Oleh : Imam Trikarsohadi
Masyarakat luas dibuat geram dengan putusan hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat yang meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk menunda tahapan Pemilu 2024.
Putusan ini merupakan konsekuensi PN Jakarta Pusat yang mengabulkan seluruh gugatan perdata Partai Rakyat Adil dan Makmur (PRIMA) terhadap KPU.
“Mengadili, menghukum tergugat [KPU] untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 sejak putusan ini dibacakan dan melaksanakan tahapan Pemilihan Umum dari awal selama lebih kurang dua tahun empat bulan tujuh hari,” demikian amar putusan tersebut.
Putusan itu berawal ketika Partai PRIMA merasa dirugikan oleh KPU dalam melakukan verifikasi administrasi partai politik yang ditetapkan dalam Rekapitulasi Hasil Verifikasi Administrasi Partai Politik Calon Peserta Pemilu. Pasalnya, akibat verifikasi KPU tersebut, Partai PRIMA dinyatakan Tidak Memenuhi Syarat (TMS) dan tidak bisa mengikuti verifikasi faktual.
Dalam gugatannya, Partai PRIMA mencermati jenis dokumen yang sebelumnya dinyatakan TMS, ternyata juga dinyatakan Memenuhi Syarat (MS) oleh KPU dan hanya ditemukan sebagian kecil permasalahan.
Partai PRIMA menyebut KPU tidak teliti dalam melakukan verifikasi yang menyebabkan keanggotaannya dinyatakan TMS di 22 provinsi.
Terkait hal itu, Pihak KPU lantas mengajukan banding atas putusan PN Jakarta Pusat ini.
Tentu saja, keputusan PN Jakarta Pusat ini mendapat reaksi keras berbagai kalangan. Mereka rata-rata mencurigai masih ada kelompok yang menghendaki Pemilu 2024 ditunda atau memperpanjang jabatan presiden. Kelompok tersebut masih terus melaukan berbagai upaya guna memenuhi syahwat kekuasaan.
Mereka terus berusaha merevitalisasi wacana penundaan pemilu dengan tujuan menciptakan konstruksi narasi bahwa aspirasi penundaan pemilu itu merata. Ini bisa dikatakan sebagai petualang politik yang bisa merusak tata kelolah negara.
Akan hanya para hakim di PN Jakarta Pusat, mereka semestinya mempertimbangkan banyak hal saat membuat keputusan. Sebab, keputusan yang ditetapkan hakim tidak lahir dari ruang hampa. Hakim mestinya melihat aspirasi yang hidup di masyarakat secara sosiologis. Kemudian ada aspek yuridis di mana kepatuhan terhadap UUD 1945 dan undang-undang sangatlah penting, serta pertimbangan-pertimbangan lain, seperti nilai-nilai demokrasi. Semua itu, harus menjadi bagian dari yang mesti digali oleh hakim dalam membuat putusan.
Reduksi politik
Apa yang ditetapkan PN Jakarta Pusat, jika ditinjau dari sisi politik, maka dapat dikatakan bahwa hal terebut sebagai fakta dimana dalam perkembangan kini, politik mengalami reduksi makna. Politik dipersepsi sebagai sarana mengejar kekuasaan semata. Tidak heran apabila dalam benak sebagian masyarakat, politik itu penuh intrik, penuh siasat jahat dan sarat pertarungan kekuasaan.
Pandangan tersebut tentu didasari kepada realitas politik di negeri ini yang demi syahwat politik dilakukan pelagai cara licik, penuh berprasangka, saling melukai, dan saling meniadakan. Ini adalah politik ala Machiavellian yang membenarkan segala cara demi sebuah kekuasaan dan kultus dari masyarakat.
Sekalipun dilakukan dengan sangat cerdik dan cantik, tapi tetap saja hal itu merupakan bentuk manipulasi aspirasi seluruh Rakyat Indonesia. Inilah celakanya kalau politik dipersepsi sebagai sarana mengejar kekuasaan semata.
Reformasi yang diharapkan mampu melahirkan demokrasi yang sehat justru menjadi antiklimaks. Politisi berlomba-lomba merebut kekuasaan dengan segala macam cara. Akhirnya, politik di Indonesia terjebak dalam ruang vitual. Dalam ruang virtual, prinsip-prinsip etis tidak lagi memegang peranan penting. Akibatnya, wajah politik di negeri kita dipenuhi para demagogeu, andai mereka baik pun, itu semua tidak lebih dari kamuflase politik.
Salah satu contoh problem yang cukup menggerus energi adalah konflik identitas yang justru di era reformasi ini mendapat angin segar. Perbedaan tidak lagi dirayakan sebagai kekayaan, tetapi dianggap sebagai ancaman. Padahal, perbedaan adalah sebuah keniscayaan, tanpa perbedaan, maka dunia adalah kehampaan. Hakikat perbedaan adalah mendesak kita untuk menemukan makna kedamaian yang sesungguhnya. Warna-warni yang dimiliki bangsa kita sudah ada sejak zaman dahulu. Meniadakan perbedaan sama saja dengan menganggap Indonesia itu ”tidak ada”.
Problem lainya adalah soal keadilan. Kata keadilan mudah diucapkan, sulit diwujudkan. Keadilan hanya berpihak kepada mereka yang kuat. Faktanya, keadilan telah dibajak. Sebab itu, bagi yag awah soal hukum, keadilan hanyalah sebuah retorika belaka, dan ide yang sangat utopis. Kita sering melihat bagaimana lembaga peradilan hanya menawarkan selebrasi dan drama. Seolah-olah di sana keadilan terwujud, tetapi pada akhirnya kebenaran babak belur oleh preman peradilan atau hakim yang berpura-pura pikun.(*)