Di akhir pekan ini, dunia khususnya negara – negara di sekitar kawasan China dihebohkan dengan Peta Baru China 2023 (2023 Standard Map of China) yang dirilis oleh Kementerian Sumber Daya Alam China. Beberapa negara bereaksi keras dengan peta baru tersebut karena dinilai mencaplok beberapa wilayah yang saat ini dianggap milik negara – negara tersebut. Berbagai media pun memuat banyak pendapat dan analisis terkait hal ini “, demikian disampaikan oleh Pemerhati Kajian Strategis Luar Negeri, yang juga Pemerhati Pertahanan dan Keamanan Dede Farhan Aulawi di Bandung, Sabtu (1/9).

Demikian ia sampaikan dalam obrolan Sabtu pagi di kediamannya sehabis melaksanakan olah raga pagi yang menjadi kebiasaannya di waktu libur. Menurutnya, kemunculan peta baru China tersebut, jelas membuat ketidaknyamanan regional dan membuat panas sejumlah negara. Bahkan India, Malaysia dan Filipina telah memberikan nota protes. Hal ini tentu bisa dimaklumi karena dinilai mengganggu serta menggerogoti teritori negara lain. Dengan peta lama yang dikenal dengan ‘9 Dash Line’ saja telah menimbilkan gejolak kawasan, apalagi saat ini menjadi ’10 Dash Line’.

Menanggapi reaksi dari beberapa negara tersebut, Kementerian Luar Negeri China telah melakukan konferensi pers pada hari Kamis lalu, dimana ia menyatakan bahwa peta baru tersebut merupakan praktik rutin dalam pelaksanaan kedaulatan China. Bahkan Presiden Xi Jinping meminta semua pihak agar tidak bertindak berlebihan, tetap obyektif dan tenang, serta menahan diri untuk tidak menafsirkan masalah ini secara berlebihan. Namun pernyataan tersebut tidak mendinginkan suasana kebatinan para pimpinan negara yang merasa keberatan, malah timbul berbagai analisis yang mungkin terjadi. Penguatan sistem pertahanan menjadi pilihan yang tidak bisa dihindari lagi dalam merespon segala kemungkinan yang bisa terjadi di kawasan. Termasuk kemungkinan terjadinya perang, jika solusi damai dinilai tidak lagi menjadi pilihan.

Beberapa negara yang berkeratan dengan ‘Peta Baru China’ ini, berpedoman pada putusan Arbitrase tahun 2016 membatalkan 9 garis putus-putus China. Wilayah maritim di Laut China Selatan (LCS) sesuai dengan klaim China dinilai bertentangan dengan konvensi dan tidak memiliki dampak hukum sepanjang wilayah tersebut melampaui batas geografis dan substantif hak maritim China berdasarkan konvensi. Jadi klaim apapun termasuk apa yang tertuang dalam ‘Peta Baru China’ tersebut, harus sesuai dengan hukum laut UNCLOS 1982. Hal ini merujuk ke dasar hukum laut internasional yang mencakup sejumlah ketentuan seperti batas kelautan, pengendalian lingkungan, hingga penyelesaian sengketa kelautan.

“ Sementara terkait dengan posisi Indonesia dalam konteks ini, Pemerintah selalu menegaskan bahwa Indonesia tidak mengakui peta China yang sebelumnya terdapat 9 garis putus-putus maupun peta saat ini yang 10 garis putus-putus sebagaimana tergambar dalam peta baru China tersebut. Jadi posisinya sangat jelas sekali bahwa Indonesia tidak mengakui klaim China tersebut “, imbuh Dede.

India termasuk salah satu negara yang bereaksi cukup keras melalui saluran diplomatik terhadap klaim China tersebut, karena negara bagian Arunachal Pradesh dan dataran tinggi Aksai Chin dimasukkan sebagai wilayah resmi China. Aksai Chin sendiri, selama ini termasuk wilayah sengketa yang diperebutkan di perbatasan kedua negara dan sempat menimbulkan bentrok berdarah di 2020. India menilai bahwa klaim sepihak China ini tidak memiliki dasar. Bahkan langkah tersebut dianggap akan mempersulit penyelesaian masalah perbatasan yang selama ini disengketakan.

Begitupun dengan Malaysia, khususnya menyangkut batas wilayah di Laut China Selatan (LCS) bersikap menolak mentah-mentah peta baru China tersebut. Dimana dalam peta tersebut telah mengklaim perairan lepas pantai Malaysia sebagai bagian dari Beijing. Pemerintah Malaysia menilai bahwa masalah LCS merupakan masalah yang kompleks dan sensitif, sehingga penyelesaian permasalahannya harus ditangani dengan baik dan rasional serta melalui dialog berdasarkan hukum internasional.

Perlu diketahui bahwa dalam konteks perselisihan batas wilayah di Laut China Selatan (LCS), China memiliki klaim sendiri dengan klaim 9 Dash Line atau 10 Dash Line saat ini. Dimana garis tersebut mengklaim laut dari Kepulauan Paracel (yang juga diklaim Vietnam dan Taiwan) hingga Kepulauan Spratly yang disengketakan dengan Filipina, Brunei, Malaysia, Taiwan dan Vietnam.

Tidak berbeda dengan Malaysia, Filipina pun melakukan hal yang sama, yaitu menolak peta yang dikeluarkan pada Senin lalu oleh Kementerian Sumber Daya Alam China. Khususnya pada klaim China atas batas wilayah di LCS. Filipina menilai bahwa klaim China tersebut tidak memiliki dasar berdasarkan hukum internasional, termasuk Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) tahun 1982. Dengan demikian, Filipina menyerukan kepada untuk mematuhi kewajiban berdasarkan UNCLOS dan Keputusan Arbitrase tahun 2016 yang bersifat final dan mengikat.

Alasan yang mirip sama seperti diuraikan oleh Filipina, Vietnam pun menentang dimasukkannya kepulauan Paracel dan Spratly di Laut Cina Selatan sebagai bagian dari wilayah China dalam peta baru. Vietnam menilai China telah melanggar kedaulatannya atas pulau-pulau tersebut, hak kedaulatan dan hak yurisdiksi atas wilayah maritim sebagaimana ditentukan oleh UNCLOS.

Sementara keberatan dari Pemerintah Taiwan lebih menegaskan terkait keberadaan Taiwan itu sendiri sebagai negara yang independen, dan mengangap bahwa Taiwan bukan bagian dari China. Sementara China sendiri menganggap Taiwan sebagai bagian dari kedaulatan negara itu, tetapi Taiwan tak mengakui klaim China. Secara historis, Taiwan memang telah menjadi bagian dari China sejak abad ketujuh. Namun, Taiwan sempat dikuasai Jepang usai China kalah dalam Perang Sino-Jepang 1895. Amerika Serikat, China, dan Inggris pernah menandatangani Deklarasi Kairo pada 1 Desember 1943 yang mana ketiga pihak mengakui bahwa seluruh wilayah yang dicaplok Jepang dari China, seperti Manchuria, Taiwan, dan Kepulauan Penghu harus dikembalikan ke China. Namun di saat yang bersamaan, di dalam negeri China ada dua partai politik besar sedang memperebutkan kekuasaan yaitu Partai Nasionalis Kuomintang (KMT) dan Partai Komunis China (PKC). Akhirnya timbul peperangan sipil yang dimenangkan oleh PKC, dan pemimpin KMT, Chiang Kai-Shek, harus mundur ke Taiwan. KMT kemudian mendeklarasikan Taipei sebagai ibu kota Republik of China (ROC).

Sementara itu terkait dengan posisi Rusia dalam sengketa perbatasan di Pulau Bolshoy Ussuriysky, menurut beberapa media terjadi sebagai ilustrasi ketidakcocokan Moskow dan Beijing karena Beijing dianggap netral atas perang Rusia-Ukraina. Padahal kedua negara telah menyelesaikan demarkasi perbatasan sejak tahun 2008, dimana kedua belak telah bersepakat untuk membagi Pulau Bolshoi Ussuriysky dengan demarkasi akhir perbatasan sepanjang 4.300 kilometer. Menurut demarkasi tahun 2008, Rusia menguasai sekitar dua pertiga pulau Bolshoi Ussuriysky, sedangkan sepertiga bagian paling barat diserahkan kepada China. Bagian pulau tersebut sekarang dikenal sebagai Heixiazi, dan termasuk dalam provinsi Heilongjiang.

“ Jadi itulah sedikit gambaran dan analisis persoalan yang terkait dengan Peta Baru China 2023, sehingga masyarakat Indonesia bisa mengetahui dan memahami permasalahan dalam konteks informasi yang berimbang. Memang ada pilihan pendapat yang berbeda dalam penetuan batas wilayah tersebut, namun hendaknya kita senantiasa mendorong penyelesaian sengketa dengan jalan damai. Model penyelesaian sengketa perbatasan antara Rusia dan China di pulau Bolshoy bisa menjadi model penyelesaian atas persahabatan dan kerjasama yang damai. Semoga tidak ada lagi peperangan yang terjadi karena faktanya perang dimana pun pada akhirnya telah menimbulkan dampak kerusakan dan kehancuran umat manusia. Seolah – olah peradaban manusia telah mundur beberapa abad yang lalu, dimana manusia saling membunuh, yang kuat menindas yang lemah, sehingga satu sama lain membentuk aliansi kekuatan untuk menumbuhkan rasa aman. Saat aliansi – aliansi pertahanan terbentuk, pada hakikatnya sebuah manifestasi ketidakpercayaan anat satu kekuatan dengan kekuatan lainnya. Inilah posisi strategis Indonesia untuk memainkan peran ‘bebas aktif’ secara maksimal dalam mewujudkan perdamaian dunia. Satu sama lain saling menghargai perbedaan, dan disaat ada perselisihan spirit yang dibangun adalah model penyelesaian damai sesuai ketentuan internasional “, pungkas Dede menutup keterangan dengan sebuah harapan dan pesan damai untuk dunia yang lebih berkeadaban.(mli)

Bagikan:

Tinggalkan Balasan