MLI – RADEN Adjeng Kartini, biasa yang dikenal dengan sebutan Kartini. Siapa yang tidak pernah mendengar namanya? Ia kerap disandingkan sejak anak sekolah dasar mengenal para pahlawan. Kartini termasuk pahlawan, pahlawan emansipasi. Dengan keseluruhan yang ada pada dirinya bahwa ia tidak akan pernah lepas dari ikatan tradisi, adat istiadat dan budaya yang ia anut bersama keluarganya merupakan suatu hal tantangannya tersendiri kala itu.

Kartini bersama Kakak dan Adik perempuannya seringkali mendapat perlakuan dan pembiasaan menjadi perempuan jawa yang halus, sopan, santun serta manut dengan laki-laki. Karena kala itu sangat terlihat sekali bahwa relasi kuasa yang terjadi ialah bahwa keberadaan laki-laki jauh lebih tinggi dan dihormati.

Namun, Kartini lah diantara saudaranya yang paling merasakan ketidaknyamanan dan berani untuk mendobrak hal-hal tersebut. Kenyataan bahwa saat itu pendidikan untuk kaum perempuan rendah, keharusan dan kepatutan cara menjadi perempuan yang anggun dan lembut, bahkan memilih calon pasangan hidup pun ditentukan.

FOTO : NINA KARENIN, KETUA KOPRI PC PMII KOTA BEKASI.(Kamis, 21-04-2022)

Kartini berani mendobrak pintu tersebut melalui buku-bukunya yang ia peroleh dari Saudara laki-lakinya. Disebuah kamar, meski ia seringkali paling mendapat perlakuan yang tidak selalu enak oleh Ibunya karena kerap kali melawan. Tetapi Kartini mampu mencoba memanfaatkan momen itu dengan membaca dan menulis. Sehingga banyak sekali pengetahuan yang ia peroleh dari buku-buku tersebut.

Oleh sebab itu ada salah satu kutipan “tubuh boleh terpasung, tapi jiwa dan pikiran harus terbang sebebas-bebasnya.”
Kutipan tersebut menyuratkan bahwa biar perempuan dalam keadaan apapun tubuhnya, tetaplah bahwa jiwa dan pikiran kita harus terbang, harus lepas, harus Merdeka.

Selain itu Kartini pun sering mengirim surat kepada Ny. Van Kol dan Ny. Ovink Soer, ini membuktikan bahwa tulisan-tulisannya mampu mengubah perspektif orang-orang Belanda terhadap perempuan pribumi pada masa itu.

Spirit-spirit perjuangan Kartini pada masa itu telah membawa perubahan hingga masa kini, walaupun banyak selain Kartini seperti Dewi Sartika, Cut Nyak Dien, Cut Meutia, Laksamana Malahayati, dan lain lain.

Spirit Kartini dari mulai emansipasi wanita, persoalan mendapatkan pendidikan yang sama dan setara, persoalan bahwa perempuan harus mendapatkan keadilan dan kesetaraan di berbagai aspek, bahkan perempuan harus merdeka sejak dalam pikirannya. Seperti kata Pram. Tentunya, Kartini sangat menjunjung tinggi bahwa tida boleh ada kekerasan maupun pelecehan terhadap perempuan. Walau narasi itu mungkin dahulu belum terkuak.

Hari ini banyak sekali persoalan mengenai perempuan dan anak. Anak selalu disandingkan dengan tokoh perempuan, karena memang mayoritas anak akan paling merasa dekat dengan Ibunya (dibaca: perempuan). Namun tak jarang kerap kali kita mendengar persoalan, isu maupun kasus yang menimpa kepada mereka. Dari mulai soal kekerasan, pelecehan, pemaksaan, pemerkosaan, penyekapan, kekerasan dalam rumah tangga, dan banyak hal. Seolah perempuan menjadi makhluk yang paling mudah untuk dikulik.

Padahal, hal berikut sangat bertentangan dengan apa yang menjadi Spirit Kartini dari dulu hingga sekarang. Lalu, adakah spirit Kartini di tubuh kita? Atau sudahkah kita menularkan spiritnya?

Ingat, bahwa tidak ada sebaik-baiknya kemerdekaan tanpanya (dibaca: Perempuan).

Selamat Hari Kartini, untuk para Kartini-Kartini masa kini. Dan terima kasih kepada para New Male yang telah turut mendukung serta mengkampanyekan Stop Kekerasan dan Pelecehan Seksual terhadap Perempuan dan Anak. Karena tidak akan terwujud jika laki-laki dan perempuan tidak menjadi mitra sejajar dalam hal kebaikan dan kemanusiaan. Ingat, ini termaktub dalam Sustainable Development Goals (SDGs) poin nomor 5. Bekasi, 21 April 2022. (RED)

Bagikan:

Tinggalkan Balasan