Oleh : Imam Trikarsohadi)*
Salah satu esensi dari puasa buan Ramadhan adalah menumbuhkan sifat dan prilaku yang baik, diantaranya budaya malu untuk berkata bohong, dusta, mencuri, membicarakan aib orang lain, menyakiti sesamanya, menanamkan rasa permusuhan, serta berperilaku sombong.
Dalam hal ini Rasullah Saw. Bersabda : “ Barang siapa tidak berusaha untuk meninggalkan perkataan bohong dan perkataan dusta, maka tidak ada kepentingan bagi Allah olehnya meninggalkan makan dan minum.”
Rasullah Saw juga melarang kepada orang yang sedang berpuasa, untuk tidak melayani ejekan orang lain, dan menganjurkan tidak membalasnya. Sebagaimana dalam Sabdanya : “Jika ada seseorang yang mencaci maki orang yang sedang berpuasa atau menyulut timbulnya permusuhan, maka hendaknya ia ucapkan : Inni Shoim ( saya sedang berpuasa ).
Apa boleh buat, dalam interaksi kehidupan sehari-hari, sering kali terjadi baik di dunia nyata maupun maya ditemukan kalimat celotehan “jangan merasa paling benar”, “jangan merasa benar sendiri”, “jangan merasa paling baik”, dan “jangan merasa paling suci”. Kalimat-kalimat seperti itu biasanya muncul saat orang dihadapkan pada kondisi perdebatan, perbedaan pandangan politik, keterusikan akan keyakinan, dan rasa tidak senang saat mendapatkan teguran atau nasihat.
Pada kondisi seperti itu, tidak jarang perilaku merasa paling benar membawa dampak buruk bagi diri yang bersangkutan dan lingkungan sekitarnya. Setidaknya, orang yang merasa paling benar tergolong ujub dan takabur yang menjadikannya kurang dipercaya dan dihargai oleh orang lain. Sikap dan perilaku itulah yang pada akhirnya dapat memicu terjadinya konflik di antara sesama umat manusia.
Terkait dengan bahaya dan buruk nya perilaku merasa paling benar, Rasulullah SAW memberikan peringatan kepada umatnya melalui suatu kisah yang terkandung dalam salah satu hadis sahih yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan Imam Ahmad.
Alkisah, ada dua orang bersaudara dari kalangan Bani Israil dengan sifat yang sangat kontras. Satu di antara mereka sering berbuat dosa, sementara yang satu lagi sangat rajin beribadah. Suatu ketika, rupanyanya si ahli ibadah selalu menyaksikan saudaranya itu selalu melakukan dosa, hingga lisannya tak betah untuk tidak menegurnya.
Teguran pertama pun terlontar: “Berhentilah!” Teguran seolah tak memberikan efek apa pun dan hanya masuk melalui telinga kanan keluar lagi lewat telinga kiri, perbuatan dosa tetap berlanjut dan sekali lagi tak luput dari pantauan saudaranya yang rajin beribadah.
“Berhentilah!” ujarnya untuk kedua kali. Si pendosa lantas berucap: “Tinggalkan aku bersama Tuhanku. Apakah kau diutus untuk mengawasiku?” Mungkin karena sangat kesal, lisan saudara yang ahli ibadah itu tiba-tiba mengeluarkan ucapan kecaman yang berbunyi: “Demi Allah, Allah tidak akan mengampunimu. Allah tidak akan memasukkanmu ke surga.”
Pada bagian akhir, hadis tersebut memaparkan, tatkala keduanya meninggal dunia, keduanya pun dikumpulkan di hadapan Allah SWT. Kepada yang rajin beribadah, Allah mengatakan: “Apakah kau telah mengetahui tentang-Ku? Apakah kau sudah memiliki kemampuan atas apa yang ada dalam genggaman-Ku?” Drama keduanya pun berlanjut dengan akhir yang mengejutkan. “Pergi dan masuklah ke surga dengan rahmat-Ku,” kata Allah kepada si pendosa. Sementara kepada si ahli ibadah, Allah mengatakan: “Wahai malaikat giringlah ia menuju neraka.”
Hikmah yang dapat kita petik dari kisah dalam hadis tersebut adalah bahwa orang yang rajin beribadah sering diasosiasikan sudah merasa paling benar secara mutlak dengan jaminan masuk surga, sementara orang lain yang sering melakukan dosa akan selalu dalam kondisi hina dan nerakalah balasannya, dalam hadis di atas kondisi itu justru sebaliknya. Selain itu, kisah di atas juga menyiratkan pesan secara tegas agar kita tidak merasa paling benar untuk hal-hal yang sesungguhnya menjadi hak prerogatif dan kewenangan Allah SWT.
Tekun beribadah dan meyakini kebenaran adalah hal yang utama bagi setiap orang, tetapi justru menjadi malapetaka ketika perilaku tersebut diikuti dengan rasa ujub dan takabur dengan kewenangan menghakimi (memvonis) orang atau kelompok lain sebagai golongan yang mulia atau hina, masuk neraka atau surga dan dilaknat atau diberi rahmat. Secara lahiriah tidak ada tolok ukur apa pun yang mampu mendeteksi kualitas hati dan keimanan seseorang secara pasti sebagai suatu kebenaran.
Islam sebagai agama yang humanis mengajarkan kepada umatnya agar terhindar dari perilaku merasa paling benar dan diperintahkan untuk selalu melakukan koreksi diri (muhasabah) serta meluruskan niat untuk kebaikan daripada mencari kesalahan pribadi orang lain yang belum tentu lebih buruk di hadapan Allah SWT.
Demikian halnya dalam menentukan suatu kebenaran atas perbedaan seharusnya selalu bersumber pada wahyu Allah dan rasionalitas akal sehat. Sebagaimana dikatakan dalam Alquran bahwa kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu (QS al-Baqarah: 147). (dari berbagai sumber).