LINGKAR INDONESIA (Kota Bekasi) – Pusat Kajian Manajemen Strategik (PKMS) menggelar diskusi refleksi akhir Tahun 2022, berbagai aspek dibahas oleh para Anggota Dewan Pakar. Untuk Kota Bekasi, ada beberapa aspek yang menjadi sorotan antara lain, disharmoni penataan tata ruang bagi kehidupan masa mendatang, turunnya kualitas demokrasi, pengembangan budaya asli Bekasi yang tak tentu arah, ancaman kerusakan lingkungan terhadap kehidupan masyarakat dan sebagainya.
Hadir pada acara refleksi yang digelar di Graha Hartika, Kota Bekasi, Jum’at (16/12/2022) itu yakni, Founder PKMS, H. Siswadi MBA dan para anggota Dewan Pakar; Dr.Abdul Khoir, Drs. Imam Trikarsohadi.MSi, Ir. Sunu Pramono Budi. MM, Ir. Hidayat Tri. MM, Hans Muntahar, Chotim Wibowo dan Fawzy Bagarheb.
Founder PKMS, H. Siswadi,MBA dalam pembukaan diskusi mengatakan, penataan tata ruang di Kota Bekasi harus mendapat penanganan yang serius dari sekarang, jika tidak, maka dalam 20 tahun kedepan akan dihadapakan pada situasi yang complicated dalam menghadapi persoalan banjir, kemacetan, polusi udara, kemiskinan, kemasyarakatan maupun lingkungan.
“Masalah tersebut dampak dari sederet perencanaan yang sporadis atau tanpa pikir panjang dampak ke depannya bagi masyarakat dan lingkungan sekitarnya,” kata Siswadi pada diskusi yang di gelar di Graha Hartika, Jum’at (16/12/2022).
Sebab itu, lanjut Siswadi, selain itu berbagai masalah perkotaan timbul akibat perencanaan tata ruang kota yang tidak jelas, serta inkonsistensi pembuat kebijakan dalam melaksanakan perencanaan pembangunan.
“Sebut misalnya soal pengendalian banjir. Jika Kota Bekasi tidak memikirkan saluran drainase selebar 2 meter yang terkoneksi di seluruh Kota, maka 20 tahun kedepan bisa jadi apa yang disebut banjir saat ini menjelma menjadi kota yang tenggelam,” tuturnya.
Jadi jika dari manusianya sendiri saja kurang kesadaran akan pentingnya perencanaan tata ruang kota kedepan, lanjut Siswadi, maka akan muncul persoalan krusial bagi kehidupan kedepan. Berbagai peraturan tertulis maupun himbauan bisa saja dibuat mengenai tata ruang dan lingkungan dalam hidup bermasyarakat, tapi semua itu tiada guna jika tidak diimbangi dengan konsistensi pelaksanaan secara berkelanjutan oleh para pelaku yang seharusnya bisa membawa perubahan jika melaksanakan perannya dengan maksimal.
“Persoalan lainnya, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang sudah disusun, dalam pelaksanaannya tidak sesuai dengan yang telah ditetapkan. Ada begitu banyak area yang semestinya menjadi penyanggah penampungan air telah menjelma menjadi kawasan perumahan, mall, dan berbagai macam bangunan. Akibatnya, upaya-upaya untuk mengembalikan lahan itu ke posisi semula menjadi rumit, termasuk harga pembelian kembali lahan yang selain sangat mahal, juga dalam prosesnya acapkali diwarnai perilaku yang justru menambah masalah,” urainya.
Dijelaskan Siswadi, selain hal-hal tersebut, sumber masalah tata ruang Kota Bekasi adalah tidak adanya perencanaan terintegrasi, sehingga berbagai macam persoalan muncul berkaitan dengan pembangunan kota. Konsistensi dalam melaksanakan aturan yang adapun, lemah.
“Inkonsistensi lainnya dalam penataan kota adalah urbanisasi yang tidak terkontrol. Pemerintah Kota terus melakukan pembiaran yang berakibat pertumbuhan penduduk semakin pesat,” tuturnya.
Belum lagi persoalan transportasi, kata Siswadi, dengan semakin banyaknya masyarakat yang mempunyai kendaraan bermotor pribadi, telah mengakibatkan kemacetan yang akut, karena jumlah kendaran tidak seimbang dengan jalan. Masalah-masalah tersebut menambah kacaunya keadaan tata kota yang sejatinya dari infrastrukturnya masih belum siap.
Menurut Siswadi, ada begitu banyak sumber masalah lain yang berpotensi mengancam harmoni kehidupan Kota Bekasi kedepan. Ini sebenarnya bukan semata tanggung jawab pemerintah kota, tapi semua elemen, termasuk masyarakat sebagai subyek yang sesungguhnya.
“Untuk itu, saluran-saluran komunikasi antara pemerintah kota dengan masyarakat harus diperluas dan ditingkatkan, tidak akan cukup hanya dengan interaksi yang formal saja,” pungkas Siswadi.(im).