Oleh : Imam Trikarsohadi
Mencermati perkembangan perilaku manusia Indonesia belakangan ini – di segala tingkatan, nampak ada yang tercampakan, dan yang terlihat semakin menonjol adalah banyak orang yang berprilaku egois, kasar, tidak punya rasa malu, tentu saja suka berdusta.
Kebiasaan yang mengandung nilai dan norma luhur dalam kepribadian dan bersikap kepada sesama terancam bubar.
Kini, kita sudah amat sulit menemukan orang yang bersikap dengan sesama – dalam hal apapun -disampaikan dengan tetutup, halus, dan bermakna. Padahal, dari kebiasaan tersebut akan membentuk kumpulan nilai-nilai yang menjadi pegangan dalam bermasyarakat, dan kemudian terbentuklah kebudayaan yang mempengaruhi moral setiap individu. Mencegah adanya konflik, menjaga kerukunan, serta saling menghormati dengan perasaan isin atau sungkan yang menjadi tuntutan sosial utama.
Perasaan isin dan sungkan terjadi karena proses berpikir dan keadaan mawas diri. Proses berpikir untuk mencapai perasaan isin dan sungkan sangat dipengaruhi oleh cara berpikir. Jika sejak awal sudah keliru dalam cara berpikir, maka akan merusak semua jalan kebaikan.
Padahal, salah satu aktivitas kejiwaan yang utama adalah dengan berpikir (mbudidaya) untuk meraih rasa, dan itu memerlukan adanya cara berpikir yang positif yakni, berpikir dengan keyakinan tinggi bahwa apa yang dilakukan akan berdampak baik. Pola pikir yang keliru akan memengaruhi keadaan jiwa serta tujuan yang nantinya ingin dicapai.
Seperti halnya berpikir negatif tentang keadaan dan tentang perilaku orang lain. Pikiran negatif tentang keadaan akan menekan jiwa, dan jiwa akan mengalami goncangan yang membuat seseorang mengalami gangguan kejiwaan seperti egois, serakah, kasar, dusta, stres dan depresi.
Pikiran negatif juga akan memengaruhi tujuan. Pikiran akan memengaruhi hasil, sedang perasaan adalah energi yang akan mendorongnya.
Jadi apa yang dipikirkan itu yang akan mendorong terjadi sebuah situasi, seperti halnya dalam sebuah hadis kudsi yang berbunyi, “Sesungguhnya Aku sesuai prasangka hamba-Ku”. Ketika negatif yang melingkupi pikiran, maka itu juga dapat memengaruhi keadaan jiwa.
Sebab apa? Jawabnya karena jiwa merupakan sesuatu yang halus dan transendental. Jiwa itu ibarat air dan lendhut yang mampu mrojol selaning garu (melewati sela-sela garu).
Bentuknya garu seperti sisir yang berfungsi meratakan tanah bajakan pada saat akan ditanami padi. Saat musim tanam padi datang petani akan mengolah sawahnya. Sebelum ditanami padi, tanah di sawah diolah terlebih dahulu. Salah satunya dengan digaru. Gerakan seorang petani yang sedang menggaru tanah adalah gambaran jiwa yang makarti atau bekerja.
Jiwa itu halus, seperti ibarat air dan lendhut itu yang walaupun dibendung kemudian digaru tetap masih mengalir disela-sela garu dan akan tetap tenang. Jiwa akan terlihat bersih ketika tenang seperti halnya air yang ada di lendhut yang telah menep (mengendap). Tetapi ketika bergejolak akan telihat keruh. Demikian gambaran jiwa yang kadang tenang kadang bergejolak.
Sebab itu, lahir adalah yang menjalankan fisik, sedang bathin adalah yang menjalankan jiwa. Sering kita dengar bahwa orang melakukan olah bathin, salah satunya dengan menjaan ibadah puasa ramadhan . Karena dengan olah bathin ini akan membersihkan serta melatih jiwa.
Seseorang dalam melatih jiwa salah satunya mesti sumeleh (mengurangi hal yang tidak mungkin dan berlebih-lebihan). Dengan begitu orang akan berpikir positif dan hidupnya akan lebih baik. Berpikir merupakan sebuah proses sebelum berperilaku. Orang yang beretika dan bermoral dapat dikatakan memiliki cara berpikir yang positif.
Ngelmu begja juga menjadi salah satu strategi guna berpikir positif, sebab di dalamnya terdapat rasa yang menjadi pondasi. Rasa yang mendalam, yang diproses sedemikian rupa hingga peka terhadap suasana, lalu memacu berpikir positif. Seperti halnya ungkapan ; Sugih tanpo bondo, digdaya tanpo aji.
Sugih tanpo bondo dikaitkan dengan berpikir positif yakni memiliki pikiran dalam keadaan kaya tetapi tetap dengan etika tidak merasa kaya, tidak melupakan nilai-nilai moral yang ada, dan tidak merasa lebih giat bekerja dibandingkan orang lain. Dengan perilaku tersebut akan tercipta pikiran yang berdampak pada perilaku pada masyarakat.
Digdaya tanpo Aji, yakni orang yang hebat tanpa kesaktian. Orang yang memiliki etika yang baik tak akan terkalahkan karena dalam dirinya memiliki keyakinan baik (berpikir positif) tentang orang lain.
Mawas diri adalah kunci pokok untuk berjalannya peradaban. Hal ini hanya dapat dilakukan ketika jiwa tinarbuka, mau mengoreksi, dan menerima situasi sebagaimana adanya.
Jadi dapat dikatakan bahwa mawas diri adalah sama dengan teori psikologi tentang regulasi diri, yakni mengolah dan mengaktifkan pikiran, perasaan, dan lingkungan secara maksimal.
Maka psikoterapi jiwa dapat melalui tiga tahap yakni, pertama; pikiran. Berpikir positif di atas dapat menjadi sarana pembendung penyakit jiwa, yakni keinginan tentang hal yang tak mungkin dan berlebihan.
Kedua; perasaan. Tinarbuka merasa was-was dan sumeleh yakni tidak grusa-grusu. Menghaluskan perasaan untuk beretika dan merasakan apa yang orang lain rasakan. Dengan demikian akan menghubungkan antara jiwa satu dengan satunya. Dengan terhubungnya jiwa akan meredam dampak tekanan pada jiwa yang mengalami goncangan.
Ketiga; lingkungan. Dalam konsep psikoterapi terdapat cara mengatasi jiwa yang telah sakit yakni mengupayakan jiwa kembali pada keadaan ketika sehat. Upaya yang dilakukan dapat dengan menciptakan lingkungan serta kebudayaan yang selaras agar jiwa tetap sehat.
Mbudidaya jiwa yang memiliki rasa yang halus akan menciptakan suasana yang baik pada jiwa yang tergoncang. Lingkungan dengan nilai-nilai etika yang luhur menjadi salah satu ruang psikoterapi bagi jiwa yang mengalami tekanan atau gangguan jiwa. (*).