Oleh : Imam Trikarsohadi

Masyarakat luas akan menamakannya:”serakah jabatan.” Jika mereka menjumpai sosok pejabat publik atau pejabat pemerintahan yang tugas utamanya saja–boleh dibilang tidak cemerlang, tapi mengejar jabatan lain di pelbagai penjuru.

Yang demikian seolah tak boleh orang lain dapat mengembangkan potensi dirinya, karena ia menganggap hanya dirinyalah yang pantas. Celakanya, jenis sosok yang demikian kian hari semakin banyak, baik di tingkat pusat maupun daerah.

Tentu, sosok yang serakah jabatan paling pandai berdalih untuk memuluskan hasratnya, seakan dialah yang paling peduli akan hal ihwal. Ia pun tak perlu orang pandai dan alim di sekitaranya, karena yang ia inginkan sekelompok manusia-manusia pragmatis di sekitarnya — yang setiap saat mengamini seluruh hasratnya.

Memang, di alam demokrasi dan situasi postmodern dewasa ini, setiap individu anggota masyarakat dalam interaksi pergaulannya dengan anggota masyarakat lainnya atau dengan lingkungannya, tampaknya cenderung semakin bebas, leluasa, dan terbuka.

Akan tetapi tidak berarti tidak ada batasan sama sekali, karena sekali saja seseorang melakukan kesalahan dengan menyinggung atau melanggar batasan hak-hak asasi atau harapan seorang atau kelompok/kaum lainnya, maka seseorang tersebut sebenarnya telah membunuh harapan kebaikan yang bisa jadi lebih optimal  jika bukan dirinya yang mengendalikan.

Gambaran tersebut menunjukkan bahwa dalam kehidupan sehari-hari setiap anggota masyarakat akan berhadapan dengan batasan-batasan nilai normatif, yang berlaku pada setiap situasi tertentu yang cenderung berubah dari waktu ke waktu, sejalan dengan perubahan pola pikir dan perilaku masyarakat itu sendiri.

Batasan-batasan nilai normatif dalam interaksi dengan masyarakat dan lingkungannya itulah yang kemudian dapat dikatakan sebagai nilai-nilai etika. Sedangkan nilai-nilai dalam diri seseorang yang akan mengendalikan dimunculkan atau tidaknya kepatuhan terhadap nilai-nilai etika yang lazim disebut dengan moral atau moralitas.

Seperti diketahui, kebaikan hidup manusia harus mengandung the four cardinal uirtues (empat unsur keutamaan yang pokok) yaitu : kebijaksanaan ( pertimbangan yang baik), keadilan (justice), kekuatan moral/ fortitude (berani karena benar, sadar dan tahan menghadapi godaan), serta kesederhanaan dan pengendalian diri dalam pikiran, hati nurani dan perbuatan harus sejalan.

Agar menjadi makhluk terhormat dalam pandangan sesama manusia maupun Tuhan, manusia juga perlu mengindahkan kaidah – kaidah. Pertama adalah kaidah pribadi,  yang mengatur kehidupan pribadi seseorang, antara lain; kaidah kepercayaan, tujuannya adalah untuk mencapai kesucian hidup pribadi atau hidup beriman,  meliputi : kaidah fundamentil (abstrak), contoh : manusia harus yakin dan mengabdi kepada Tuhan YME, dan kaidah aktuil (kongkrit), contoh : sebagai umat islam, seorang muslim/muslimah harus sholat lima waktu. Lantas, kaidah kesusilaan, tujuannya adalah untuk kebaikan hidup pribadi, kebaikan hati nurani atau akhlak. Contoh : kaidah fundamentil, setiap orangharus mempunyai hati nurani yang bersih. sedangkan kaidah aktuilnya, tidak boleh curiga, iri, dengki dan serakah.

Kedua adalah kaidah antar pribadi mencakup : kaedah kesopanan, tujuannya untuk kesedapan hidup antar pribadi, contoh : kaedah fundamentilnya, setiap orang harus memelihara kesedapan hidup bersama, sedangkan kaidah aktuilnya, yang muda harus hormat kepada yang tua.

Ketiga, kaidah ukum, tujuannya untuk kedamaian hidup bersama, contoh : kaidah fundametilnya, menjaga ketertiban dan ketentuan, sedangkan kaidah aktuilnya, melarang perbuatan melawan hukum serta anarkis.

Mengapa kaidah hukum diperlukan, pertama : karena dari ketiga kaidah yang lain daripada kaidah hukum tidak cukup meliputi keseluruhan kehidupan manusia. Kedua : kemungkinan hidup bersama menjadi tidak pantas atau tidak seyogyanya, apabila hanya diatur oleh ketiga kaidah tersebut.

Jika dikaitkan dalam implementasi etika pemerintahan, maka tentu, pembahasannya mencakup nilai dan moralitas pejabat pemerintahan dalam menjalankan aktivitas roda pemerintahan. Oleh karena itu dalam etika pemerintahan selalu dikaji  tentang baik-buruk, adil-zalim, ataupun adab-biadab perilaku pejabat publik dalam melakukan aktivitas roda pemerintahan.

Setiap sikap dan perilaku pejabat publik dapat timbulkan dari kesadaran moralitas yang bersumber dari dalam suara hati nurani meskipun dapat diirasionalisasikan.

Contohnya dalam kehidupan masyarakat madani (civil society)  ataupun masyarakat demokratis, nilai dan moralitas yang dikembangkan bersumber kepada kesadaran moral tentang kesetaraan (equlity), kebebasan (freedom), menjunjung tinggi hukum, dan kepedulian atau solidaritas.

Dari segi etika, pemerintahan adalah perbuatan atau aktivitas yang erat kaitannya dengan manusia dan kemanusiaan. Oleh karena itu perbuatan atau aktivitas pemerintahan tidak terlepas dari kewajiban etika dan moralitas serta budaya baik antara pemerintahan dengan rakyat/ warga, antara lembaga/pejabat publik pemerintahan dengan pihak ketiga.

Perbuatan semacam ini biasanya disebut Prinsip Kepatutan dalam pemerintahan dengan pendekatan moralitas sebagai dasar berpikir dan bertindak. Prinsip kepatutan ini menjadi fondasi etis bagi pejabat publik dan lembaga pemerintahan dalam melaksanakan tugas pemerintahan.

Denga demikian, etika atau ethics selalu memperhatikan dan mempertimbangkan tingkah laku manusia dalam pengambilan keputusan moral. Etika bisa juga merupakan ilmu tentang apa yang baik dan yang buruk sertatentang hak dan kewajiban moral (akhlak).

Sedangakan moral memiliki arti ajaran tentang baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, akhlak, budi pekerti, asusila; serta kondisi mental yang membuat orang tetap berani, bersemangat, bergairah, berdisiplin, isi hati atau keadaan perasaan.

Moral merupakan landasan dan patokan bertindak bagi setiap orang dalam kehidupan sehari-hari ditengah-tengah kehidupan sosial kemasyarakatan maupun dalam lingkungan keluarga dan yang terpenting moral berada pada batin dan atau pikiran setiap insan sebagai fungsi kontrol untuk penyeimbang bagi pikiran negatif yang akan direalisasikan.

Moral sebenarnya tidak dapat lepas dari pengaruh sosial budaya, setempat yang diyakini kebenarannya. Moral selalu mengacu pada baik buruknya manusia sebagai manusia. Hal tersebut akan lebih mudah kita pahami manakala mendengar orang mengatakan perbuatannya tidak bermoral. Perkataan tersebut mengandung makna bahwa perbuatan tersebut dipandang buruk atau salah karena melanggar nilai-nilai dan norma-norma moral yang berlaku dalam masyarakat.

Artinya, moralitas individu mendapat ruang gerak dalam wilayah moralitas masyarakat (publik). Moralitas publik adalah moralitas yang terwujud dan didukung oleh wilayah publik, artinya di dukung oleh struktur kekuasaan politik, ekonomi dan ideologi.

Mutu moralitas publik banyak ditentukan oleh pelaksanaan kepemimpinan dalam suatu negara/daerah/kaum, misalkan cara pengambilan keputusan dibuat dengan etis atau tidak. Dan, etika merefleksikan mengapa seseorang harus mengikuti moralitas tertentu atau bagaimana kita mengambil sikap yang bertanggung jawab ketika berhadapan dengan berbagai moralitas.

Intinya, setiap manusia yang sehat secara rohani pasti memiliki sikap moral dalam menghadapi keadaan-keadaan yang menyertai perjalanan hidupnya. Sikap moral ini ada yang hadir begitu saja tanpa harus disertai pergulatan atas pilihan-pilihan dilematis, namun ada pula sikap moral yang perlu direnungkan secara mendalam sebelum ditetapkan menjadi suatu keputusan. Sikap moral itulah yang pada umumnya dijadikan pedoman bagi manusia ketika mengambil suatu tindakan.

Renungan terhadap moralitas tersebut merupakan pekerjaan etika. Dengan demikian, setiap manusia siapapun dan apapun profesinya membutuhkan perenungan-perenungan atas moralitas yang terkait dengan profesinya. Dalam konteks inilah lalu timbul suatu cabang etika yang disebut etika profesi.

Etika merupakan hasil perenungan dari moralitas yang dirasakan perlu adanya etika dalam kehidupan, karena merupakan kewajiban moral untuk mewujudkan sesuatu yang baik-baik bagi diri sendiri, kelompok, masyarakat, maupun bangsa dan negara.

Jadi bisa kita bayangkan, kualitas moral,etika, dan kepatutan macam apa pada seorang memimpin yang serakah memburu berbagai posisi jabatan dengan aneka macam dalih.(*).

Bagikan:

Tinggalkan Balasan