuk sekaligus menangani berbagai kesenjangan sosial dan berbagai pertikaian.
“Sebab itu, para pemuka kelompok masyarakat madani dan pengambil keputusan harus memetik pelajaran mendasar bahwa membangun demokratisasi yang damai harus dirintis dari bawah, yakni masyarakat lokal,” urainya.
Kenapa harus dibangun dari bawah, kata imam, karena ada bebagai alasan mengenai bangkitnya kembali kesadaran tentang demokrasi lokal yang kian menggejala di seluruh dunia dengan pelbagai konteksnya.
“Bisa kita cermati dan pelajari kehidupan demokrasi yang mapan dan terkonsolidasi di dunia Barat yang industrialis, kini ternyata diguncang oleh munculnya berbagai tekanan dari wilayah-wilayah perkotaan, yang antara lain merupakan imbas dari pranata perekonomian global, meningkatnya arus migrasi manusia dan maraknya keanekaragaman budaya, tantangan-tantangan baru sebagai akibat meningkatnya angka kriminalitas, menjamurnya pengangguran, krisis perumahan dan jasa transportasi, serta ada kepentingan yang mendesak untuk melestasikan lingkungan,” tuturnya.
Perubahan situasi seperti itu memaksa para pemimpin untuk mengkaji ulang cara kota raksasa atau kota dengan rata-rata jumlah penduduk di atas 10 juta jiwa (megacity), yang kebanyakan tersebar di negara-negara berkembang, bisa dikelola lebih baik, disamping memikirkan bagaimana kota yang lebih kecil di berbagai pelosok dapat mengantisipasi dan menghadapi tekanan seperti itu.
“Dalam konteks baru ini, diperlukan kesadaran bahwa para kepala daerah berserta aparaturya, tidak akan mampu mengatasi masalah-masalah sosial dan ekonomi tanpa dukungan peran serta yang terstruktur dan luas dari para aktor dalam masyarakat madani,” tuturnya.
Untuk itu, kata Imam, harus segera disudahi keyakinan yang berlebihan dari para kepala pemerintahan dan para aparaturnya di berbagai tingkatan bahwa akan mampu menyelesaikan segala persoalah sendirian.
“Untuk itu, konsep pemerintahan harus diperluas dengan pengikutsertaan masyarakat dan organisasi-organisasi masyarakat dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat, bukan cuma dalam proses-proses resmi pemerintah atau kegiatan-kegiatan seremonial,” pungkasnya.
Sementara itu Abdul Khoir memandang perlu sosialisasi dan support moral kepada partai – partai politik akan pentingnya melakukan rekrutmen calon anggota legislatif dari kalangan akademisi, atau paling tidak yang mempunyai kompetensi keilmuannya memadai dan tidak serampangan.
“Sebaliknya juga perlu memantik motivasi sosok-sosok yang punya kompetensi untuk merapat ke parpol sebagai bentuk tanggungjawab jika menginginkan perubahan yang signifikan,” ujarnya.(im).