Oleh : Imam Trikarsohadi)*

Buka puasa bersama bukanlah keriaan, hajatan pesohor, konser musik, pertandingan sepakbola yang menyedot puluhan ribu penonton atau klub-klub hiburan malam dengan pengunjung yang bergerak liar tanpa aturan adab.

Kalaupun ada ratusan peserta, itu sangat jarang sekali terjadi dalam acara berbuka puasa bersama, dan itu masih kalah jumlah dengan jamaah sholat tarawih di masjid-masjid besar di Indonesia, apalagi jika dibandingkan jumlah jamaah di masjidil Haram, Mekah sebagi  pusat nilai-nilai Islam berada.

Dalam Islam, berbuka puasa bersama adalah bagian dari Riyadhah untuk mendidik nilai moral tertentu. Baik ibadah Shaum atau ibadah lainnya, di dalamnya terkandung apa yang kita sebut sebagai Pesan Moral.

Bahkan begitu mulianya pesan moral itu, sampai Rasulullah Saw menilai “harga” suatu ibadah itu dinilai dari sejauh mana kita menjalankan pesan moralnya. Apabila ibadah itu tidak meningkatkan akhlak kita, Rasulullah menganggap bahwa ibadah itu tidak bermakna. Dengan kata lain, kita tidak melaksanakan pesan moral ibadah itu.

Seseorang bisa saja melakukan ibadah puasa. Dia sanggup mematuhi seluruh ketentuan fikih. Tetapi dia sering tidak sanggup mewujudkan seluruh pesan moral ibadah puasa itu. Rasulullah bersabda: “Banyak sekali orang yang berpuasa, tetapi tidak mendapatkan apa-apa kecuali lapar dan dahaga.” Sekali lagi, semua ajaran Islam mengandung pesan moral. Dan pesan moral itulah yang saya pikir dipandang sangat penting di dalam Islam.

Mengapa Islam menekankan prinsip moral itu? Mengapa Islam menekankan prinsip akhlak itu? Karena kedatangan Rasulullah Saw bukan hanya mengajarkan  zikir dan doa. Nabi tegas mengatakan bahwa misinya ialah untuk menyempurnakan akhlak manusia.

Lalu apa yang menjadi pesan moral ibadah puasa? Salah satu pesan moral yang utama ibadah puasa adalah supaya kita menjaga diri dari memakan sembarang makanan. Bahkan makanan yang halal pun tidak boleh kita makan sebelum datang waktunya yang tepat. Jadi, jangan sembarang makan. Jangan makan asal saja. Kita harus memperhatikan apa yang kita makan itu.

Pesan moral Ramadhan adalah agar kita tidak menjadikan perut kita sebagai kuburan orang lain. Jangan jadikan perut Anda sebagi kuburan orang kecil. Jangan pindahkan tanah dan ladang milik mereka ke perut Anda. Itulah pesan Ramadhan, yang menurut saya, relevan dengan kondisi saat ini. Ketika kita dikejar-kejar oleh konsumtivisme (senang berpesta dan belanja barang yang tidak bermanfaat), dan dikejar-kejar untuk meningkatkan status sosial, tidak jarang kita berani memakan hak orang lain.

Tidak cukup hanya sampai disitu. Ibadah puasa juga mengajarkan bahwa walaupun harta itu milik kita, tetapi kita tidak boleh memakannya sendiri. Imam Ali as, pernah berkata: “Tidak pernah aku melihat ada orang yang memperoleh harta yang berlimpah kecuali disampingnya ada hak orang lain yang ia sia-siakan.”

Kita tidak usah menjadi Marxis untuk menyadari bahwa keuntungan yang berlimpah ruah dimiliki orang-orang kaya yang tinggal dinegara-negara  miskin. Misalnya, karena upah buruh yang murah sehingga si pemilik perusahaan memperoleh keuntungan yang besar. Seandainya kita memperoleh gaji yang tinggi, didalam Islam, kita tidak boleh memakan  semua yang kita terima walaupun itu hasil jerih payah kita sendiri.

Bagi yang mempunyai gaji yang berlebih, ia mempunyai tanggung jawab untuk menyantuni orang-orang miskin. Puasa tidak akan bermakna apa-apa sebelum kita memberikan perhatian yang tulus kepada orang-orang yang menderita disekitar kita.

Jadi, berbuka puasa bersama adalah bagian dari kepedulian sosial, bukan sebuah pesta pora,  obral kemewahan atau sebuah manuver untuk kepentingan politik praktis .

Maka, jika kemudian muncul sebuah surat arahan yang dikeluarkan Pemerintahan Jokowi yang menyinggung aspek keagamaan. Surat bernomor 38/Seskab/DKK/03/2023 tanggal 21 Maret 2023 ditandatangani oleh Sekretaris Kabinet Pramono Anung.

Surat yang ditujukan kepada Menteri, Jaksa Agung, Kapolri, Kepala Badan/Lembaga tersebut intinya adalah agar aparat pemerintahan tidak boleh mengadakan acara buka puasa bersama di bulan Ramadhan dengan alasan kehati-hatian terhadap Covid 19. Dengan jelas dinyatakan larangan ini adalah atas arahan Presiden tanggal 21 Maret 2023. Mendagri secara khusus diminta untuk meneruskan arahan Presiden tersebut.

Surat seperti ini tentu mendapat reaksi keras dari masyarakat, karena dianggap mengada-ada. Karena dari sisi jumlah, tak ada akumulasi orang berbuka puasa mampu menandingi  penggalangan para Kades yang dikumpulkan di Senayan,  Musyawarah Rakyat yang dihadiri Presiden atau konser musiki Black Pink yang dihadiri puluhan ribu orang, juga konser – konser musik lainnya, serta jumlah penonton sepakbola.

Akan hanya buka bersama puasa di lingkungan birokrasi, sejatinya sangat bermanfaat dan tidak mengganggu waktu kerja. Di samping mempererat silaturahmi juga dapat digunakan oleh pimpinan untuk memberi arahan membangun soliditas dan disiplin. Nilai spiritualias keagamaan sangat membantu. Menyediakan makan bersama dipastikan tidak akan membangkrutkan negara.

Memperkuat nilai-nilai moral dikalangan birokrasi justru sangat diperlukan saat ini, disaat begitu banyak diantara mereka bergaya hidup hedonis dan angka kebocoran uang negara yang fantastis, dan itu bisa dilakukan melalui pesan-pesan moral saat kultum sebelum acara buka puasa bersama.

Kalau berbuka puasa bersama saja dilarang, bisa jadi nanti ada larangan serupa untuk peringatan nuzulul qur’an, iedul fitri hingga mudik dan halal bihalal yang tentu menyedot lebih banyak mobilisasi orang.

Atau memang ada maksud lain dari larang tersebut, dan lupa bahwa ibadah ramadhan dan rangkaiannya adalah wilayah teritorial Allah SWT ?.(*).

Bagikan:

Tinggalkan Balasan