MEDIA LINGKAR INDONESIA

Oleh Retor AW Kaligis

Institut Marhaen, penulis buku Marhaen dan Wong Cilik (2014)

Siapa yang punya tanah yang engkau kerjakan?” tanya Bung Karno
“Saya, juragan,” jawab si petani
“Apakah engkau memiliki tanah ini bersama-sama dengan orang lain?”
“ Saya sendiri yang punya.”
“Tanah ini kaubeli ?”
“Tidak. Warisan bapak kepada anak turun-temurun.”
Sekop kecil, kepunyaanmu juga ?”
Ya, gan.”
“Dan cangkul?”
“Ya, gan.”
“Bajak ?”
“Saya punya, gan.”
“Untuk siapa hasil yang kaukerjakan?”
“Untuk saya, gan.”
“Apakah cukup untuk kebutuhanmu ?”
Si petani mengangkat bahu, Bagaimana sawah yang begini kecil bisa cukup untuk seorang isteri dan empat orang anak ?”
Apakah ada yang dijual dari hasilmu?”
“Hasilnya sekadar cukup untuk makan kami. Tidak ada lebihnya untuk dijual.”
“Kau mempekerjakan orang lain ?”
“ Saya tidak dapat membayarnya.”
Apakah engkau pernah memburuh?”
“Tidak, gan. Saya harus membanting-tulang, akan tetapi jerih-payah saya semua untuk saya.”
Bung Karno lalu menunjuk ke sebuah pondok kecil, Siapa yang punya rumah itu?”
Itu gubuk saya, gan. Hanja gubuk kecil saya, tapi kepunyaan saya sendiri.”
“Jadi kalau begitu, semua ini engkau punya?”
“Ya, gan.”
Cuplikan dialog di atas terjadi tahun 1920-an ketika Bung Karno yang masih berstatus mahasiswa di Technische Hoge School (THS) bertemu seorang petani bernama Marhaen di daerah Cigereleng, di selatan kota Bandung. Ada yang menyebut nama aslinya adalah Aeng atau Kang Aeng. Apapun nama aslinya, sosok si petani menggambarkan tipikal nasib rakyat kecil, khususnya kaum tani, di Indonesia. Dikutip dari buku Bung Karno Penjambung Lidah Rakjat Indonesia, Bung Karno mengamati bahwa meskipun si petani bekerja dengan keras dan memiliki alat produksi sendiri (sepetak sawah, sekop, cangkul, dan bajak), ia tetap miskin akibat sistem yang menindas dan memelaratkannya.
Perjumpaan Bung Karno dengan si petani kemudian menjadi sumber inspirasinya menelurkan ajaran marhaenisme. Sosok sang petani dalam pikiran Bung Karno adalah manusia mandiri, dalam arti tidak menggantungkan kepada siapapun dalam mencukupi kebutuhan hidupnya. Bung Karno memformulasi sosok Marhaen ke dalam konsep nasionalisme dan demokrasi. Jiwa nasionalismenya adalah mencintai tanah air yang mengalami penindasan sehingga membuat rakyat melarat. Jiwa demokrasinya adalah hak milik sendiri, dikelola sendiri dan hasilnya dinikmati sendiri, yang analog dengan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Kedua konsep tersebut dijadikan dasar ajaran marhanisme, yakni sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi. Sosio-nasionalisme merupakan nasionalisme yang menolak penindasan terhadap sesama manusia dan mengabdi kepada kepentingan rakyat banyak. Adapun sosio-demokrasi adalah demokrasi yang bertujuan mencapai kesejahteraan bersama, bukan untuk segelintir golongan.

Pada 1 Juni 1945, kedua konsep itu dijabarkan Bung Karno, yakni: sosio-nasionalisme menjadi perikemanusiaan dan kebangsaan; serta sosio-demokrasi menjadi kerakyatan dan kesejahteraan. Ditambah asas Ketuhanan menjadi lima asas, yakni Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa (philosofische grondslag)
Bung Karno mengembangkan pengertian tentang marhaen tidak sebatas menunjuk pada golongan petani miskin yang masih memiliki aset produksi. Pada pidato pembelaannya berjudul Indonesie klaagt aan (Indonesia Menggugat) di Pengadilan Kolonial di Bandung tahun 1930, Soekarno menyebut kaum marhaen sebagai semua golongan kromo (kecil), baik petani kecil, buruh kecil, pedagang kecil, nelayan kecil, dan sebagainya. Mereka dimelaratkan oleh imperialisme, kolonialisme, dan kapitalisme yang telah mematikan perdagangan, pelayaran, dan petukangan di nusantara bagi kepentingan penjajah.

Artinya, berbeda dengan pengertian Karl Marx tentang kelas sosial proletar, bagi Soekarno marhaen adalah semua kalangan yang dimarjinalkan secara ekonomi, baik memiliki aset produksi maupun tidak, melalui penggunaan kekuasaan. Kemiskinan kaum marhaen adalah akibat sistem yang mengeksploitasi sumber daya ekonomi dan penempatan penduduk sebagai sumber tenaga kerja murah. Inti ajaran Bung Karno mengenai marhaenisme adalah melawan segala bentuk penindasan, baik penindasan yang dilakukan bangsa asing maupun bangsa sendiri. Karena itu, marhaenisme menjadi asas pergerakan dan perjuangan guna mengangkat derajat kaum marhaen.

Pemburu Rente dan Kabir
Berbeda dengan India, jajahan Inggris, yang memiliki kelas borjuasi mandiri dan relatif kuat untuk melakukan swadesi (gerakan yang menganjurkan penggunaan barang-barang buatan bangsa sendiri) untuk melawan imperialisme dagang Inggris, pada awal merdeka Indonesia hanya banyak memiliki kaum marhaen, baik memiliki alat produksi atau tidak. Tidak juga seperti di Eropa pada masa Revolusi Perancis abad 18, di Nusantara kapitalisme modern masuk melalui kolonialisme, tidak mengganti feodalisme melainkan memanfaatkannya sebagai jaringan dan budaya kerja.

Dilihat dari sudut pandang kategori marxisme maupun weberian, tidak semua kelas atas dan menengah mendukung eksploitasi dan pengucilan yang memiskinkan. Bung Karno sendiri menghendaki marhaenis, yakni mereka yang memperjuangkan kaum marhaen untuk mengangkat derajatnya, baik para intelektual, para pegawai kelas menengah, pengusaha, dan sebagainya. Marhaenisme merujuk pada cita-cita tumbuhnya masyarakat ekonomi dan politik yang berorientasi kerakyatan, dalam arti si miskin dan si kaya berjuang bersama untuk keadilan dan kesejahteraan.

Bung Karno mengaitkan ajarannya dengan budaya gotong-royong antar kelas sosial seluruh komponen bangsa sebagai cara perjuangan. Hal itu membedakannya dengan komunisme dan berbeda pula dengan kompetisi bebas (neo) liberalisme ekonomi yang menindas dan memarjinalkan kaum marhaen.

Pada 1 Juni 1945 Soekarno berkata, ’Gotong royong adalah faham yang dinamis, lebih dinamis dari kekeluargaan. Gotong royong adalah pembantingan-tulang bersama, pemerasan-keringat bersama, perjuangan bantu-membantu bersama. Ho-lopis-kuntul-baris buat kepentingan bersama! Secara ilmiah, para akademisi mengakui budaya gotong royong merupakan bentuk kolektivisme yang ada di berbagai etnis dalam masyarakat Indonesia sejak sebelum masa kolonial dan terus hidup dan membantu rakyat kecil di tengah kungkungan feodalisme dan kolonialisme.

Pada era 1950-an, melalui Program Benteng, Bung Karno bermaksud mendorong tumbuhnya borjuasi nasional mandiri. Borjuasi nasional itu diharapkan menjadi marhaenis yang membangun ekonomi nasional berkeadilan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Namun kebijakan itu disalahgunakan, banyak borjuasi bertumbuh karena menjadi pemburu rente. Mereka memperoleh keuntungan dengan cara monopoli, jual-beli lisensi, dan praktik bermodal kekuasaan. Para pemburu rente bersinergi dengan kapitalis birokrat (kabir) yang menggunakan kekuasaannya untuk memperkaya diri dengan melayani pemodal, memanipulasi anggaran negara, suap, pungli, hingga menjadi centeng berseragam.

Pengusaha pemburu rente dan kabir menjadi benalu sejak 1950-an dan semakin berkembang pada era Orde Baru. Terlebih sepanjang Orde Baru, desukarnoisasi dilakukan secara sistematis. Hanya sebulan setelah Supersemar 1966, PNI yang identik dengan partai marhaen digiring melaksanakan Kongres Luar Biasa untuk menyingkirkan pengaruh Bung Karno. Tak lama kemudian, gelar Bapak Marhaenisme dicabut dari Bung Karno. Marhaenisme juga sempat distigma sebagai komunisme.

Di zaman reformasi, para pemburu rente dan kabir banyak memainkan peranan mendudukkan calonnya dalam Pemilu Legislatif, Pemilihan Kepala Daerah, hingga Pemilihan Presiden. Kaum marhaen juga digempur (neo) liberalisme ekonomi. Karena itu, dalam menyongsong 75 tahun Indonesia kini, kita patut bertanya bagaimana masa depan kaum marhaen dan marhaenisme?

Cita-Cita Pembebasan
Pada kata pengantar buku Marhaen dan Wong Cilik (2014), Jokowi menyatakan, marhaenisme sesungguhnya tidak eksklusif perjuangannya pendukung Bung Karno, karena namanya rakyat kecil atau kaum marhaen berada di mana-mana, dari Sabang sampai Merauke, dari agama dan suku apapun, termasuk dari aliran politik apapun. Dalam pembukaan Kongres III PA GMNI di Jakarta, 7 Agustus 2015, Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali mengingatkan semangat marhaenisme meski jalan cita-citanya tidak mulus, berliku-liku, dan mendaki.

Jokowi memiliki kompetensi berbicara tentang marhaenisme karena selain sebagai kader partai Soekarnois, dia bukan berlatar belakang pengusaha pemburu rente yang mengejar proyek pemerintahan dan besar karena nepotisme. Ia memiliki potensi menjalankan perannya sebagai marhaenis yang berjuang bersama kaum marhaen membangun struktur ekonomi berkeadilan.

Sejak periode pertama pemerintahan, Presiden Jokowi sudah memulai dengan langkah memberantas pemburu rente dan kabir sebagai mafia di sejumlah sektor, seperti migas dan pangan serta usaha efisiensi birokrasi. Kebijakan pembangunan infrastruktur yang secara masif juga sudah terlihat hasilnya di berbagai daerah. Komitmen tersebut menjadi dasar membangun iklim ekonomi sehat dan merata untuk menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik.

Namun, Pemerintahan Jokowi perlu memperkuat konsolidasi dalam pelaksanaan Pasal 33 UUD 1945 secara konsisten dan konsekuen untuk melakukan kerja-kerja strategis merombak struktur sosial. Terlebih tidak semua penyokong kekuasaan Presiden berpihak kepada kaum marhaen. Ross Tapsell (2018) mengingatkan, kendati pemerintahan otoriter tidak ada lagi, era baru demokrasi di Indonesia sejak 1998 didominasi oleh kaum oligarki yang dibesarkan kebijakan ekonomi Orde Baru dengan menata ulang relasi-relasi kuasa lama yang predatoris di dalam sistem baru.

Pemerintahan bersih dan efisiensi menjadi prasyaratnya. Penguasaan negara terhadap kekayaan alam serta cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak harus diperuntukkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Perombakan kebijakan skema kredit, jaringan pemasaran, dan pendampingan manajemen dilakukan untuk kepentingan petani, nelayan dan usaha kecil sebagai mayoritas hidup rakyat. Insentif pembiayaan serta proteksi pasar melalui kebijakan perpajakan dan ekspor-impor juga perlu diberikan, terutama bagi inovasi di bidang teknologi menyangkut kehidupan masyarakat luas, seperti sektor pertanian dan kesehatan. Koperasi dijadikan sokoguru perekonomian nasional. Reforma agraria juga harus dijalankan untuk merombak ketimpangan struktur penguasaan tanah yang menyebabkan perbedaan kuasa dan kemampuan menjangkau akses terhadap modal dan sarana produksi. Pelaksanaan Pasal 33 UUD 1945 merupakan tugas sejarah pembebasan kaum marhaen.

Di tengah kerasnya gempuran neoliberalisme ekonomi dan masih merajalela praktik kekuasaan korup, marhaenisme harus tetap hidup sebagai perjuangan pembebasan rakyat kecil. Bung Karno wafat 50 tahun lalu, tapi marhaenisme tidak boleh pergi bersama Bung Karno.

 

Bagikan:

Tinggalkan Balasan