Oleh : Ir. H. Sunu Pramono Budi, MM

Saya sering berkeliling di kawasan dan permukiman transmigrasi yang kini sudah menjadi desa-desa. Bahkan dari desa itu ada yang sudah menjelma menjadi kecamatan, ibu kota kabupaten/kota, dan ada juga menjadi provinsi baru. Saya sempatkan bertemu dengan para tokoh dan sesepuhnya. Ketika ditanya, apakah desa yang sudah maju diantara belantara ini dulu permukiman transmigrasi? mereka menjawab serempak dan spontan seperti paduan suara. “ Ya, kami bertransmigrasi berkat jasa Pak Harto”. Jasa Pak Harto.

Betapa kuatnya ingatan para pejuang transmigran itu. Puluhan tahun terus menyimpan memori perjuangan bersama transmigrasi itu dalam benaknya. Bahkan terkadang mereka, para sesepuh transmigran itu menjelaskan dengan rinci proses kepindahannya. Sejak dari rumah, naik truk menuju transito, pindah naik kapal laut, ada juga yang naik pesawat terbang, hingga sampai di lokasi. Dengan sangat rinci mereka menjelaskan. Seakan kita yang tidak bersama mereka, ikut menjadi bagian pelaku transmigrasi. Tergambar dengan jelas, bagaimana memulai menerima undian kunci rumah dan kavling pekarangan, memulai membabat hutan dan belukar, hingga kemudian menjadi kota yang maju.

Begitulah Pak Harto, ketika menjadi Presiden Indonesia ke dua, periode Orde Baru (1967 – 1997), mendorong pemerataan pembangunan keseluruh pelosok negeri tercinta, Indonesia. Sehingga sangat wajar jika kemudian Pak Harto diberi gelar Bapak Pembangunan. Semua orang yang berpikir jernih pasti tahu dan setuju, periode antara 1967 – 1997 itu pembanguan transmigrasi sangat luar biasa pesatnya. Kadang, karena terlalu semangatnya membangun, ada permukiman yang belum siap huni sudah didatangi transmigran. Walaupun harus bekerja ekstra keras, transmigran tetap bertahan berjuang. Dan hasilnya memang dapat dinikmati saat ini. Baarangkali banyak pula anak-anak transmigran dan masyarakat sekitarnya yang tidak menyadari, bahwa kampung yang didiami saat ini dahulunya permukiman transmigrasi.

Oleh karena itu, menyusun sebuah buku tentang perjalanan transmigrasi, yang terbayang tentu sosok Presiden Republik Indonesia kedua, Soeharto. Dengan senyum khasnya, Pak Harto menjelajah daerah sejak Aceh hingga Papua. Pak Harto tentunya sangat menyadari, negara kepulauan yang heterogen seperti Indonesia ini perlu dibangun dan dipersatukan tanpa banyak teori. Yang dibutuhkan rakyat saat itu adalah aman, nyaman, bersatu, dan sejahtera. Hidup saling berdampingan dan serba berkecukupan di seluruh negeri bagi sesama anak bangsa.

Setelah lebih 20 tahun hidup pada alam reformasi (1998-2022), kita bisa saksikan sendiri. Bagaimana pesatnya perkembangan daerah di Indonesia. Kita patut bersyukur kepada para pemimpin negeri ini yang telah membawa kemajuan bagi bangsanya. Perkembangan dan pemekaran desa, kecamatan, kabupaten/kota, 2 provinsi, dan terbaru IKN Nusantara, bermunculan dimasa reformasi. Tetapi mungkin hanya sedikit yang tahu, bahwa ternyata pemekaran desa, kecamatan, kabupaten, dan kota baru diantaranya hasil perjuangan Pak Harto melalui Transmigrasi. Boleh saja nama dan jasa beliau dilupakan, tetapi peninggalan fisik kewilayahan itu tidak mungkin bisa dihilangkan. Seperti tadi disebutkan di atas, para sesepuh desa eks permukiman transmigrasi masih mengenal jelas siapa Pak Harto.

Itulah sebabnya, barangkali ini adalah saat yang tepat untuk mengenang dan mengulas kembali kaitan Pak Harto dengan transmigrasi. Seperti Presiden pertama Bung Karno pernah berpesan, Jasmerah. Jangan sekali-kali melupakan sejarah. Mikul dhuwur, mendhem jero. Mengangkat dan menghargai jasa para pemimpin, dan mengubur dalam-dalam apa yang masih kurang. Jika dimasa Bung Karno transmigrasi menjadi landasan filosofi sebagai gerakan persatuan nasional (dalam pidatonya 28 Desember 1964, Transmigrasi Mati-Hidup Bangsa Indonesia), maka ditangan Pak Harto, penerusnya, transmigrasi menjadi gerakan untuk dioperasionalkan sebagai program pembangunan.

Ya, bertransmigrasi, bukan sekedar program atau proyek kependudukan, tetapi transmigrasi sebagai GERAKAN Nasional Perekat Bangsa. Ini kalimat tentang transmigrasi yang dinamis dan revolusioner. Hingga saat inipun tidak ada lagi yang menyebut transmigrasi sebagai gerakan, kecuali yang ada dalam Visi Perhimpunan Anak Transmigran Republik Indonesia (PATRI), yaitu: Kembalinya Gerakan Transmigrasi sebagai Perekat Nasional Lintas Agama, Suku, dan Budaya.

Hadirnya tulisan ini adalah sebagai bentuk refleksi dan penghargaan atas jasa para bapak bangsa yang telah berjuang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan zamannya. Tulisan ini semoga menjadi inspirasi bagi pembaca pemula dalam mengembalikan kenangan bagi anak keturunan transmigran Indonesia. Dengan membaca gagasan-gagasan dan hasil karya yang telah dicapai selama masa 1967 -1997 ini, akan terngiang kembali betapa pentingnya membangun rasa cinta tanah air dan menjadikan Transmigrasi sebagai Gerakan Nasional Perekat Bangsa.

Negeri sepanjang khatulistiwa dengan aneka ragam agama, suku, dan budaya wajib terus dijaga kedaulatannya. Ribuan pulau yang dipisahkan selat-selat, sangat rawan diadu domba. Karena itu, dengan menggemakan  ‘’Gerakan Kebangkitan Nasional Transmigrasi’, Insya Allah kesadaran membangun dan bersatu diantara anak bangsa bersemi kembali. (Penulis adalah Ketua Umum Perhimpunan Anak Transmigran Republik Indonesia).

Bagikan:

Tinggalkan Balasan