
Mengusung Orde Kostitusi Luhur, Petani Menggugat Carut-marut dan Kehancuran Tatanan Hukum Bangsa Saat Ini
Orde Reformasi berjalan selama dua puluh lima tahun terakhir. Indonesia merasakan betul pahit getir orde ini berlangsung.
Mulai dari lahirnya ide otonomi daerah, pembagian kekuasaan antara pusat dengan daerah, pemilu kepala daerah langsung hingga adanya peristiwa hukum di lembaga Mahkamah Konstitusi (MK) dengan akhir penilaian tragis serta banyak peristiwa lain dapat kita saksikan bersama.
Dua puluh lima tahun termasuk hitungan waktu panjang sebuah bangsa berbenah. Tetapi aneh, harapan timbulnya keadaan lebih baik, malah sebaliknya.
Peristiwa politik mengantarkan cara pandang rakyat kepada situasi carut-marut dunia hukum.
Konstalasi politik memanas usai lahirnya keputusan-keputusan kontroversial para petinggi lembaga hukum.
Keadaan mengiris hati, seakan bangsa ini melaju tanpa pandu akal sehat, sehingga kepentingan sesaat merontokan pilar-pilar harapan meraih kehidupan lebih baik.
Tokoh Petani Muda Indonesia, Dede Ginajar Pristiawan, merasakan dilematisnya perasaan rakyat menyaksikan para petinggi negara berbuat “curang” dengan langkah mengakali konstitusi bagi terwujudnya keinginan berkuasa.
Suatu dialog bersama politisi muda ini, Jumat, 10 November 2023, di Bandung, Dede Ginanjar, terbahas banyak sekali mengenai hal kekacauan kehidupan bangsa ini, sehingga mengisyaratkan bahwa jalan hidup bangsa jelas lepas dari dasar tuntunan.
“Sebagai petani, saya menemukan bagaimana jalan hidup berbangsa ini begitu runut dipaparkan dalam filosofis-filosofis petani” kata Dede Ginanjar.
Hal pokoknya, kata Dede Ginanjar, adalah penghargaan kepada langkah-langkah konstitusi atau aturan hidup rakyat.
“Petani itu sosok pribadi dengan sikap penghargaannya kepada proses. Bangsa ini mampu menjadi besar apabila bertumpu pada proses dan kematangan yang sesungguhnya” tegas Dede Ginanjar.
Seandainya saja, kata Dede Ginanjar, apabila hal ini dapat dijadikan pijakan memperbaiki keadaan, maka filosofis petani menjadi pilihan hidup berkebangsaan kearah lebih baik.
Momentum politik, ujar Dede Ginajar, menjadi jembatan penting merubah segala keterpurukan bangsa ini. Orientasi hidup bangsa ke depan ini memerlukan orde penawar ketika keberlangsungan corak hidup bangsa sudah tanpa identitas jelas.
“Orde penawar setelah diperlihatkannya kekacauan dan carut marut dunia hukum, keperpihakan yang rendah kepada kaum papa, jelas menjadi sangat penting diusung. Harapan ini setidaknya akan semakin mendekatkan Indonesia kepada harapan kemajuan berarti” kata Dede Ginanjar.
Lebih jauh Dede Ginanjar mengatakan, orde pemulihan bagi bangsa berupa orde konstitusi luhur, sejalan dengan filosofis sakral realitas petani, dimana tiap-tiap elemen bangsa mampu menghargai setiap bentuk keteraturan dan proses kematangan seorang insan dalam mengarungi alur kehidupan.
“Sudah saatnya anugerah luasan lahan subur di nusantara, menjadi harapan dan pijakan bagi Bangsa Indonesia untuk maju” kata Dede Ginanjar.
Demikian pula, kata Dede Ginanjar, amanat-amanat leluhur pun selayaknya menguatkan posisi petani sebagai ikon perubahan besar peradaban bangsa.
“Dorongan spiritual terhadap upaya petani dalam membangun negeri, sangat dirasakan kuat oleh segenap rakyat” ujar Dede Ginanjar.
Dede Ginajar merasakan betul aura kebangkitan petani Indonesia dalam kurun waktu berjalan selama ini di Nusantara.
“Hal Ini menjadi semacam permenungan bagaimana petani selalu menjadi figur terkait bergantungnya harapan anak cucu bangsa terutama menyangkut hajat dan kelangsungan hidup orang banyak” kata Dede Ginanjar.
Petani, kata Dede Ginanjar, secara praktik, erat kaitan dengan upaya penyediaan pangan. Lalu, secara filosofis, bahwa tingginya kebergantungan manusia terhadap sumber energi kehidupan, menempatkan petani berada dalam posisi strategis pembangunan peradaban.
“Pangan dan energi adalah bentuk satu kesatuan puncak tertinggi pencapaian perjalanan spiritual. Lebih tepatnya, petani mengangkat harkat dan pengakuan atas kedaulatan diri manusia” kata Dede Ginanjar.
Keutamaan pada diri petani, kata Dede Ginanjar, saat ini masih jauh dari nilai apresiasi anak-anak bangsa. Petani baru sebatas profesi bahkan kuli di atas tanah subur nusantara. Memandang kehidupan petani masih sebatas sektor parsial ekonomi dalam suatu bentang luas kehidupan bangsa.
“Cara pandang ini tentunya sangat picik. Bangsa manapun selama belum menghargai petani sebagai sebuah realitas filosofis dan praktik baik hidup berperadaban luhur, maka bersama cara pandang rendah itu, sebuah bangsa akan terus terpuruk jalan hidup peradabannya” kata Dede Ginanjar.
Menghadapi semua itu, kata Dede Ginanjar, Bangsa Indonesia itu sekarang harus bisa melakukan refleksi kembali bagaimana menata peradaban dengan mengusung nilai luhur petani. Sebab, dengan jalan seperti itulah dahulu nusantara hadir dengan segala bentuk keunggulannya. (mli)