Oleh : Ir. H. Sunu Pramono Budi, MM.

Naluri berorganisasi warga transmigran tergolong baru. Walaupun secara usia, program ini sudah dimulai sejak 1905 (kolonisasi sebelum kemerdekaan) dan 1950 (transmigrasi setelah proklamasi).

Jika dibandingkan dengan ormas lainnya, organisasi skala nasional  keturunan transmigran baru ada 2004. Sekitar 99 tahun setelah program kolonisasi, atau 54 tahun setelah transmigrasi. Bandingkan dengan ormas Muhammadiyah (1912), Nahdlatul Ulama (1926), Pemuda Pancasila (1959), HKTI (1973), SPSI (1985), PGRI (1945), dan lainnya. Mereka ormas yang dibentuk sudah cukup lama. Bahkan ada yang jauh sebelum kemerdekaan.

Seperti pernah saya tulis sebelumnya. Tradisi berorganisasi bagi warga transmigran hampir tidak ada. Selain karena lokasi dan profesinya sebagai tukang tani dipedalaman, juga karena tuntutan kebutuhan. Berbeda dengan profesi buruh. Dinamis, dan mobilitasnya didukung dengan lokasinya di kawasan perkotaan. Sehingga ketika saat awal mendorong agar warga trans untuk berorganisasi, cukup berat. Walaupun masalah yang dihadapi warga trans saat ini juga ada yang berat. Diantaranya kasus tanah dan infrastruktur. Terkhusus, kasus lahan ini puluhan tahun.

Embrio lahirnya organisasi bernuansa transmigran dimulai dari kesadaran anak keturunan Transmigran. Awalnya bersifat lokal. Dimulai ketika ada tetangga permukiman Transmigrasi (UPT/SP/Kimtrans) yang sama-sama ingin sekolah di kota. Kemudian diantara mereka ada yang patungan (iuran) untuk sewa kamar bersama. Ada juga yang ngenger (numpang sambil jadi pembantu) di rumah orang mampu di kota. Ada juga yang beberapa anak menempati sebagian ruangan transito kantor transmigrasi. Kumpulan yang lebih besar ini kemudian berkembang. Menjadi  asrama Mahasiswa Anak Transmigran. Aktivitasnya mulai terorganisasikan.

Pada kondisi berbeda, ketika anak Transmigran itu sekolah, mereka ada yang mulai ikut berorganisasi. Bagi mereka yang masih tingkat pelajar, mereka ikut menjadi pengurus OSIS/PP (Organisasi Siswa Intra Sekolah/Persatuan Pelajar). Bagi mereka yang status mahasiswa, aktif di organisasi intra dan ekstra kampus. Zaman dulu organisasi yang cukup populer bagi kalangan mahasiswa antara lain: HMI, PMII, IMM, GMNI, dan PII. Cukup banyak anak Transmigran yang masuk dalam organisasi ini. Selain organisasi intra seperti Senat Mahasiswa, Badan Perwakilan Mahasiswa, dan sekarang BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa).

Mereka yang aktif dalam organisasi kemahasiswaan itulah yang kemudian naluri organisasinya terasah. Itu terbukti. Ketika PATRI dideklarasikan pada 16 Februari 2004, sebagian besar pelopornya adalah mahasiswa mantan aktivis. Pada umumnya, mantan/aktivis pemuda cepat tanggap. Penyebabnya, selain kuliah, berorganisasi merupakan bagian aktivitasnya sehari-hari. Sehingga ketika diminta membentuk kepengurusan, dengan sigap segera menjalankan.

Berbeda dengan mereka yang tidak pernah menjadi aktivis. Nalurinya belum terasah. Ketika diberi amanah, kebingungan. Apa yang harus dilakukan? Bagaimana memulainya? Siapa yang harus dilibatkan? Dananya darimana? Itu problemnya. Sehingga dilingkungan PATRI dapat dipetakan. Wilayah dan kota mana saja yang organisasinya dinamis. Biasanya ada aktivis atau mantan aktivis yang menggerakkan.

Dananya? Nah ini yang sering membuat lamban. Dulu, para aktivis kampus sejak merintis, membentuk, dan menjalankan roda organisasi dimulai dari nol rupiah. Karena insting berorganisasi sudah terasah, mereka berkumpul dan berbagi tugas. Ada yang membuat proposal kegiatan. Paling sering proposal latihan dasar kepemimpinan. Ada yang bertugas mendata calon donatur, ada yang menjadi ketua panitia, bendahara, seksi acara, pembuat laporan dan dokumentasi, tim pencari dana, rekrutmen calon peserta, hingga seksi konsumsi. Semuanya ini berjalan secara simultan, heroik, dan penuh ceria. Dari tajamnya naluri berorganisasi inilah dikemudian hari menjadi bekal strategis. Diantaranya sebagai profesional handal diberbagai medan juang.

Bagi donatur, kebanyakan alumni aktivis kampus itu juga. Para donatur (umumnya senior) merasa senang dan sudah terbiasa didatangi Mahasiswa. Apalagi ini? Bahkan ada juga donatur spesial. Selain diminta menyumbang, juga diminta mengisi materi. Sebagai salah satu narasumber tak berbayar. Alhamdulillah.

Mereka yang saat ini menjalankan amanah organisasi PATRI, semoga sudah mulai terasah naluri berorganisasinya. Sehingga “tidak pakai lama”, segera tahu apa yang harus dilakukan. Setelah bermusyawarah, kita mau apa? Susunan kepengurusan belum ada, bagaimana caranya? Waduh, kepengurusan kita sudah hampir selesai. Mari, saatnya kita bermusyawarah lagi. (Penulis adalah Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Perhimpunan Anak Transmigran Republik Indonesia).

Bagikan:

Tinggalkan Balasan