Oleh : Ir.H.Sunu Pramono Budi, MM.

Sebelum memasuki era Reformasi, pemilihan eksekutif dan legislatif dilakukan secara demokrasi perwakilan. Untuk kepala daerah, anggota DPRD memilih satu dari beberapa calon yang diajukan partai.

Dibandingkan dengan pemilihan secara langsung ala demokrasi liberal, sistem perwakilan ini banyak dampak positifnya. Diantaranya: biaya sangat murah, hampir tidak ada gejolak sosial, amat jarang terjadi money politic, dan stabilitas keamanan lebih terjaga.

Mungkin bagi penganut demokrasi liberal, cara ini dianggap kurang mewakili aspirasi masyarakat. Tetapi, jika kita mengacu kepada Sila ke 4 Pancasila; “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”, sistem pemilu demokrasi liberal ini berseberangan. Boleh dikatakan, sistem pemilu yang dianut saat ini, merupakan suatu sistem demokrasi yang sangat memiskinkan.

Apa dampaknya bagi Transmigrasi? Sungguh luar biasa kontra produktif. Karena untuk berkuasa memerlukan biaya sangat besar, maka para calon kepala daerah berlomba-lomba mencari sponsor. Pada umumnya sponsor membidik daerah yang masih banyak deposit bahan tambang, dan tanah-tanah luas untuk perkebunan. Sehingga, daripada tanah diberikan kepada calon transmigran yang sebagian besar warga tidak mampu, lebih “untung” diberikan kepada perusahaan. Cash and carry.

Hal ini banyak dirasakan para aktivis lapangan. Ketika negara memerlukan lahan untuk transmigrasi, biasanya dijawab sudah habis. Sebaliknya, ketika pengusaha datang perlu lahan hak guna usaha (HGU) perkebunan, ternyata masih ada. Bahkan lahan yang dahulu sudah diserahkan dan dicadangkan melalui SK Kepala daerah untuk kawasan transmigrasi, direvisi berulang kali. Hingga luasannya makin habis.

Semuanya itu, lagi-lagi karena didesak kebutuhan biaya Pilkada yang super mahal. Karena itu, kita tidak boleh pasrah dengan skenario gila ini. Kita harus segera menyudahi sistem pemilihan yang rakus dan menguras habis-habisan potensi negeri ini. Atau kita rela terpasung utang, rentan diadu domba, dan akhirnya negeri ini mudah dipecah belah. Tammat NKRI. Astaghfirullah.

Kader PATRI yang bakat berpolitik, teguhkan hatimu menggalang opini dan potensi untuk merevisi sistem yang kian memiskinkan ini. Tapi Saya juga wanti-wanti. Jangan sampai, setelah masuk sistem malah lupa diri.

Ya Allah, lindungi negeri tercintaku  ini. Ya Robb, lindungi Gerakan Transmigrasi.

(Penulis adalah Ketum DPP PATRI dan Anggota Dewan Pakar Pusat Kajian Manajemen Strategik).

 

 

Bagikan:

Tinggalkan Balasan