MEDIA LINGKAR INDONESIA – Sebagai negara maritim dan letaknya yang sangat strategis, wilayah Indonesia akan banyak dilalui oleh transportasi perairan. Baik itu laut, danau maupun sungai. Transportasi laut tentu memiliki jumlah yang terbanyak karena 2/3 wilayah Indonesia terdiri dari laut. Dengan demikian maka faktor keselamatan transportasi laut harus benar – benar dilakukan oleh seluruh pihak yang terkait dalam rangka mencegah kemungkinan terjadinya kecekaan laut.

Namun demikian cara menginterpretasikan tugas dan kewajiban masing – masing instansi yang terkait dalam upaya pencegahan kecelakaan laut nampaknya belum dipahami betul, sehingga terjebak oleh rutinitas dan biasanya. Dalam konteks ini dan dalam upaya mendukung program Pemerintah yang ingin menjadikan perairan Indonesia sebagai poros maritim dunia, seyogiayanya negara selalu hadir dalam memberikan jaminan keselamatan dan keamanan transportasi laut. Setiap instansi harus menanggalkan ego sektoral yang seringkali mencuat dengan mengedepankan kewenangan dan undang – undang yang dimiliki masing – masing. Padahal koordinasi tentu akan menjadi jalan tengah yang efektif dalam melaksanakan setiap tugas untuk kepentingan bangsa dan negara.

Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah mengontrol kemungkinan terjadinya laju korosi pada komponen pelat utama baik lambung maupun konstruksi dari sebuah kapal. Disiplin pelaksanaan kontrolnya tentu harus dilakukan bersama sesuai dengan tupoksi masing – masing. Disinilah peran pengawas menjadi sangat penting untuk melihat apakah kewajiban pengendalian laju korosi benar – benar diperhatikan dan dilaksanakan atau tidak. Jika tidak dilakukan maka probabilitas terjadinya kecelakaan perairan bisa meningkat.

Oleh karenanya diperlukan berbagai cara untuk melindungi baja tersebut dari berbagai kerusakan yang mungkin terjadi dengan tujuan meningkatkan keselamatan pengoperasian kapal dan juga memperpanjang umur pakai material kapal.

Dalam konteks ini, ada beberapa prinsip pencegahan korosi pada baja yaitu dengan cara melapisi baja dengan lapisan penghalang (coatings). Coating biasanya dilakukan saat kapal baru selesai di buat maupun saat pengedokan/reparasi kapal. Permasalahan yang terjadi khususnya pada saat reparasi kapal dapat menghambat pekerjaan pada suatu galangan secara keseluruhan, oleh karena itu diperlukan pemecahan masalah pada tiap kasus yang terjadi pada dok tersebut.

Penentuan produk cat yang tepat dan tahan terhadap pengaruh lingkungan korosif bukanlah hal yang mudah, karena produk cat yang ada di pasaran saat ini, khususnya cat untuk kapal laut hanya diformulasikan untuk daerah tropis, komposisi dan karakteristiknya belum tentu sama. Merk cat memiliki beberapa kriteria saat pengecatan salah satunya suhu pada saat pengecatan haruslah 380 C serta waktu tunggu untuk pelapisan berikutnya ialah 4 jam. Sementara itu jika ditinjau cuaca dan musim hujan seperti saat ini, suhu yang digunakan rata – rata dibawah standar dikarenakan hujan serta mendung.

Kemudian perusahaan juga sering dituntut untuk mengejar waktu deadline maka akhirnya seringkali mengabaikan suhu serta waktu yang menjadi standar peraturan dari merk cat yang dipilih dan digunakan. Untuk itu perlu dikontrol performance dari cat tersebut jika dipaksakan dalam kondisi demikian, yang meliputi katahanan terhadap lingkungan asam, maupun kekuatan adhesi cat.

NACE (National Association of Corrosion Engineer) mendefinisikan korosi sebagai penurunan mutu suatu material (biasanya baja) atau sifat-sifatnya yang diakibatkan oleh reaksi dengan lingkungannya. Kemudian Trethewey memberikan definisi korosi sebagai penurunan mutu baja akibat reaksi elektrokimia dengan lingkungannya. Secara prinsip bahwa fenomena korosi hanya akan terjadi jika memenuhi keempat faktor berikut :
– Anoda, merupakan daerah baja yang mengalami korosi (teroksidasi)
– Katoda, merupakan daerah baja yang tidak terkorosi (tereduksi)
– Elektrolit, sebagai media penghantar listrik
– Penghubung antara anoda dengan katoda (metallic path)

Perlu diketahui juga bahwa pada dasarnya semua baja tidak stabil dan cenderung bereaksi dengan lingkungannya, dengan membentuk senyawa oksida atau karbonat yang bersifat stabil. Kecenderungan baja untuk melepaskan elektron pada saat terjadi proses reaksi elektro-kimia dalam membentuk korosi, menunjukkan sifat keaktifan dari baja yang bersangkutan. Reaksi reduksi oksidasi adalah jika ada reaktan yang melepas elektron (spesi ini mengalami reaksi oksidasi, zatnya sering disebut reduktor) dan menerima elektron (spesi ini mengalami reaksi reduksi, zatnya sering disebut oksidator) maka dikatakan reaksi reduksi oksidasi dapat berlangsung.

Tingkat kemudahan/ kesulitan reaksi reduksi – oksidasi sangat tergantung pada kemudahan dari masing-masing reduktor untuk melepas elektronnya dan oksidator dalam menerima pasangan elektronnya. Sedangkan tingkat kemudahan/kesulitan reaksi reduksi–oksidasi dapat dilihat dari tingkat energi yang diperlukan untuk reaksi tersebut. Energi yang muncul dari reaksi ini dilambangkan sebagai Potensial Sel standar (E sell), yang secara matematik dapat dituliskan seperti berikut :
E sell = E reduksi – E oksidasi atau
E sell = E kanan – E kiri.
Semakin besar harga E sell, berarti semakin mudah reaksi reduksi-oksidasi tersebut berlangsung, demikian juga sebaliknya, semakin kecil harga E sell semakin susah reaksi reduksioksidasi tersebut berlangsung. Untuk memperlambat korosi, ada beberapa cara yang bisa ditempuh, yaitu pelapisan logam, pengecatan, perlindungan katodik, dan memperkecil katalisator dalam sistem.

Dengan demikian jika semua komponen bangsa memiliki kepedulian untuk meningkatkan keselamatan transportasi perairan, maka laju korosi dinding kapal maupun konstruksi kapal harus benar – benar diperhatikan. Jika ada oknum yang mengabaikannya maka tentu harus ada konsekuensi hukum karena mengancam keamanan dan keselamatan para pengguna moda transportasi perairan tersebut.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan