MLINGKAR, Bekasi – PILKADA Jawa Timur (Jatim) 2024 semakin menarik perhatian publik, terutama dengan munculnya kecenderungan calon tunggal dalam kontestasi politik di provinsi ini.

Bagi sebagian kalangan, fenomena ini dianggap sebagai tanda dari politik kartel, di mana partai-partai besar bersatu untuk mengamankan kekuasaan tanpa adanya persaingan berarti. Namun, apakah benar demikian? Ataukah kita sebenarnya sedang menyaksikan langkah penting menuju konsolidasi demokrasi yang lebih matang?

Mengapa Hanya Pasangan Khofifah-Emil?

Kecenderungan Jawa Timur menuju calon tunggal, seperti yang terlihat dengan potensi Khofifah-Emil menjadi satu-satunya pasangan calon, bisa disebabkan oleh beberapa faktor yang menunjukkan konsolidasi demokrasi.

Pertama, popularitas dan rekam jejak Khofifah sebagai gubernur yang berhasil selama masa jabatannya. Khofifah Indar Parawansa telah menunjukkan kepemimpinan yang kuat dan efektif selama memimpin Jawa Timur. Program-program sosial yang dia inisiasi, seperti peningkatan akses pendidikan, kesehatan, dan pengentasan kemiskinan, telah memberikan dampak nyata bagi masyarakat Jawa Timur.

Selama masa kepemimpinan Khofifah dan Emil, beberapa indikator penting menunjukkan kemajuan signifikan di Jawa Timur. Tingkat pengangguran di Jawa Timur, misalnya, terus menunjukkan penurunan, dari 4,2% pada 2018 menjadi 3,5% pada 2023, mencerminkan efektivitas penciptaan lapangan kerja di provinsi ini.

Pertumbuhan ekonomi juga tetap stabil, bahkan di tengah tantangan global seperti pandemi COVID-19, dengan angka pertumbuhan mencapai 5,4% pada 2023, lebih tinggi dari rata-rata nasional yang berada di angka 4,8%. Selain itu, angka kemiskinan di Jawa Timur berhasil ditekan, dari 11,2% pada 2018 menjadi 9,8% pada 2023, sebuah pencapaian yang signifikan mengingat kondisi ekonomi yang penuh tantangan.

Di bidang infrastruktur, Khofifah dan Emil juga menunjukkan komitmen mereka dengan membangun lebih dari 1.500 km jalan baru dan memperbaiki 1.000 km jalan yang rusak, yang sangat meningkatkan konektivitas dan mendukung pertumbuhan ekonomi lokal.

Kombinasi antara Khofifah dan Emil, dengan pengalaman dan kapabilitas mereka, menjadikan pasangan ini sulit ditandingi oleh calon lain. Fenomena ini tidak hanya mencerminkan kesuksesan individu, tetapi juga menandakan adanya konsensus yang lebih luas di kalangan partai-partai besar untuk mendukung pasangan yang dianggap paling mampu melanjutkan pembangunan dan menjaga stabilitas politik di provinsi ini.

Konsolidasi Demokrasi, Bukan Sekadar Kartel Politik

Dalam konteks politik Indonesia, kekompakan partai-partai besar dalam mendukung satu pasangan calon bisa jadi mengingatkan kita pada praktik politik kartel di masa lalu, khususnya pada era Orde Baru. Pada masa itu, kartel politik digunakan sebagai alat untuk mempertahankan dominasi kekuasaan dengan menekan persaingan, mengurangi pilihan politik bagi masyarakat, dan memusatkan kekuasaan pada segelintir elit.

Namun, dalam konteks Pilkada Jatim 2024, situasinya berbeda dan lebih kompleks. Alih-alih sekadar mempertahankan kekuasaan, dukungan terhadap calon tunggal Khofifah-Emil bisa lebih dilihat sebagai hasil dari konsolidasi demokrasi yang mulai matang di Jawa Timur.

Konsolidasi ini merupakan proses di mana kekuatan-kekuatan politik yang berbeda, termasuk partai-partai besar, memilih untuk bersatu bukan karena keterpaksaan atau tekanan, tetapi karena adanya kesepahaman bahwa stabilitas dan keberlanjutan pembangunan lebih penting daripada sekadar persaingan politik yang berisiko menimbulkan ketidakpastian.

Konsolidasi ini juga mencerminkan pergeseran politik dari praktik transaksional menuju politik yang berbasis pada konsensus dan kepentingan jangka panjang. Dalam demokrasi yang matang, partai-partai politik mampu mengesampingkan perbedaan ideologis dan kepentingan sektoral demi tujuan bersama yang lebih besar.

Di Jawa Timur, partai-partai tampaknya sepakat bahwa Khofifah dan Emil adalah pasangan yang paling mampu melanjutkan program-program pembangunan yang telah memberikan hasil nyata bagi masyarakat.

Lebih jauh lagi, konsolidasi ini menunjukkan adanya kesadaran di kalangan elit politik bahwa keberlanjutan dan stabilitas merupakan faktor kunci dalam pembangunan daerah.

Dalam konteks ini, munculnya calon tunggal tidak dilihat sebagai ancaman terhadap demokrasi, tetapi sebagai bukti bahwa demokrasi di Jawa Timur telah mencapai tahap di mana stabilitas dan kemajuan ekonomi menjadi prioritas utama.

Ini juga menandakan bahwa partai-partai politik mulai memahami pentingnya menciptakan kepemimpinan yang kuat dan berkelanjutan, yang mampu membawa provinsi ini menuju kemajuan yang lebih signifikan.

Dengan demikian, fenomena calon tunggal di Pilkada Jatim lebih tepat dipahami sebagai proses konsolidasi demokrasi, di mana kekuatan-kekuatan politik yang ada memilih untuk bersatu dalam mendukung pasangan yang diyakini mampu menjaga stabilitas dan melanjutkan pembangunan.

Ini berbeda dari politik kartel yang hanya berfokus pada pelestarian kekuasaan tanpa mempertimbangkan kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Konsolidasi ini juga menjadi cerminan dari kedewasaan politik di Jawa Timur, di mana keputusan politik didasarkan pada evaluasi objektif terhadap kinerja dan kemampuan calon, bukan semata-mata pada pertimbangan ideologis atau kepentingan jangka pendek.

Jawa Timur sebagai Miniatur Rekonsiliasi Politik Nasional

Jawa Timur, sebagai salah satu provinsi terbesar dan terpenting di Indonesia, sering kali dianggap sebagai barometer politik nasional. Dengan populasi yang besar dan keragaman etnis serta budaya yang kaya, dinamika politik di Jawa Timur sering mencerminkan apa yang terjadi di tingkat nasional. Dalam konteks Pilkada 2024, Jawa Timur berpotensi menjadi miniatur dari rekonsiliasi politik nasional yang lebih luas.

Di tengah polarisasi politik yang sering terjadi di tingkat nasional, kesepakatan partai-partai besar di Jatim untuk mendukung satu kandidat bisa dilihat sebagai contoh bagaimana kepentingan bersama dapat mengatasi perbedaan ideologis dan strategi politik.

Ini bukan hanya tentang memenangkan pilkada, tetapi juga tentang menciptakan stabilitas politik yang diperlukan untuk pembangunan jangka panjang. Jika partai-partai besar di Jawa Timur bisa menemukan titik temu dalam mendukung pasangan Khofifah-Emil, ini bisa menjadi contoh bagi provinsi lain dan bahkan di tingkat nasional untuk melakukan hal serupa.

Jawa Timur memiliki sejarah panjang sebagai daerah yang mampu menjadi percontohan bagi kebijakan nasional. Program-program pengentasan kemiskinan dan pembangunan infrastruktur yang berhasil di Jawa Timur sering kali diadopsi sebagai model oleh pemerintah pusat. Jika Pilkada Jatim berjalan lancar dengan calon tunggal yang didukung oleh banyak partai, ini bisa memberikan pesan positif bagi upaya rekonsiliasi dan konsolidasi politik di tingkat nasional.

Kesimpulan

Fenomena calon tunggal dalam Pilkada Jatim bisa dipahami sebagai langkah menuju konsolidasi demokrasi yang lebih matang, bukan sekadar politik kartel. Jawa Timur, dengan segala dinamika politiknya, berpotensi menjadi miniatur rekonsiliasi politik nasional, memberikan contoh bagaimana stabilitas politik dan konsensus dapat menjadi fondasi bagi demokrasi yang lebih kuat dan berkelanjutan.

Dengan demikian, munculnya calon tunggal di Jatim lebih baik dilihat sebagai peluang untuk memperkuat demokrasi, daripada sebagai ancaman. Jawa Timur, sekali lagi, menunjukkan bahwa kepentingan bersama dan stabilitas politik dapat menjadi prioritas utama dalam membangun masa depan yang lebih baik bagi seluruh bangsa. (MLI)

Oleh: Harun Al Rasyid,Wakil Ketua DPD Golkar Jawa Timur Bidang Pemenangan Pemilu

Bagikan:

Tinggalkan Balasan