LINGKAR INDONESIA – Karya Gilang Esa Mohamad (2006557856), Mahasiswa Magister Program Pasca Sarjana Departemen Ilmu Politik Universitas Indonesia, FISIP-UI. Artikel Media Ditujukan Sebagai Ujian Akhir Semester Gasal Tahun Akademik 2020/2021. Mata Kuliah Perbandingan Politik. Pengajar: Chusnul Mar’iyah Ph.D.

Sejak berhasil terpilih sebagai presiden Indonesia pada Pilpres 2014 dan 2019, sosok Joko Widodo (Jokowi) dalam realitasnya tidak pernah berhenti dikaitkan dengan sejumlah isu, khususnya yang berkaitan dengan adanya kecenderungan islamophobia dan otoritarianisme. Pasalnya, hal itu setidaknya tercermin dalam sejumlah kebijakan yang dikeluarkan oleh rezim pemerintahan Jokowi yang telah berkuasa selama enam tahun terakhir ini.

Kebijakan-kebijakan tersebut diantaranya seperti merangkul kelompok oposisi agar dapat bergabung mendukung pemerintah melalui pendistribusian posisi atau jabatan-jabatan strategis pemerintahan, mengeluarkan sejumlah peraturan perundang-undangan yang cukup kontroversial, seperti UU Ormas, UU KPK hasil revisi, UU Minerba, UU Penanganan Covid-19, hingga UU Omnibus Law Cipta Kerja, menggunakan pendekatan keamanan dalam berbagai kesempatan melalui pelibatan aparat TNI/POLRI, hingga tak segan menangkap dan menjebloskan berbagai tokoh yang kerap mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah serta dianggap dapat mengganggu stabilitas nasional, seperti yang kemudian dapat dilihat dalam berbagai kasus kriminalisasi terhadap ulama atau para tokoh agama, hingga tokoh-tokoh oposisi yang berada di luar Pemerintahan.

Alhasil, kesan yang berkembang di kalangan masyarakat hingga kini kemudian kerap menghasilkan suatu stigma yang menganggap bahwa semakin lama rezim pemerintahan Jokowi berkuasa justru semakin menunjukkan adanya praktik-praktik bernuansa otoritarian hingga kecenderungan yang anti terhadap Islam atau yang kemudian dapat disebut sebagai islamophobia.

Terlebih, adanya stigma-stigma tersebut kemudian juga turut tergambar dalam sebuah surat terbuka yang dilayangkan oleh salah satu akademisi dari Departemen Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia yang juga merupakan salah seorang deklarator dari Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), Chusnul Mar’iyah Ph.D. Melalui surat terbuka yang ditujukan kepada para pemimpin bangsa, Chusnul Ma’riyah kemudian menyuarakan keprihatiannya terhadap berbagai dinamika dan peristiwa yang terjadi di Indonesia selama beberapa waktu belakangan ini, terlebih sejak berada di bawah kepemimpinan Jokowi sebagai Presiden. Hal itu diantaranya seperti terjadinya penghilangan nyawa terhadap sejumlah putra-putri bangsa baik yang salah satunya dapat dilihat dalam tragedi di kilometer 50 tol Cikampek yang menewaskan enam orang laskar Front Pembela Islam (FPI) hingga aksi-aksi demonstrasi yang memakan korban, seperti yang tercermin dalam aksi demonstrasi penolakan terhadap revisi UU KPK dan UU KUHP, RUU HIP/PIP, hingga UU Omnibus Law Cipta Kerja, kriminalisasi terhadap para ulama dan berbagai elemen masyarakat yang sejatinya memiliki perbedaan pandangan dengan pemerintah, kesemrawutan manajemen pemerintahan hingga berdampak pada kemunculan sejumlah persoalan lain, seperti meningkatnya kemiskinan, pengangguran, kerawanan sosial serta praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang semakin membudaya serta adanya inkonsistensi dalam menerapkan sejumlah kebijakan, seperti dalam hal kenaikan iuran BPJS hingga penanganan terhadap penyebaran pandemi Covid-19. Akibatnya, Chusnul Mar’iyah dalam kesempatan tersebut kemudian berusaha mengingatkan kembali kepada para elit pemimpin bangsa yang saat ini tengah berkuasa agar dapat melakukan koreksi terhadap tata kelola pemerintahan, sehingga dapat lebih mencerminkan nilai dan prinsip yang telah diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945. Bahkan, melalui surat terbukanya tersebut Chusnul Mar’iyah juga menyampaikan bahwa situasi yang tengah berlaku di Indonesia saat ini justru tidaklah sedang baik-baik saja, akibat semakin defisitnya iklim demokrasi yang berkembang di masyarakat hingga ketidaksungguhan elit-elit politik dalam menjalankan fungsi dan peranannya karena dianggap memiliki kelemahan dari segi kepemimpinan dan perencanaan kebijakan (lack of leadership and planning/policy).

Selain itu, pandangan-pandangan lainnya yang juga berbicara mengenai hal serupa juga dapat dilihat melalui berbagai perspektif. Contohnya, seperti yang disampaikan oleh Prof. Greg Fealy yang merupakan seorang akademisi dan sekaligus guru besar di Australian National University (ANU) bahwa kepemimpinan Jokowi cenderung tak ramah dengan adanya keberagaman di Indonesia. Hal itu setidaknya didasarkan olehnya pada sejumlah kebijakan yang dikeluarkan oleh rezim pemerintahan Jokowi yang kemudian dipandang represif terhadap kalangan Islam khususnya tatkala pemerintah Indonesia semakin gencar dalam memerangi kelompok-kelompok Islam yang dianggap radikal, seperti FPI maupun HTI. Hal ini yang secara garis besar sejatinya tidak dapat dipisahkan dari konstelasi politik yang berkembang pasca penyelenggaraan pilkada DKI Jakarta 2017 dan pemilu serentak 2019. Pasalnya, melalui kedua momentum politik tersebut kemudian terlihat dengan jelas bahwa terdapat suatu keengganan dari sejumlah kelompok Islam untuk memberikan dukungannya kepada Jokowi, sekalipun dirinya telah menggandeng Ma’ruf Amin yang merupakan representasi dari umat Islam sebagai calon wakil presiden serta membiarkan proses hukum terhadap Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) tetap berjalan.

Apalagi, hal tersebut makin diperparah dengan kekalahan Jokowi di wilayah-wilayah yang terkenal memiliki fanatisme dan sentimen Islam yang besar pada pilpres 2019, seperti di provinsi Aceh, Sumatra Barat, Jawa Barat, Nusa Tenggara Barat, hingga Sulawesi Selatan. Terlebih, realitas yang berlaku hingga kini kemudian masih menunjukkan adanya diskursus yang menempatkan rezim pemerintahan Jokowi dengan kelompok-kelompok Islam ke dalam sebuah pertentangan atau antagonisme yang tajam. Salah satunya kemudian dapat dilihat dari masih maraknya penggunaan dikotomi “cebong” dan “kampret” di kalangan masyarakat, sehingga membuat stigma anti Islam dan islamophobia yang disematkan kepada rezim pemerintahan Jokowi masih melekat kuat hingga kini.

Di samping itu, perspektif lainnya yang juga tak kalah mengundang kontroversi kemudian dapat dilihat melalui sebuah karya dari Ben Bland, yang merupakan salah seorang peneliti Lowy Institute yang dalam hal ini merupakan sebuah lembaga think thank yang bermarkas di Sydney, Australia. Karya fenomenal tersebut berjudul “Man of Contradictions: Joko Widodo and the Struggle to Remake Indonesia”. Dalam karyanya tersebut, Bland kemudian menganggap bahwa rezim pemerintahan Jokowi tengah diwarnai oleh berbagai kontradiksi dari sejumlah kebijakan yang diterapkan dari mulai yang berkaitan dengan rencana pemindahan ibukota negara hingga manajemen penanganan terhadap pandemi Covid-19. Bahkan, Bland juga tak segan memandang sosok Jokowi hanya sebagai seorang “walikota” yang tinggal di Istana Presiden karena merujuk pada berbagai sikap dan kebijakan yang ditonjolkan olehnya selama memerintah sebagai presiden.

Alhasil, hal-hal tersebut yang mungkin membuat Bland beranggapan bahwa Jokowi telah terbelenggu dengan posisinya, sehingga menjadikan dirinya relatif sulit untuk menepati berbagai janji kampanye yang telah disampaikan sejak pilpres 2014 maupun pilpres 2019.

Adapun dalam melihat kecenderungan islamophobia dan wajah otoritarian Indonesia sejak berada di bawah kendali rezim pemerintahan Jokowi, setidaknya tidak dapat dipisahkan dari sejumlah konteks yang berlaku. Salah satunya dapat dilihat pada saat kepulangan Muhammad Rizieq Shihab (MRS) ke Indonesia pada tanggal 9 November 2020 kemarin yang kala itu sempat menjadi sorotan publik. Pasalnya, sosok yang menjadi panutan utama FPI dan sejumlah kalangan Islam lainnya serta merupakan salah satu king maker pada pilkada DKI Jakarta 2017 silam tersebut sejatinya selalu berhasil mencuri perhatian publik dengan berbagai kontroversi yang melekat padanya. Hal itu setidaknya bermula saat mencuatnya kehebohan publik tatkala kepulangan dirinya dari Arab Saudi yang kemudian disambut dengan lautan manusia bak pahlawan yang baru saja pulang dari medan peperangan. Adapun, kehebohan tersebut berlanjut tatkala MRS kemudian berhasil melangsungkan acara pernikahan putri keempatnya pada tanggal 15 November kemarin dengan dimeriahkan oleh ribuan tamu undangan yang hadir. Hingga kemudian, kehebohan lainnya mencuat tatkala terjadinya kasus penembakan terhadap enam orang laskar FPI yang tercatat merupakan bagian dari pengawal pribadi MRS. Alhasil, adanya kehebohan-kehebohan tersebut kemudian direspon oleh pihak kepolisian dengan menetapkan MRS dan lima orang lainnya sebagai tersangka kasus pelanggaran protokol kesehatan.

Adanya penetapan tersangka tersebut kemudian menuai protes keras dari elemen-elemen Islam khususnya yang selama ini tercatat sebagai bagian dari pendukung MRS. Mereka kemudian menganggap bahwa penetapan tersangka terhadap MRS dan lima orang lainnya tersebut cenderung bermuatan politis dan terkesan tebang pilih. Apalagi, kasus penembakan terhadap enam orang laskar FPI di kilometer 50 tol Cikampek kemudian turut membuat barisan pendukung MRS makin menggelorakan stigma yang menganggap bahwa rezim pemerintahan Jokowi anti dan represif terhadap Islam.
Terlebih, klimaks dari semua itu akhirnya turut ditandai dengan adanya keputusan bersama yang dikeluarkan oleh sejumlah kementerian, TNI dan POLRI mengenai penetapan FPI sebagai ormas terlarang secara sepihak. Akibatnya, hal tersebut kemudian semakin membuat kesan islamophobia dan wajah otoritarian rezim pemerintahan Jokowi menjadi kian sulit untuk dibendung. Adapun untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah khususnya presiden Jokowi setidaknya perlu untuk menyampaikan klarifikasi dan penjelasan yang menyeluruh kepada publik mengenai peristiwa-peristiwa tersebut.

Tujuannya, agar pemerintah dapat menunjukkan bahwa negara tidak terkesan melakukan pembiaran terhadap diskursus dan sentimen yang berkembang di kalangan publik, tetapi hadir dalam memberikan pertanggungjawaban secara penuh dan terbuka kepada seluruh warga negaranya. Dengan demikian, hal tersebut setidaknya juga dapat dijadikan sebagai suatu pembuktian dalam menjawab berbagai tudingan yang dialamatkan kepada pemerintah khususnya di tengah konteks upaya dalam mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik dan akuntabel.(YD)

Bagikan:

Tinggalkan Balasan