LINGKAR INDONESIA (Bandung) – Ruang lingkup dunia intelijen sesungguhnya sangat menarik, disamping wilayah cakupannya yang luas juga sifatnya menantang. Ada dinamika perkembangan yang seringkali dipengaruhi oleh kondisi lapangan, sehingga diperlukan kemampuan improvisasi sesuai keperluan.
Dalam praktek empirik fenomena ini sering dilakukan di panggung hiburan, yang dikenal dengan istilah ilmu peran (akting). Totalitas kinerja intelijen secara umum akan dipengaruhi oleh kualitas SDM-nya (Humint) dan Teknologi-nya, seperti penggunaan Kecerdasan Buatan (AI), Big Data, robotika, Internet of Things, dan blockchain. Inilah yang akan menjadi tantangan masa depan dunia intelijen (the Future Challenges of Intelligence Organizations).
“Di samping itu semua, ada satu hal yang tidak boleh dilupakan khususnya bagi para agen intelijen, yaitu kemampuan dalam membaca dan menganalisa bahasa tubuh atau nonverbal communication “, ujar Pemerhati Intelijen Dede Farhan Aulawi di Bandung, Minggu (11/6/2023).
Hal tersebut ia sampaikan diskusi “Tantangan Masa Depan Dunia Intelijen’ dari perspektif pemenuhan kompetensi SDM Intelijen dan juga pemanfaatan teknologi modern di dunia intelijen yang diselenggarakan oleh International Smart Intelligence Network (ISIN). Dalam konteks teknologi misalnya, Dede menjelaskan INTEGRATED INTELEGENCE SYSTEM yang mana merupakan sistem intelejen / kecerdasan terpadu yang biasanya ada di dalam command central badan intelejen yang menjadi alat untuk menejemen segala kegiatan intelijen, DATA MINING AND KNOWLEDGE MANAGEMENT merupakan pusat data dan ilmu pengetahuan sebagai bank data dan informasi intelijen, BACK END MONITORING CENTER sebagai Pusat pengendalian dan monitoring kegiatan intelejen, RECORD DATA PANGGILAN (RDP) sebagai alat perekam panggilan, dan SPYDER SYSTEM (INTERNET INTERCEPT) yang merupakan sistem jaringan kecepatan tinggi untuk melakukan decoding dan penyadapan.
Namun Dede pada kesempatan tersebut tidak menjelaskan secara detail teknis dari berbagai pemanfaatan teknologi tersebut dalam praktek intelijen, mengingat waktu yang sangat terbatas. Oleh karenanya ia memanfaatkan waktu yang ada untuk menjelaskan tentang Kemampuan Membaca dan Menganalisa Bahasa Tubuh (Ekspresi wajah dan Gestur), atau dalam istilah lain sering disebut Keterampilan Nonverbal Communication. Menurutnya, salah satu kemampuan dasar agen intelijen adalah ‘KEMAMPUAN UNTUK MENGAMATI’ dan ‘KEMAMPUAN UNTUK MEYAKINKAN’, baik saat melakukan penyelidikan, pengamanan maupun penggalangan. Secara spesifik misalnya saat melakukan elisitasi, observasi (pengamatan), penjejakan (surveillance), pembuntutan (tailing), penyusupan (penetration : white, grey, black), dan penyurupan (surreption entry).
Selanjutnya Dede juga menambahkan bahwa Kemampuan Membaca Bahasa Tubuh (Body Language) atau Non Verbal Communication menjadi sangat penting, seperti Facial expressions, Gestures, Paralinguistics (such as loudness or tone of voice), Proxemics or personal space, Eye gaze, haptics (touch), Appearance, dan Artifacts (objects and images). Misalnya, dalam mendalami analisa tentang Facial Expression, paling tidak diasumsikan sudah dianggap memahami kerangka dasar dari Fisiognomi atau Face Reading. Fisiognomi adalah ilmu dasar dalam membaca wajah untuk mengetahui kepribadian seseorang. Di negara China keterampilan dalam membaca wajah ini dikenal dengan istilah Xian Mian. Kemampuan ini terus berkembang dan banyak dipelajari serta diterapkan dalam berbagai bidang, salah satunya di dunia intelijen.
Kemudian Dede juga menguraikan terkait dengan Body Gesture yang dalam prakteknya menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari kemampuan membaca bahasa tubuh seseorang atau sekelompok orang. Gesture adalah bahasa non-verbal yang disampaikan melalui gerakan tubuh, atau sering juga disebut dengan istilah komunikasi kinesik. Gesture adalah salah satu bentuk komunikasi nonverbal yang tidak bisa dipisahkan dalam kegiatan intelijen ataupun kontra intelijen. Implementasinya disesuaikan dengan tujuan dan kondisi di lapangan. Implementasinya diterapkan dengan cara mengamati ekspresi wajahnya, gerakan matanya, gerakan bibirnya, gerak-geriknya umum lainnya, posisi tangan dan kakinya, serta postur tubuhnya. Termasuk menjelaskan tentang kemampuan Paralinguistik.
“ Kemampuan paralinguistik yang awalnya dikembangkan oleh George L. Trager. Paralinguistik merupakan ilmu yang mempelajari mengenai vokalisasi, nada dan intonasi, seperti membesarkan atau mengecilkan suara. Paralinguistik tidak hanya mengetahui suara seseorang ketika berbicara, namun juga dapat mengetahui keadaan emosi seseoranag melalui nada vokalnya. Ada beberapa isyarat vokal yang dapat di simak oleh pendengarnya, antara lain tingkat suara atau intonasi suara dan kecepatan berbicara. Dengan adanya paralinguistik, dapat menambah informasi tentang keadaan emosi, pikiran dan sikap seseorang. selain itu, paralinguistik juga dapat menunjukkan makna yang disampaikan oleh pembicara “, ungkap Dede.
Lebih lanjut, Dede menguraikan tentang kemampuan membaca kontak mata (eye contact) yang merupakan salah satu bentuk komunikasi nonverbal yang disebut okulesik dan memiliki pengaruh yang besar dalam perilaku sosial. Melalui kontak mata, seseorang dapat mengetahui apakah lawan bicara memperhatikannya, dan apakah lawan bicara setuju dengan pembicaraannya, sehingga bisa diketahui apakah pembicaraan saat itu perlu dilanjutkan atau tidak. Ukuran pupil seseorang dapat menunjukkan banyak hal tentang keadaan seseorang saat itu, baik perasaan, emosi, pendirian, dan suasana hati sering merangsang sistem saraf simpatetik dan menyebabkan membesarnya ukuran pupil. Dalam situasi tertentu, respon ukuran pupil terhadap ancaman atau ketakutan, sering disebut fight or flight response (respon melawan atau lari). Dalam beberapa budaya, misalnya Asia Timur, melakukan kontak mata terhadap orang kadangkala dianggap tidak sopan dan agresif, sedangkan di Amerika Serikat dan Eropa, justru menghindari kontak mata yang dianggap tidak sopan dan menunjukkan bahwa orang yang menghindari kontak mata tersebut tidak dapat dipercaya. Hal ini sering menimbulkan kesalahpahaman antara orang-orang dari kedua budaya tersebut.
“ Seluruh agen intelijen harus bisa membaca dan menganalisa secara cermat tentang bahasa tubuh ini. Tidak semata – mata dengan tujuan dituangkan menjadi produk intelijen saja, melainkan juga dalam praktek di lapangan bisa melakukan pengamatan terhadap potensi ancaman yang muncul. Apakah kita harus tetap ‘MELANGKAH’, ‘BERHENTI SEJENAK’, atau ‘MUNDUR BEBERAPA LANGKAH’ sangat tergantung situasi lapangan yang dipengaruhi oleh kemampuannya dalam membaca lingkungan secara keseluruhan, termasuk variabel – variabel perilaku dari pengamatan bahasa tubuh “, pungkas Dede. (MLI)