Oleh  Imam Trikarsohadi)*

Berita KORAN TEMPO edisi SABTU, 1 Oktober 2022 bikin seluruh nusantara geger. Sebab berita yang menuliskan ihwal upaya Ketua KPK Firli Bahuri yang diduga ingin menjerat Anies Baswedan di Kasus Formula E, dst, menyebar secara berantai dengan sangat cepat melalui pelbagai jejaring media sosial.

Berdasarkan penuturan sumber-sumber yang dilindungi identitasnya oleh KORAN TEMPO, dalam berita itu ditulisakan bahwa Ketua KPK Firli Bahuri disebut berkali-kali mendesak satuan tugas penyelidik agar menaikkan status kasus Formula E ke tahap penyidikan. Ada keinginan menetapkan Anies sebagai tersangka sebelum partai politik mendeklarasikan Gubernur DKI Jakarta itu sebagai calon presiden 2024.

Satuan tugas tim penyelidik Formula E pada Komisi Pemberantasan Korupsi kembali melakukan gelar perkara Formula E, Rabu, 28 September 2022. Rapat itu dipimpin Ketua KPK Firli Bahuri. Tiga Wakil Ketua KPK ikut hadir, yaitu Alexander Marwata, Nurul Ghufron, dan Nawawi Pomolango, serta Deputi Penindakan Karyoto.

Tiga penegak hukum yang mengetahui gelar perkara ini mengatakan satuan tugas penyelidikan yang dipimpin Raden Arif itu membeberkan hasil penyelidikan timnya dalam gelar perkara tersebut. Hasilnya, kasus Formula E itu belum cukup bukti dilanjutkan ke tahap penyidikan. Namun Firli berbeda pendapat dalam gelar perkara tersebut.

“Di gelar perkara itu, Pak Firli berkukuh agar kasus Formula E segera naik penyidikan,” kata penegak hukum yang mengetahui informasi tentang gelar perkara tersebut, kemarin.

Jenderal polisi bintang tiga itu meminta agar Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan ditetapkan sebagai tersangka kasus Formula E. Pertimbangannya, sudah ada pendapat ahli hukum yang menilai kasus Formula E merupakan pelanggaran pidana korupsi.

“Firli meminta agar Anies segera ditetapkan sebagai tersangka sebelum partai politik mendeklarasikannya sebagai calon presiden,” kata seorang penegak hukum lainnya.

Penegak hukum ini menceritakan alasan Firli Bahuri meminta pengusutan kasus Formula E segera masuk penyidikan. Menurut Firli, pengusutan perkara itu harus dihentikan ketika partai politik sudah mendeklarasikan Anies sebagai calon presiden 2024. Jika tidak, kata dia, penyelidikan KPK berpotensi membuat gaduh kondisi politik nasional. KPK baru dapat melanjutkan penyelidikan seusai pemilihan presiden 2024, dst.

Sebab pantikan berita tersebut, jutaan rakyat Indonesia seperti sepakat bahwa telah diproses kriminalisasi politik terhadap Anies Baswdan. Efeknya, puluhan juta simpati masyarakat mengalir deras terhadap Anies dalam rentang waktu yang demikian cepat.

Jadi, bukan mustahil juga jika kemudian muncul wacana dan rencana dari begitu banyak pihak untuk mengingatkan KPK terkait hal itu. Lalu, apakah  kriminalisasi politik?.

Terminologi kriminalisasi perlu diteropong dalam konteks hukum, dimana  sebuah kasus dapat dikatakan sebagai kriminalisasi jika ada perbuatan yang bukan termasuk tindak pidana, kemudian dikriminalkan. Hal itu berarti juga sebuah pemaksaan terhadap status hukum seseorang.

Padahal, tidak terdapat pelanggaran pidana yang dilakukan. Tapi, karena alasan-alasan tertentu yang bahkan tidak masuk akal dan melanggar nurani, seseorang bisa saja dikriminalkan. Kok bisa?.

Apa boleh buat, jika  hukum sudah tidak berpijak pada landasan keadilan, maka kebenaran menjadi sangat relatif. Hukum tidak lagi netral, tapi memihak pada kepentingan. Contohnya, memihak pada kepentingan penguasa atau pemilik modal atau pribadi tertentu yang memiliki pengaruh sosial-politik di tengah masyarakat. Penguasa bukan lagi menjadi alat hukum, tapi berubah menjadi hukum itu sendiri dan mempraktikan sekehendak-hatinya. Dalam level ini, hukum bisa dibeli dan diatur menurut selera.

Karena itu, sebuah kriminalisasi justru merupakan tindakan kriminal yang mencederai kebenaran dan perjuangan penegakan hukum karena dilakukan untuk memidanakan seseorang yang tidak melanggar pidana.

Tapi apa boleh buat, karena kekuasaan juga memiliki watak berupa  kepentingan. Apalagi jika kekuasaan itu dijalankan dalam ranah politik, siapa pun tidak boleh melawan penguasa. Siapa yang berkuasa atau yang memegang hukum, demikianlah hukum dijalankan dan diatur menurut gaya dan kepentingan penguasa.

Sebab itu, ciri khas sebuah kriminalisasi adalah rekayasa. Di mana pun kriminalisasi dijalankan, sebuah skenario mendahului pelaksanaannya. Dalam skenario itu tentu saja terdapat rekayasa; kesalahan yang dicari-cari atau aturan hukum yang dipaksakan penggunaannya.

Standar ganda penerapan hukum juga termasuk dalam tindakan ini. Bukan hanya itu, perluasan substansi masalah bisa saja dilakukan untuk menemukan satu celah yang dapat menjadi alasan pelanggaran, sehingga seseorang tetap saja dipidanakan.

Jika upaya tersebut masih gagal, hukum dapat dibelokkan atau direkayasa untuk tetap menghukumnya diantaranya dengan;merekayasa kasus serta merekayasa alat bukti, saksi, atau menekannya atau menggunakan pasal yang diterjemahkan secara paksa. Artinya, kriminalisasi sesungguhnya bukan proses, tapi target. Seseorang yang berada dalam target semacam ini tidak punya pilihan lain.

Rekayasa yang paling terkenal dalam sejarah kriminalisasi pernah terjadi di Roma. Waktu itu, Kaisar Nero yang menjadi penguasa Romawi memutuskan membakar Kota Roma. Kaisar ”gila” itu nekat melakukan itu dan menonton kebakaran hebat di seluruh penjuru Roma dari atas istananya sambil bermain musik.

Segera setelah Kota Roma rata dengan tanah, Nero memerintahkan penangkapan orang Kristen di seluruh negeri, membunuh mereka dengan sadis, dan menuduh mereka sebagai pelaku kriminal yang mengakibatkan kebakaran tersebut.

Dari catatan sejarah tersebut, adalah penandasan bahwa kriminalisasi tidaklah mengenal nurani ataupun moralitas, juga etika. Pelaku tindakan itu bahkan tidak takut terhadap hukum agama yang mengikat setiap tindakannya kelak di akhirat. Karena itu, jika dipraktikkan dalam sebuah negara yang asas role of law-nya masih lemah, kriminalisasi bisa menjadi tren penguasa untuk melegitimasikan kekuasaannya, menakuti lawan politiknya, bahkan membungkam perbedaan pendapat. Juga, bisa menjadi tren para aparat penegak hukum untuk memeras orang lain memenuhi kepentingannya yang korup.

Kalau sampai kriminalisasi seperti itu benar-benar dialami Anies Rasyid Baswedan, maka kita perlu mawas diri dan siaga penuh. Karena tindakan tersebut sejatinya sebuah gerakan yang akan menghancurkan bangsa ini secara tragis. (*).

Bagikan:

Tinggalkan Balasan