MLINGKAR, Bekasi – Kementerian Agraria dan Tata Ruang Republik Indonesia, Badan Pertanahan Nasional (BPN), Kantor Wilayah (Kanwil) serta Kantor Pertanahan Kabupaten dan Kota (Kantah) harus berbenah diri. Lakukan Reformasi Birokrasi. Karena sudah banyak masyarakat yang jadi korban.

Hal ini disampaikan oleh Praktisi Hukum dari Kantor Advokat & Pengacara, Robinson Siboro, SH, Kamis (6/2/2025).

“Menurut saya, apa bisa kita sebut agraria yang salah? Apa oknumnya? Apa Kepala Kantornya? Kelemahan di agraria dan tata ruang saya pikir mereka harus mengkoreksi dirilah. Banyak masyarakat yang berbenturan Hukum terkait agraria, dari dobel sertifikat hingga beralih nama,” ujar Robinson Siboro.

Robinson menjaskan didalam Undang-Undang Agraria Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria mengatur hak-hak atas tanah, dasar-dasar penguasaan tanah, dan pemanfaatan sumber daya agraria.

“UU Agraria mengatur berbagai hak atas tanah, di antaranya: Hak milik, Hak guna usaha, Hak guna bangunan, Hak pakai, Hak membuka tanah dan memungut hasil hutan, Hak sewa. UU Agraria juga mengatur pendaftaran tanah untuk menjamin kepastian hukum. Pendaftaran tanah dilakukan oleh Pemerintah secara berkala dan teratur. UU Agraria juga menghapus perbedaan antara hukum adat dan hukum perdata Belanda yang berkaitan dengan pertanahan,” terangnya.

Setifikat Hak Milik (SHM), lanjut Robinson, adalah Setifikat Kepemilikan yang paling tinggi. Berdasarkan UU Pokok Agraria, Sertifikat itu bukti hak kepemilikan atas tanah. Dibawahnya ada Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Pengelolaan Lingkungan (HPL).

“Nah, sering terjadi tumpang tindih antara sertifikat diatas sertifikat. Mereka (BPN) tau kalau di atas (Kantor) itu ada sertifikat tapi mereka (oknum) menerbitkan sertifikat lainnya. Contoh, ada bekas klaien saya di Desa Sukawangi, Kabupaten Bekasi. Diatas sertifikat ada terbit dua sertifikat. Didaerah Setia Mekar, Tambun Selatan, warga pemilik Sertifikat Hak Milik bisa digusur. Padahal mereka beli dari Sertifikat dan dibalik nama menjadi Hak Milik yang menerbitkan BPN Kabupaten Bekasi tapi kok bisa mereka tidak dapat mempertahankan itu, produknya dia. Inilah ulah oknum,” urai Robinson.

Diwilayah Kabupaten Bekasi, sambung Robinson, kurang lebih ada 587 Setifikat HGB-SHM bisa terbit di laut. Mengacu pada PP No.18/2021 jo Permen ATR No.18/2021, hak atas tanah berupa bangunan (HGB) hanya bisa terbit di wilayah pesisir pantai, bukan di atas laut.

“Paradigma hukum pemanfaatan ruang laut telah berubah menjadi rezim perizinan ulah oknum. Kejadian ini jelas melanggar konsitusionalitas nelayan. Sertifikat di Darat ada, di Udara ada, itu untuk Gedung yang tinggi seperti Apartemen tapi Sertifikat Hak Laut itu tidak ada. Namun kok bisa terbit HGB, kenapa Pemerintah menerbitkan itu? Apakah ulah oknum BPN, Kanwil atau Kementrian Agraria. Jadi, berbenah dirilah,” imbuh Robinson. (MLI)

Bagikan:

Tinggalkan Balasan