Lingkar Indonesia.-Merujuk pada sebuah artikel dengan narasumber DR. Tauhid seorang pakar kesehatan dan manajemen, didapati suatu kenyataan bahwa tingkat kesulitan yang kompleks dalam sebuah proses pengambilan keputusan dapat ditelusuri sebagai sebuah mekanisme neuropsikologi yang terkait erat dengan kinerja otak dan pikiran manusia. Seorang pemimpin dituntut untuk mampu menganalisa suatu kondisi secara multi persepsi dan multi dimensi serta multi disiplin keilmuan masih dibebani dengan alokasi ruang dan waktu yang terkadang amat sempit sehingga memerlukan sebuah proses pengambilan keputusan yang relatif sangat cepat dengan segala resikonya.

Komisioner Kompolnas RI Dede Farhan Aulawi, Selasa (28/1) di Jakarta mengatakan bahwa kondisi – kondisi kritis seperti itu juga sering dihadapi oleh anggota kepolisian dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya. Sejak kaki keluar dari rumah menuju tempat kerja, banyak hal – hal yang tidak terprediksi bisa terjadi setiap saat di luar sana. Bisa sebuah kondisi yang mengancam dirinya sendiri, atau bisa juga suatu kondisi yang membahayakan orang lain atau kondisi yang mengganggu ketertiban umum. Dalam kondisi yang tidak terduga seperti itu, anggota kepolisian harus mampu bertindak cepat dan tepat menurut penilaiannya sendiri pada saat itu, sehingga ia diberikan sebuah kewenangan yang disebut dengan Diskresi Kepolisian. Bayangkan jika dalam kondisi kritis dia harus berkoordinasi dulu kesana kemari, maka kondisi kritis itu bisa melebar dan mungkin terjadi hal – hal yang tidak diharapkan. Kata Dede.

Selanjutnya Dede juga menyampaikan bahwa masih banyak beberapa ilustrasi lainnya yang menggambarkan suatu kondisi kritis yang menuntut kinerja sistem pengambilan keputusan cepat dan harus tepat. Misalnya suatu kondisi di unit gawat darurat Rumah Sakit ataupun pada beberapa profesi seperti pilot yang setiap detik dalam proses pengambilan keputusannya berimplikasi pada keselamatan jiwa manusia. Sistem kegawatdaruratan di UGD atau ER telah berkembang sedemikian pesatnya untuk mengakomodir potensi manusia, dalam hal ini tenaga medis, agar dapat “fit” dalam mengelola situasi stressfull yang terjadi hampir setiap hari. Di sistem kegawatdaruratan telah dikembangkan konsep Triase yang membantu seorang dokter atau tenaga medis lainnya untuk memilah masalah dan membuat quick assessment serta mengklasifikasikan kasus agar dapat disusun skala prioritas yang objektif berdasarkan parameter yang objektif pula.

Demikian pula di flight deck, berbagai skenario kondisi emergency terus disimulasikan dan dilatihkan pada pilot secara berkala ( 6 bulan sekali) serta dikaitkan dengan status lisensi yang mewajibkan profisiensi tertentu. Pelatihan repetitif ini diharapkan dapat menumbuhkan ketrampilan berbasis memori prosedural pada berbagai skenario masalah sebagaimana yg telah disimulasikan. Persoalan pengambilan keputusan dan kaitannya dengan konsep self control, khususnya dalam ranah kepemimpinan yang bersifat holistik tentulah lebih kompleks dan memiliki variabilitas yang dinamis serta volatil.

Mengacu pada konsep Daniel Kahneman soal fast and slow thinking serta berbagai keuntungan dan kerugian sebagai konsekuensi yang melekat padanya, maka tepat kiranya jika sedikit mengupas peran dari beberapa bagian otak yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan atau yang bahasa kerennya kerap disebut sebagai decision making. Fungsi self control sendiri, sebagaimana hampir semua fungsi neurofisiologis di otak manusia, tidak pernah dijalankan secara singular oleh single structure ,melainkan pasti melibatkan jaras proyektif dari beberapa struktur yang sebenarnya dapat di-tracing dengan fMRI ataupun peta connectome dan metoda optogenetik.

Ada harmoni yang indah sebagai bagian dari proses orkestrasi dari struktur sub kortikal dan kortikal yang bersama – sama menghasilkan suatu fungsi neurofisiologis dalam ranah eksekutif. Tentu gambaran kinerja fungsi eksekutif di otak tidak sesederhana yang dibayangkan, mengingat adanya tarik menarik serta berbagai posisi tawar dari setiap jalur neurofaali terkait. Streaming data dari batang otak (medula oblongata dan Pons serta serabut retikularis) mewakili representasi kepentingan dalam negeri (endogenous factor) yang berkelindan dengan berbagai data sensoris lainnya di thalamus (kecuali olfaksi), untuk selanjutnya didistribusikan ke berbagai sirkuit, antara lain thalamocorticalis dan juga memberi asupan pada berbagai unit fungsional di hipotalamus yang berperan sebagai jembatan neuroendokrin. Jelas Dede.

Begitupun dengan faktor hormonal dan juga peran aspek environmental dalam setiap pembentukan fungsi otak. Ada nukleus suprakiasmatikus yang terlibat dalam pengaturan siklus sirkadian yang merupakan penjaga ritme biologis manusia dan bagian dari adaptasi dengan lingkungan. Ada pula fungsi lain dari kelenjar yang kerap disebut sebagai “the mother of glands”, antara lain sekresi dari Anti Diuretic Hormon dan Oksitosin, juga GnRH, dimana semua hormon ini terkait dengan konsep homesotasis dan fungsi fisiologi yang antara lain terlibat dalam mekanisme kognitif dan afektif.

Sebagai gambaran, asesmen awal berupa data dari organ sensoris yang telah diolah di area asosiatif seperti visual primer 1-5 (Broadman 17-19) ditrajektori bersama data lain dari kompartemen batang otak setelah mendapatkan “sentuhan/asupan/influence” dari struktur sub kortikal VTA/ventral tegmental area dan nukleus akumben/NAcc akan diteruskan ke vmPFC untuk meregulasi sensasi emosi dan diproyeksikan balik ke struktur inferior gyrus frontalis/IFG yang bersama struktur dorsolateral PFC akan menjalankan peran selektif berupa validasi, verifikasi, dan valuasi yang sebagian telah diolah di orbitofrontal cortex. Dengan demikian terjadi suatu kompleks sistem yang secara proporsional menimbang serta menganalisis sebuah informasi yang masuk untuk selanjutnya akan dihasilkan respon yang ideal.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan