Oleh : Ir. Sunu Pramono Budi
Lurah atau ada yang menyebut kades, adalah jabatan kepala pemerintahan kelurahan. Kelurahan adalah wilayah pemerintahan setingkat desa (Jawa), nagari (Sumbar), gampong (Aceh), kampung (Riau), pekon (Lampung), dan sebutan lainnya. Masing-masing pimpinannya bernama Kades (desa), wali nagari (nagari), keuchik (gampong), kuwu (Cirebon/Pantura), dan penghulu (kampung).
Di zaman dulu lurah (kades) sangat karismatik. Selain kepala pemerintahan terbawah, juga personifikasi tokoh masyarakat. Sehingga, sebelum ada pembatasan masa jabatan lurah, ada lurah yang menjabat seumur hidup. Habis periode dipilih lagi, dan seterusnya sampai bosan. Bahkan, walau sudah tidak menjabat masih dipanggil Pak Lurah “dhongkol” (bhs Jawa: dhongkol artinya mantan).
Walaupun tokoh, lurah sangat merakyat. Jika warganya ada masalah, sedang gotong royong, punya hajatan, dan lainnya, Lurah selalu hadir. Lurah dibantu juru tulis (carik), jogo boyo, jogo tirto. Ada juga modin dan kamituwo.
Dimasa itu jika ketemu Lurah di warung, di pasar, di terminal, atau diperjalanan dan ada warga yang minta tanda tangan, langsung dilayani. Surat atau dokumen yang akan ditanda tangani ditaruh di punggung si warga. Dibaca sebentar, dan kemudian diurek-urek (dicoret-coret). Sret-sret. Distempel (cap, atau thok) yang selalu ada dikantong. Cepat, selesai, tanpa birokrasi.
Tahun 2004 Alhamdulillah bersama teman dari Depnakertrans (sekarang Kementerian Desa) berkunjung ke Paramaribo. Ada acara bertemu Menteri Lingkungan dan Industri Suriname, keturunan Indonesia. Orangnya sangat sederhana. Tanpa ajudan dan asisten. Pak Menteri menyambut sendiri tamunya di depan pintu kantornya. Dengan ramah menyilahkan kita duduk. Sebelum acara dimulai, Pak Menteri sempat menghidupkan kipas angin dan AC sendiri. Sederhana.
Lebih terkesan lagi, apa yang dicontohkan Rasulullah (Nabi Muhammad). Walaupun rasul dan sekaligus kepala negara, kehidupannya begitu sederhana. Amat sangat dekat dengan rakyatnya. Dan keteladanannya itu diteruskan oleh sahabat yang menjadi Khalifah setelahnya.
Oleh karena itu, sungguh mengherankan jika ada pejabat organisasi, pengusaha, atau pemerintahan yang belum apa-apa sudah tampil beda. Baru menjabat, langsung menerapkan aturan ketat. Punya petugas yang khusus membawakan tas dan kaca matanya. Ada pengawal pribadi. Sekretaris pribadi. Tukang membuat pidato. Dan lain sebagainya.
Jika sebelum menjadi pejabat atau pimpinan begitu merakyat. Setelah jadi, berubah. Hilang kebiasaan menyapa duluan. Dihubungi sulit, pesan SMS tidak dibalas, ada urusan harus melalui ajudan, jaga wajah angker, mudah tersinggung, kehilangan senyum, dan kalau pergi kemana saja dikawal voor raider. Maaf, bapak sibuk.
Bisa jadi standar protokolnya mungkin begitu. Tetapi jika itu dilakukan berlebihan malah tidak baik. Terkesan gila hormat, gila jabatan, jaga gengsi, lupa jati diri asal muasal, dan pencitraan.
Karena itu, terjawab sudah. Mengapa Ketum DPP PATRI tidak menyebut dirinya komandan, presiden, atau sebutan yang wah. Itu pilihan pribadi. Cukup nyaman dengan sebutan Lurah.
Semoga warga PATRI yang sedang/akan jadi pejabat, tetaplah menunjukkan jati diri sebagai anak Transmigran. Sederhana, rendah hati, bersahaja, dan merakyat. Karena sesungguhnya kewibawaan, karisma, dan penghormatan akan datang sendiri jika kita tulus dan senang hati menjalankan amanah. (Penulis adalah Ketua DPP PATRI dan Anggota Dewan Pakar PKMS).