Oleh : Imam Trikarsohadi

Kita, sejak kecil hingga usia senja, acapkali mendengar dan membaca kata : takwa. Tapi tak sedikit dari kita yang abai untuk memahami esensi kesejatian takwa, efeknya muncul pelbagai prilaku patologis dalam bentuk dan rupa yang beraneka pola.

Prilaku patologis dalam masyarakat banyak disebabkan oleh keimanan yang ditawar-tawar, ketidakpedulan sosial yang akut, dan kecenderungan untuk memusuhi diri sendiri dan/ atau setidaknya gagal berdamai dengan diri sendiri. Yang demikian, banyak terjadi di negeri ini, dimana tatanan kehidupan gampang koyak oleh sebab hal ihwal yang sebetulnya remeh-temeh.

Atas realitas yang membahayakan kehidupan bersama, dan jika dibiarkan dapat pula memporak-porandakan kehidupan berbanga dan bernegara, maka mutlak ditumbuhkembangkannya kesadaran membangun budaya takwa dalam kehidupan masyarakat.

Sebuah budaya yang mencerminkan keseluruhan sikap — yang terdiri dari aspek keimanan, aspek sosial , dan  aspek emosional. Budaya yang merupakan akumulasi dari hubungan dengan Tuhan, sesama manusia dan hubungan dengan diri sendiri.

Aktualisasi takwa dalam konteks hubungan manusia dengan Tuhan —  hubungan antara seorang makhluk dengan Khaliknya merupakan hubungan perhambaan yang ditandai dengan ketaatan, kepatuhan, dan penyerahan diri kepada Tuhan. Ketaatan dan kepatuhan kepada Tuhan diawali dengan pengakuan dan keyakinan akan kemahakuasaanNya. Keyakinan itu akan mendorong untuk mewujudkannya dalam tingkah laku, berupa taat dan patuh kepada semua aturan yang telah digariskan Tuhan.

Ketaatan dan kepatuhan yang didasarkan atas keyakinan akan melahirkan ketenangan batin dan keikhlasan. Keikhlasan inilah yang menjadi ciri utama seorang hamba yang taat.

Penyerahan diri kepada Tuhan diaplikasikan dalam bentuk penerimaan secara utuh terhadap semua kehendakNYA,baik dalam bentuk ujian maupun cobaan. Ujian maupun cobaan akan dirasakan oleh orang yang pasrah sebagai kebahagiaan.

Ketaatan dan kepatuhan seorang hamba secara nyata diperlihatkan dalam bentuk ibadah ritual atau ibadah mahdhah. Bentuk-bentuk ibadah langsung kepada Tuhan terdiri dari gerakan-gerakan, ucapan-ucapan dan perilaku khusus. Perilaku-perilaku ibadah tersebut ditetapkan secara standar sesuai dengan perintah. Hal ini menunjukkan bukti ketaatan dan kepatuhan tanpa reserve.

Perhambaan manusia kepada Tuhan merupakan realisasi dari tugas hidup manusia sebagai ‘abdullah yang didorong oleh fitrah yang telah tertanam pada diri manusia, karena itu hubungan perhambaan menjadi pertemuan antara fitrah dengan perintah.

Adapun aplikasi takwa dalam hubungan antara manusia dengan manusia lainnya dilakukan dalam bentuk hubungan yang baik dengan sesama, menegakkan keadilan, menyebarkan kasih sayang, dan amar ma’ruf nahyi munkar.

Hubungan baik dengan sesama dilakukan dengan mengembangkan silaturahmi. Silaturahmi adalah menghubungkan kasih sayang, yaitu menjaga, memelihara, dan berkomunkasi dengan orang lain dengan dimotivasi oleh rasa kasih sayang.

Menegakkan keadilan merupakan realisasi dari takwa. Setiap orang berhak untuk memperoleh keadilan, baik keadilan hukum, ekonomi, dan keadilan sosial lainnya. Seiring dengan itu, setiap orang berkewajiban pula untuk menegakkan keadilan sehingga terwujud masyarakat yang adil dan beradab.

Adil adalah meletakkan sesuatu pada tempatnya. Dalam kaitan hukum, keadilan itu dilakukan dengan memberikan hukuman bagi yang bersalah setimpal dengan kesalahannya, siapapun orangnya.

Keadilan ekonomi diwujudkan dalam bentuk pemerataan pendapatan dan terbukanya kesempatan berusaha bagi siapapun. Hak untuk memperoleh keadilan merupakan bagian dari hak azasi seseorang. Karena itu penegakan keadilan merupakan bagian dari hak azasi manusia (HAM).

Aktualisasi takwa yang ketiga adalah hubungan manusia dengan diri sendiri. Takwa dalam kaitan dengan diri sendiri adalah menjaga keseimbangan atas dorongan-dorongan nafsu dan memelihara diri dengan baik. Nafsu yang dimiliki manusia merupakan bagian yang harus dikelola dan dikendalikan dengan baik, sehingga menjadi kekuatan yang mendorong ke arah kebaikan.

Takwa dalam hubungan manusia dengan dirinya sendiri melahirkan sikap –sikap tertentu antara lain: setia dan dapat dipercaya (al-amanah), benar dan jujur (al-shidiq), menempatkan sesuatu pada tempatnya (al-adil), menjaga dan memelihara kehormatan diri (al-‘iffah), merasa malu terhadap Allah dan diri sendiri, apabila membuat pelanggaranhukum atau norma (al-haya), mengelola/menjaga kekuatan fisik, jiwa dan semangat (al-quwwah), sabar ketika harus melaksanakan perintah, menghindari larangan, dan ketika ditimpa musibah (al-shabr).

Aktualisasi takwa yang keempat berupa hubungan manusia dengan alam lingkungan hidup. Ajaran Islam menempatkan manusia dalam konteks ruang dan waktu, karena itu diatur hubungan manusia dengan dua aspek tersebut. Dalam konteks keruangan, Islam menata hubungan manusia dengan alam secara harmonis dan seimbang dengan meletakan Tuhan sebagai sumber dan pemilik mutlak. Penempatan Tuhan  sebagai Pemilik Mutlak menjadikan pemilikan alam oleh manusia menjadi relatif dan sementara yang mengandung konsekuensi dalam bentuk tanggung jawab.

Alam disediakan Tuhan  sebagai bekal agar manusia dapat bertahan dan mempertahankan hidupnya di tengah alam semesta. Karena manusia sebagai makhluk fisik perlu memenuhi kebutuhan hidupnya seperti makan dan minum dari bahan-bahan yang terdapat di alam.

Manusia mengolah alam dengan menggunakan potensi akal yang dimilikinya sehingga kebutuhannya dapat terpenuhi. Akan tetapi akal manusia tidak bisa memecahkan segalanya, karena itu ia memerlukan petunjuk Tuhan. Akal mendorong manusia mengembangkan kemampuan mengolah dan memanfaatkan alam untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya, sedangkan wahyu difungsikan sebagai pembimbing dan pengarah agar manusia tidak melampaui batas-batas pemilikannya sesuai dengan peraturan Tuhan. (Pemimpin Umum).

 

Bagikan:

Tinggalkan Balasan