MLI – Jabatan Bupati, walikota dan Gubernur hasil dari proses demokrasi yang secara instrumental melalui Pemilu, peralihan kekuasaan kepala daerah yang tidak melalui pemilu ditetapkan oleh institusi diatasnya yakni mendagri berdasarkan usulan gubernur, proses ini adalah top-down sedangkan demokrasi itu bottom-up.

Adi Bunardi dari FRAKSI98 Menyatakan PJ Bupati ditunjuk oleh Hirarki diatasnya tidaklah terlegitimasi karena tidak terpilih oleh Rakyat melalui Pemilu, masalah pertama dari penunjukan legitimasi adalah tercederainya proses demokrasi dan rendahnya Legitimasi.

Birokrasi adalah seperti mesin robot yang tidak dapat di intervensi seperti max weber nyatakan, masalah kedua netralitas birokrasi dalam sistem negara ada warna partai politik, karena ada relasi antara kekuasaan politik, meskipun secara UU Aparatur Sipil Negara (ASN) harus netral dari politik tetapi dalam prakteknya kepala daerah yang ditunjuk bergantung terhadap incumbent yang berkuasa, ini tidak sehat untuk membangun sistem kekuasaan yang berdaulat untuk kepentingan publik (Public interest).

ASN yang terpilih menjadi Penjabat Publik rendah legitimasi akan membangun politik akomodasi membangun lembaga-lembaga, tim-tim yang kalau diukur kinerjanya tidak terlalu berdampak pada proses pembangunan tetapi tidak mampu mengakomodasi seluruh lapisan kelompok masyarakat dan akan menjadi friksi ditengah masyarakat karena ada yang pro dan ada yang kontra, inilah menjadi kelemahan penjabat bupati yang dilakukan karena proses penunjukan hirarki dari atas dan tidak dipilih oleh rakyat, lain halnya yang dipilih melalui proses demokrasi yang relatif tidak bergejolak, atau tawaran ide Pejabat politik dipilih oleh DPRD melalui Paripurna lebih terlegitimasi, pemerintah tinggal menentukan syarat-syaratnya, namun proses ini ada sejarah trauma pada masa lalu adanya money politik pada anggota DPR dan tidak adanya mekanisme recalling dari DPP Partai Politik.

Apa Dasar Gubernur mengusulkan ?

Jabatan Politik tidak dapat diserahkan kepada keputusan individu institusi tetapi ditentukan secara kolektif melalui demokrasi, karena penunjukan Gubernur adalah Subyektifitas Gubernur dalam penunjukan cocok atau tidak cocok, sehingga yang dihasil penunjukan Gubernur pun akan bergantung terhadap Subyektifitas Mendagri.

Jabatan Politik yang tidak lahir dari ruh dan semangat demokrasi tetapi lahir dari penunjukkan top-down menjadi masalah dan tidak mencerminkan kedaulatan rakyat kini otoritas penunjukan mengarah kepada proses sentralisme demokrasi.

PJ Bukanlah Pilihan rakyat karena dilandaskan subyektifitas pejabat diatasnya bukan karena pilihan rakyat.

Adiputra (Adhyp Glank) Kaum Muda Syarikat Islam mengutip Alinea ke 4 tentang “yang berkedaulatan rakyat” pada Pembukaan UUD 1945, isi Pasal 18 Ayat 4 “Kepala Daerah dipilih secara demokratis” ini UUD 1945 bukan Kata Mendagri, Pasal 1 ayat 2 “kedaulatan ditangan rakyat” menjabarkan teks asli UUD 1945 sebelum dan sesudah amandemen pada 1999-2002, bahwa Peraturan dan Keputusan Mendagri bertabrakan dengan UUD 1945, Dalam Undang-undang Ada Penyelenggara Pemilu yang kita kenal dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) selaku Lembaga Penyelenggara dan ada Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).

Dadan Ramlan,SH merespon Tema dan memaparkan Penjabat dan Pejabat memiliki definisi yang berbeda, Pejabat adalah orang yang cenderung dipilih langsung oleh rakyat, Penjabat adalah orang yang ditugaskan untuk memimpin dalam hal menggantikan pejabat ketika ada suatu hal yang perlu digantikan.

Dalam hal ini kita lihat regulasi UU no.10 tahun 2016 Perubahan terupdate diubah menjadi UU No.6 tahun 2020 tentang pilkada, tetapi perubahan ini terkait pandemi covid dan masih merujuk kepada UU no.10 tahun 2016, pada pasal 201 ayat 10 untuk tingkat provinsi dan 11 untuk tingkat kabupaten kota, untuk mengisi kekosongan, dari regulasi ini ada tabrakan antara UU dengan UUD 1945, UU tidak boleh melampaui UUD, maka proses hukumnya adalah melakukan Judicial Riview di Mahkamah Konstitusi, Proses dalam pemilihan Penjabat ada hak rakyat yang dilanggar berdasarkan UUD.

Judicial Riview pernah dilakukan dan ditolak putusan No.15 tahun 2020 dengan catatan harus ada Juknis. pertimbangan MK jika dikabulkan pada putusan khawatir terjadi kekosongan sebagai antisipasi.

Meskipun MK sudah menolak tidak menutup kemungkinan masih ada upaya lain dapat menempuh melalui DPR RI, Melalui kewenangan Komisi 3 DPR RI untuk mengubah UU apabila menghendaki mengubah dan memutuskan pasal tersebut atau bisa juga melalui keppres.

Ketua Umum SEMMI Kab. Bekasi menambahkan “Mengingat tertuang dalam UUD 1945 Pasal 22E ayat (1) yang menyatakan bahwa “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali”. Jadi Proses Penunjukan Kepala Daerah melalui Gubernur dan Mendagri merupakan indikasi Perbuatan Melawan Undang Undang Dasar. (GZ)

Bagikan:

Tinggalkan Balasan