MEDIA LINGKAR INDONESIA – Pada kesempatan wawancara khusus Harian Kompas 22/6/21 dalam rangka HUT DKI Jakarta ke 494. Gubernur Anies Baswedan mencanangkan tema Jakarta Bangkit guna menghadapi situasi Pandemi Covid 19 dengan jalan kolaborasi, melalui setidaknya 5 hal yg ditekankan sebagai poin pentingnya yaitu; Jakarta berisikan orang-orang tangguh, upaya vaksinasi massal, Jakarta berlimpah sumber daya, izin usaha sebagai upaya pemulihan ekonomi mikro dan tentang zonasi pendidikan.

Mengapa dikatakan bahwa yang didengungkan tidak lebih sebagai kolaborasi semu? karena kolaborasi dengan kecakapan kepemimpinan dalam sebuah organisasi yang besar seperti Pemerintah Daerah DKI Jakarta adalah sebuah keniscayaan atau kemutlakan.

Pertanyaannya bagaimana kolaborasi itu akan didapatkan jika kecakapan kepemimpianan kinerjanya rapuh nan keropos. Sebab bagaimanapun juga mengkolaborasikan setidaknya 5 poin yang dilontarkan oleh Gubernur Anies Baswedan tersebut memerlukan syarat kepemimpinan kinerja. Kepemimpinan yang mampu mengintegrasikan semua pontensi untuk saling mengisi dan bersinergi dalam aksi nyatanya. Khususnya menghadapi pandemi covid 19.

Dalam laman facebook saya Dwi Rio Sambodo II pada 31 Desember 2019 tentang catatan akhir tahun 2019 Gubernur Anies Baswedan, sudah dipaparkan tentang lubang-lubang strategik kelemahan kepemimpinan kinerja Gubernur Anies Baswedan. Melihatnya dapat memulai dengan keterpimpinan aparaturnya di lingkungan internal, karena faktor eksternal adalah sebagai dampak hasilnya.

Ambil contoh saja tentang fenomena mundurnya pejabat Pemda, keengganan ASN (Aparatur Sipil Negara) yang mengikuti lelang jabatan di lingkungan Pemda DKI Jakarta akibat kentalnya kolusi politik di lingkungan Gubernur, kemudian daya motivasi kinerja aparaturnya, pun hasil kinerja tentunya, berlanjut dengan seluruh pranata perangkat sosial kerja jejaring yang dimiliki Pemda DKI Jakarta selama ini seperti, RT, RW, LMK, Dewan Kota, Dasa Wisma, Satgas Covid 19, dll, serta masih banyak lainnya.

Pertanyaannya apakah mereka selama ini sudah dikolaborasikan secara efektif? Kenyataannya banyak kelembagaan Satgas Covid 19 di level masyarakat merasa tak punya arah dalam bertugas alih-alih perhatian, bagaikan auto pilot

Sehingga menjadi lelucon jika dikatakan bahwa orang tangguh yang berlimpah di Jakarta menjadi subyek kolaborasi, lahh selama ini juga gak diapa-apakan. Artinya ini sekedar penyajian data ala akademisi bernada retorik tanpa pernah tertuang dalam tindakan pemberdayagunaan untuk kemanfaatan umum.

Vaksinasi massal yang digemborkan pada kenyataannya di level masyarakat bawah banyak mengalami kendala. Pranata sosial yg dimiliki Pemda DKI Jakarta di lini depan masyarakat malah banyak yg menyerah didera demotivasi. Belum lagi target di tingkat kecamatan yang masih jauh dari harapan.

Jikapun ada greget pencapaian vaksinasi juga tidak terlepas dari peranan aparatur vertikal seperti TNI/Polri. Banyak hambatan yg dihadapi termasuk penyebaran hoax, pertanyaannya kelompok sosial politik mana yang gemar menyebarkan hoax anti vaksinasi. Kemudian pertanyaannya dimana posisi politik Gubernur Anies Baswedan dalam pusaran hoax ini? Bahkan keteladanan Gubernur Anies Baswedan dalam pelaksanaan vaksin pun layak dipertanyakan.

Jangankan sumber daya berlimpah, yang minimalis sekalipun jika dikelola secara strategik akan menghasilkan daya ledak produktif luar biasa, apalagi ini dengan sumber daya yang melimpah, pasti akan lebih dahsyat lagi hasilnya. Permasalahannya, itu tidak terjadi, upaya kolaborasi dan integrasi antar pihak pemda dan non pemda (swasta) yang dirintis sejak era mendiang Gubernur Ali Sadikin yang telah diteruskan generasi berikutnya seharusnya makin digeliatkan bukan sebaliknya. Tanggung renteng membangun kota sebagaimana ketentuan regulasi dalam bentuk CSR adalah sesuatu yang ada di depan mata, hanya perlu sentuhan eksekusi beserta manajemennya. RPTRA, RTH, GOR, dll adalah contoh hasil tanggung renteng CSR.

Uang rakyat puluhan trilyun sekalipun selama ini belum bisa digunakan untuk membuat rumah susun sesuai janjinya, misalnya, 200rb an unit yang harusnya di capai dalam 5 tahun. Justru hingga 3,5 tahun lebih (katakan di potong masa pandemi 1thn) hanya menghasilkan 780an rmh hunian utk mengejar syahwat citra Rumah DP 0 Rupiah. Bukannya dikejar malah alih-alih merubah RPJMD DKI Jakarta 2017-2022 supaya target diturunkan dan kegagalan dapat ditutupi. Bukankah ini dapat disebut sebagai lempar tanggung jawab?

Izin usaha sebagai upaya yang digaungkan tak ubahnya seperti dunia khayalan. Masih terngiang tentang janji kampanye oke oce yang mangkrak ‘permanen’. Kegiatan memperjuangkan izin usaha bahkan pelatihan, kemudian tak ubahnya seperti paguyuban eks tim sukses. Semarak di rencana namun sunyi dalam pelaksanaan. Tetap saja pekerja informal belum signifikan di advokasi kebijakan pemda dan terkesan bertahan mandiri masing-masing. Penjualan daring yang menjadi pilihan saat pandemi pun tidak di back up kuat oleh Pemda, seperti jaringan internet. Akses ekonomi lainnya pun saat pandemi dalam bentuk bansos harus dikacaulan dengan manajemen data yang amburadul.

Zonasi pendidikan sebagai langkah afirmasi sesungguhnya mulia, namun jika tidak diiringi persyaratan memadai akhirnya hanya menjadi macan kertas. Kekacauan PPDB (Pendaftaran Peserta Didik Baru) sejak 2020 sampai error online system tahun ini adalah fakta tak terbantahkan. Justru makin meneguhkan carut marutnya proses PPDB. Afirmasi dan zonasi justru menjadi petaka hak informasi masyarakat.

Artinya kebijakan tersebut benar-benar tidak dipersiapkan secara tekhnis dan non tekhnis yang memadai. Akhirnya masyarakat luas merasa mendapatkan ketidakadilan informasi. Kebijakan tersebut yang dianggap sesuatu wah akhirnya mengalami disfungsi orientasinya. Padahal Gubernur Anies Baswedan adalah mantan Mendikbud yg harusnya jauh lebih faham banyak hal tentang ini.

Catatan kritis inilah yang mungkin dapat menjadi jawaban terhadap pencanangan Jakarta bangkit menghadapi pandemi dengan jalan kolaborasi (semu). Pada akhirnya kita semua berharap DKI Jakarta sebagai ibukota negara yang menjadi halaman depan Indonesia dapat mendiami fungsinya sesuai harapan. Apalagi kota Jakarta adalah kota perjuangan yang selalu mengilhami perjalanan pergerakan bangsa sejak tempo lalu, hari ini dan bahkan masa yang akan datang.

Jangan sampai Jakarta tidak maju kotanya dan tidak bahagia warganya. Pasti akan menjadi preseden tidak baik dalam pergulatan catatan sejarahnya. Padahal sudah banyak rencana terukur pembangunan kota Jakarta yang seyogyanya hanya butuh eksekusi kerja yang berani dan pantang menyerah.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan