Semangat mudik kali ini seperti kawah gunung berapi yang sempat terendap–lalu membuncah sedemikian rupa. Padahal stabilitas perekonomian, termasuk perekonomian orang per orang atau keluarga per keluarga belumlah pulih sepenuhnya. Tapi, sepertinya hal itu tidak menjadi penghalang untuk tetap rawe-rawe rantas, malang-malang tuntas : MUDIK!.
Bisa jadi, ketika pandemi sedang tinggi-tingginya, jika saja tidak ada larangan pemerintah dan penjagaan yang ketat, animo mudik tetap akan tinggi. Faktanya, meski ada larangan pun, tak sedikit orang yang mencari pelbagai cara agar tetap mudik, dan seolah tak peduli ada resiko kesehatan dan hukum yang mengintai.
Lalu sebenarnya ada fenomena apa dari esensi terdalam terkait mudik? Jawabnya, hampir bisa dipastikan bahwa dengan realitas energi yang terakumulasi sedemikian rupa dasyat, maka mudik bukan lagi sekadar ritual tahunan menjelang Idhul Fitri. Semangat untuk pulang kampung usai ibadah Puasa Ramadhan ini telah memasuki babak baru menjadi semacam gerakan moral yang untuk mengurainya memerlukan multidisiplin ilmu pengetahuan.
Sebab, kemajuan teknologi yang memungkinkan setiap orang dapat berkomunikasi secara visual dengan tempo cepat, terbukti tak mampu menggeser pola mudik, apalagi mengeliminirnya. Artinya, semangat mudik tak goyah oleh kemajuan teknologi sedasyat apapun dan kepintaran manusia sehebat apapun.
Ini dapat berarti pula bahwa salah satu aspek mudik adalah pulang ke kampung halaman usai puasa Ramadhan dengan cara utuh jiwa dan raga, dan itu merupakan sikap tentang cara menghargai kampung halaman; tanah kelahiran dan bumi pijakan para leluhur. Yang demikian sudah masuk dalam wilayah moral.
Sebab ia merupakan gerakan moral, maka untuk merelisasikannya, banyak orang yang tak peduli dengan resiko apapun. Dan lazimnya inti gerakan moral, ia seperti menghadirkan energi yang berlipat ganda. Apa boleh buat, kerinduan akan kampung halaman dengan segala kenangannya selalu memantik hasrat eksotik yang menggebu-gebu.
Jadi, tak perlu perdebatan kenapa mayoritas orang Indonesia selalu memantapkan hati untuk mudik usai puasa Ramadhan. Yang perlu terus menerus didiskusikan dan direalisaikan adalah bagaimana membangun sistem dengan semua unsur yang diperlukan agar para pemudik semakin nyaman dan aman dari waktu ke waktu.
Jika ditelisik secara personal, maka siapa pun yang hidup di perantauan, tak peduli berapa lama merantau, setiap orang akan merasa ada yang hilang dalam dirinya, dalam proses hidupnya , dan mudik merupakan salah satu cara untuk kembali “menemukan” jati diri sesuai asal muasal. Inilah sebuah proses tazkiyatun nafs, membersihkan jiwa yang pernah dikotori oleh diri sendiri.
Dalam hidup, tak boleh lupa jalan pulang sebab dibutakan kecintaan yang melampaui batas pada sendau gurau dunia; kekayaan, pangkat, jabatan, dan seterusnya. Mudiklah jika ingin mudik agar selalu ingat darimana berasal, untuk apa ada dan hidup, dan akan berakhir kemana.
Asrul Sani pernah menulis puisi Surat Dari Ibu, yang menampilkan konflik seorang anak yang merindukan kampung halaman setelah jauh ditinggalkan;
Pergi ke laut lepas, anakku sayang
pergi ke alam bebas!
selama hari belum petang
dan warna senja belum kemerah-merahan
menutupi pintu waktu-lampau
Jika bayang-bayang telah pudar
dan elang laut pulang ke sarang
tiang-tiang akan kering sendiri
dan nakhoda sudah tahu pedoman
bolehlah engkau datang padaku
Kembali pulang anakku sayang
kembali ke balik malam
jika kapalmu telah rapat ke tepi
aku akan bercerita tentang cinta dan hidupmu di pagi hari. (Imam Trikarsohadi)