LINGKAR INDONESIA (Jakarta) – Mendukung Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) Summit Kepulauan Riau 2023, Ditjen Penataan Agraria Kementerian ATR BPN melaksanakan Kamis Webinar di Jakarta. Webinar diorganisir oleh PPSDM Kementerian ATR BPN.
Webinar yang diikuti 989 peserta itu mengangkat tema: Kolaborasi Tuntaskan Permasalahan Tanah Transmigrasi. Menghadirkan 4 narasumber dan 4 penanggap. Para narasumber yaitu, Direktur Land Reform Ditjen Penataan Agraria Kementerian ATR BPN; Dirjen Transmigrasi Kementerian Desa, PDT, dan Transmigrasi; Ketua Umum (Ketum) DPP PATRI (Perhimpunan Anak Transmigran Republik Indonesia) Hasprabu; dan Guru Besar Fakultas Hukum UGM Yogyakarta, Nurhasan Ismail.
Adapun para penanggap adalah Dirjen Penetapan Hak dan Pendaftaran Tanah Kementerian ATR BPN, Kepala Biro Perencanaan ATR BPN, Deputi Pengembangan Regional Bappenas, dan Dirjen Bina Bangda Kemendagri.
Permasalahan tanah Transmigrasi diangkat jadi salah satu isu dalam GTRA Summit 2023. Berdasarkan data Kementerian ATR BPN, capaian SHM transmigrasi 21,16% (126.945 Ha) dari target 0,6 juta Ha.
Berdasarkan data Ditjen Transmigrasi, ada 653 lokasi tanah trans. Sebanyak 429 dinyatakan clear and clean. Sebanyak 224 bermasalah. Penyebabnya antara lain: lokasi masuk kawasan hutan, okupasi/sengketa dengan masyarakat, tumpang tindih dengan HGU (hak guna usaha), tanah tidak tersedia, masalah batas administrasi, dan lainnya.
Ketum DPP PATRI Hasprabu dalam paparannya menyatakan, transmigrasi bukan sekedar proyek pemindahan penduduk. Transmigrasi adalah Gerakan Nasional Perekat Bangsa. Karena itu keberhasilan Transmigrasi harus didukung semua pihak.
“Transmigran umumnya petani. Petani sangat membutuhkan lahan untuk menghidupi keluarganya. Karena itu, jika tanah garapannya bermasalah, penghidupannya terganggu”, ujarnya.
Ditambahkan oleh anak Transmigran dari Trans POLRI Jayaguna II, Gunung Sugih, Lampung itu, Transmigran bukan warga negara liar. Transmigran adalah warga resmi.
“Mereka itu didatangkan ke lokasi berdasar Undang Undang (UU Nomor 29/2009, red). Datangnya juga atas persetujuan pihak Pemda pengirim dan penerima, melalui KSAD (Kerjasama Antar Daerah, red). Sehingga tidak seharusnya tanah yang ditempati Transmigran bermasalah,” paparnya
“Yang mengherankan, kalau jutaan warga trans memerlukan tanah, sepertinya sulit. Tetapi ketika ada segelintir orang butuh ribuan hektar untuk HGU, kok gampang,” tambahnya.
Senada dengan paparan PATRI, Prof. Nurhasan Ismail mempertanyakan komitmen pemerintah. Dikatakannya, penyelesaian kasus tanah transmigran sebenarnya mudah saja. Ada celah hukum yang bisa dilakukan.
“Sekarang komitmen pemerintah terhadap Transmigrasi bagaimana? Masih berlanjut tidak? Masih didukung atau tidak? Jadi harus ada keberpihakan. Keberhasilan solusi tanah Transmigrasi berdampak pada keberhasilan reforma agraria,” ujar Guru besar UGM tersebut.
Pada sesi diskusi, Noer Fauzi Rahman, Tenaga Ahli Menteri ATR BPN merespon kasus yang disampaikan DPP PATRI. Dikatakannya, ada beberapa kasus dari lapangan yang langsung bisa segera diproses. Dia mengambil contoh kasus eks HTI Trans (Hutan Tanaman Industri, red) Bagan Toreh, Sei Meranti, Labuan Batu Selatan.
“Adakah Kantah dari Labusel (Labuan Batu Selatan, Sumut, red) yang ikut Webinar ini? Tadi dari Hasprabu dipaparkan kasus eks HTI. Sejak 1997 diurus belum selesai. Coba dicek di peta kita,” ungkapnya sambil menunjukkan peta.
Kemudian dijelaskan langkah teknis yang bisa dilakukan. Termasuk kasus tanah transmigran di daerah lainnya.
Mengakhiri acara Webinar, ditanyakan rekomendasi dan solusi kasus tanah transmigran, Hasprabu menambahkan. Dijelaskannya, kasus trans bermula dari hulunya, yaitu penyediaan tanah. Jadi sejak hulunya harus diperbaiki. Dengan semangat Pentahelix seperti diamanahkan Perpres Nomor 50/2018, kasus tanah bisa diatasi. Pentingnya melibatkan peran perwakilan transmigran, seperti jejaring PATRI.
“Secara logika hukum, jika warga trans duluan datang di lokasi transmigrasi, maka itulah yang jadi indikator. Masya, setelah sekian lama ditempati, tiba-tiba dikatakan lahannya tumpang tindih, dan alasan lainnya. Jadi secara hukum, warga yang harus dimenangkan,” pungkasnya.(SPB/JAK).