Oleh : Dede Farhan Aulawi (Pemerhati Keamanan Nasional)
Apa yang terjadi dengan kerusuhan di Prancis kemarin, jangan dianggap tidak ada korelasinya dengan kepentingan dan keamanan nasional di Indonesia. Sebuah peristiwa ‘pelanggaran lalu lintas’ biasa, berakhir dengan penembakan yang dilakukan oleh personil kepolisian Prancis dan berujung demo besar yang disertai kerusuhan di Paris, dan terus merembet ke kota – kota lainnya di Prancis. Hal ini tentu sangat tidak diharapkan oleh siapapun, tetapi semua berlangsung dengan sangat cepat dan unpredictable.
Kerusuhan yang mirip sama, sebelumnya pernah terjadi di AS yang setelah beredarnya video yang menunjukkan seorang pria berkulit hitam bernama George Floyd (46) mengeluh “Aku tidak bisa bernapas” ketika seorang polisi putih meletakkan kaki di lehernya. Akibatnya, empat petugas polisi telah dipecat atas kejadian itu. Protes damai berubah jadi anarki di sejumlah kota besar AS termasuk Los Angeles, New York, Denver dan Louisville. Beberapa kantor Polisi dibakar massa salah satunya Kantor Polisi Kota Minneapolis. Demonstran juga menuntut keadilan bagi warga Afrika-Amerika lainnya yang telah dibunuh oleh polisi, termasuk Polisi Breonna Taylor yang ditembak mati oleh seorang Polisi Pecandu Narkoba di rumahnya di Louisville, Kentucky.
Insiden itu mengenang kembali luka ‘sense of justice’ alias ‘rasa keadilan’ saat terjadinya kasus Eric Garner, yang juga meninggal di tangan polisi di New York pada 2014. Kematiannya menjadi seruan untuk menentang tindakan yang dinilai ‘brutal’ oleh kepolisian setempat dan merupakan kelahiran Gerakan Black Lives Matter.
Tentu ada banyak kejadian lainnya yang mirip seperti itu, tetapi peristiwa di AS dan Prancis ini merupakan kejadian terbaru yang relatih masih diingat saat ini. Dengan demikian, rangkaian kejadian seperti di atas harus diambil sebagai ‘pelajaran dan perenungan’ sehingga ada langkah antisipatif agar kejadian yang sama tidak terjadi di Indonesia. Apalagi Indonesia saat ini sedang berjalan menuju pesta demokrasi lima tahunan yang akan dilaksanakan secara serentak tahun depan, sehingga temperatur politik terasa semakin hangat. Dengan demikian berbagai upaya untuk mewujudkan terciptanya kondusifitas keamanan nasional menjadi sangat penting sekali untuk dilakukan oleh seluruh warga negara Indonesia.
Jika melihat dari kronologi kejadian, awalnya 2 orang polisi Prancis menghentikan kendaraan seorang remaja laki-laki (17 tahun) karena dinilai melanggar rambu lalu lintas. Namun remaja tersebut tampaknya tidak mau menghentikan kendaraannya, sehingga salah satu polisi menodongkan senjatanya ke pengemudi dan menembak dari jarak dekat. Lalu mobil korban tampak bergerak sempoyongan dan akhirnya berhenti karena menabrak. Petugas layanan darurat sudah dan terus mencoba untuk melakukan pertolongan guna menyadarkan remaja tersebut di tempat kejadian, namun nyawanya tidak tertolong dan akhirnya meninggal dunia. Peristiwa ini terjadi di penghujung bulan Juni 2023 ini.
Tindakan Polisi ini di mata publik Prancis dianggap berlebihan (excessive power) terhadap seorang remaja dan menimbulkan kematian Nahel M (17 thn) karena menerobos lampu lalu lintas. Remaja tersebut merupakan warga Perancis keturunan Afrika Utara (Aljazair- Maroko) yang tinggal di Nanterre, Paris Prancis .
Dengan cepat kejadian tersebut tersebar di berbagai platform media sosial dan media lainnya sehingga menimbulkan amarah publik yang tidak terkendali. Kerusuhan mulai terjadi di kota Paris, dan akhirnya merembet ke kota – kota lainnya seperti Lyon, Marseille, Strasbourge, Grenobe, Toulouse, Dijon dan yang lainnya. Bentrokan terus berlanjut dan semakin melebar serta diwarnai berbagai tindakan anarkis seperti perusakan, penjarahan, pelemparan dan penembakan. Sekitar 45.000 petugas kepolisian dan pasukan gendarme paramiliter dikerahkan serta menangkap ratusan orang massa. Imbas dari kejadian ini, sebanyak 1.350 kendaraan dan 234 bangunan dibakar, dan 2.560 insiden kebakaran terjadi di ruang publik.
Jika dicermati secara apik, peristiwa kerusuhan yang besar seperti di Prancis ini, ada beberapa hal yang perlu mendapatkan atensi, yaitu pertama, peristiwa kerusuhan besar biasanya dipicu oleh banyak faktor. Sesuatu yang ‘nampaknya’ seperti sepele dan remeh ternyata bisa berdampak besar. Disinilah kemampuan membaca dan menghitung resiko (Risk Assessment) atas setiap tindakan yang akan diambil menjadi sangat penting. Jika salah melakukan kalkulasi, maka resikonya sangat besar sekali dan sifatnya tidak terduga. Kejadian penembakan ini akhirnya menjadi trigger (pemantik) kemarahan ketika bertemunya berbagai kepentingan dan kekecewaan kolektif untuk memanfaatkan situasi dan keadaan.
Kedua, kesulitan dan krisis / resesi ekonomi global yang melanda Eropa pasca terjadinya peperangan Rusia vs Ukraina, AS dan NATO menyebabkan biaya hidup yang tinggi, kelangkaan gas dan makanan sehingga suasana kebatinan masyarakat sedang tidak baik – baik saja. Kecewa dan marah bertemu di satu ‘momentum’ untuk dijadikan alasan dan pemakluman. Oleh karenanya, kesulitan ekonomi ini dimanfaatkan oleh sebagian pendemo sebagai kesempatan untuk melakukan pengrusakan, pencurian dan penjarahan besar – besaran terhadap banyak toko – toko, baik toko yang menjual pangan, sandang, maupun aksesori dan barang elektronik. Dampak ekonominya tentu kerugian besar yang belum terhitung.
Ketiga, adanya kelompok bertopeng yang serba hitam memanfaatkan situasi chaos untuk mencapai kepentingannya. Mereka merupakan kelompok anarkis sayap kiri jauh, yang dikenal sebagai ‘Blok Hitam’ atau ‘Black Bloc’ yang sering memicu dan inisiator aksi anarkis hampir dalam setiap unjuk rasa. Momentum ‘rusuh’ dijadikan pesta kegembiraan, kemeriahan dan kemenangan serta anti kemapanan.
Keempat, adanya kelompok mafia yang memanfaatkan situasi untuk merusak dan menerobos penjara guna membebaskan rekan – rekannya yang masih ditahan disana. Saat petugas keamanan disibukkan dengan situasi chaos, dijadikan kesempatan yang berharga untuk menjebol penjara sehingga bisa reunian dengan teman-temannya yang sudah lama ditahan.
Kelima, ada juga faktor kemarahan ribuan pekerja yang kecewa dengan kebijakan pemerintah, terutama terkait dengan rencana perubahan usia pensiun dari 62 ke 64 (reformasi masa pensiun) yang dianggap mengurangi hak untuk menikmati masa purna (masa tergabung dalam serikat pekerja sayap kiri).
Keenam, jualan gorengan isu – isu SARA yang bersifat super sensitif. Mobilitas kemarahan massa telah berhasil dieksploitasi dengan menggoreng ‘isu minoritas’, rasialisme, ketidakadilan, para imigran/ pendatang, kekejaman dan kebrutalan, serta kemiskinan dan masyarakat pinggiran yang termarginalkan. Kaum pendatang dan wong cilik seringkali disimbolkan sebagai rakyat kecil yang sering ditindas, dikerdilkan, dihinakan dan diperlakukan tidak adil.
Ketujuh, terkait peran media, terutama media sosial seperti Snapchat, Tik Tok, dan yang lainnya yang begitu masif dan cepat menyebarkan berbagai kejadian yang membakar emosi dan psikologis massa. Instrumen teknologi dimainkan sebagai senjata pamungkas untuk menggiring opini publik dan mensugesti kemarahan sebagai cara memperjuangkan keadilan jalanan. Kaum rentan ‘usia muda’ dijadikan subjek dan objek skenario chaos dengan menggembar-gemborkan solidaritas remaja, solidaritas kaum pinggiran, rakyat miskin kota serta berbagai berita hoaks lainnya yang disajikan dengan menu yang dianggap menarik untuk membangkitkan selera kerusuhan.
Peristiwa – peristiwa seperti di atas bila tidak diantisipasi dengan baik, bisa saja terjadi di Indonesia. Apalagi jelang pemilu dan pilkada serentak ini, disamping makro ekonomi yang kurang kondusif menyebabkan keluhan – keluhan publik terkait dengan kemahalan harga – harga bisa bertemu di satu titik dari berbagai penjuru kepentingan.
Oleh karenanya seluruh aparat keamanan perlu untuk diingatkan agar tidak salah dalam mengambil setiap tindakan, apalagi jika sampai menggunakan kekuatan secara berlebihan. Juga jangan terpancing oleh hangatnya temperatur politik dan dinamika sosial kemasyarakatan yang melakukan kritik, hujatan dan cacian.
Dengan demikian ketahanan mental dan kesemaptaan spiritual perlu terus diasah, dilatih dan diuji. Termasuk kepekaan intelektual dalam mengasah setiap indikator permasalahan secara cermat, tepat dan cepat.
Terima kasih. Semoga tulisan singkat ini bisa bermanfaat guna mewujudkan keamanan nasional yang tetap kondusif, aman dan tenteram. Kewajiban ini melekat pada seluruh warga negara untuk menjaga keutuhan negara yang kita cintai bersama.(*).