Oleh : Imam Trikarsohadi
Ustadz Nur Ali – namanya sama dengan ulama hebat sekaligus pahlawan Bekasi KH Noer Ali — oleh sebab hal ihwal akhirnya menjadi teman saya. Ia juga pewaris dari Masjid Al-jihad.
Kemarin hari, ia bersama teman-teman lainya mengundang saya untuk buka puasa bersama di kediamannya yang juga beralamat di Jalan Nur Ali, Pekayon, Kota Bekasi. Ini berarti kali kedua saya berkunjung.
Kali pertama berkunjung oleh sebab kepentingan rapat, jadi meski agak lama dan sempat sholat ashar berjamaah di masjid Al-jihad, semua berproses biasa saja, belum ada yang memantik gelora saya, apapun itu.
Selepas kunjungan pertama, saya beberapa kali berjumpa Ustadz Nur Ali di berbagai kesempatan, selebihnya sekadar saling mencolek lewat group WA.
Pada kunjungan kedua, saya diundang jam 5 sore, tapi apa boleh buat karena Kota Bekasi diguyur hujan angin nan lebat dan mengeliminir jarang pandang, saya tunda keberangkatan menunggu hujan agak reda.
Selepas maghrib hujan reda. Saya pun bertolak memenuhi undangan Ustadz Nur Ali. Sayangnya, situasi di sepanjang jalan kurang bersekutu, selain terjadi genangan air hujan disana-sini yang cukup merepotkan pengguna jalan, rute lalu lintas yang harus saya lalui pun terlilit kemacetan yang krusial. Maka, saya pun tiba di lokasi pas adzan isya berkumandang.
Saya agak lama bertahan karena ada banyak yang perlu disampaikan kepada teman-teman. Obrolan yang sok serius pun berlalu, berganti perbincangan kekerabatan. Di titik inilah memori saya mulai terpantik. Pertama, situasi kediaman Ustadz Nur Ali yang dikelilingi kebun nan luas dan sebuah masjid besar, mengingatkan saya pada situasi Bekasi era 80-an. Apalagi, jalan Nur Ali berujung pada tembok komplek Kemala Lagon alias jalan buntu, maka nyaris tak ada gangguan raungan knalpot kendaraan nan egois dan bising.
Kedua, situasi seperti itu juga mengingatkan rumah sewaktu kecil di Ciwaringin Cirebon yang juga berada dibelakang masjid dengan kebun nan luas.
Ketiga, topik pembicaraan, tentu saja, pada akhirnya berkutat soal masjid, ngaji dan candaan ala santri sandal japit, sarung yang dislemaping ke pundak, dst.
Faktor-faktor itulah yang membuat saya akhirnya kerasan berlama-lama, dan sekaligus seperti datang pengingat bahwa situasi seperti inilah yang menjadi salah satu sumber kegairahan jiwa.
Saya pun jadi ingat ihwal perumpamaan kawan yang baik dan yang buruk seperti seorang penjual minyak wangi dan pandai besi. Adapun penjual minyak wangi, mungkin dia akan memberikan hadiah kepadamu, atau engkau membeli darinya, atau engkau terkena wangi harum darinya. Sementara (dengan) pandai besi, mungkin dia akan membakar pakaianmu atau engkau memperoleh bau yang buruk.
Esensinya, agar jiwa kita terpelihara, maka dalam soal persahabatan pun kita harus memilih secara sungguh-sungguh. Karena keadaan seseorang bisa dipengaruhi oleh teman terdekatnya. Jika benar persahabatannya, ia akan memperoleh banyak ilmu, hikmah, dan manfaat. Sebaliknya, apabila salah dalam berteman, percikan kesalahan itu juga akan menimpanya.
Sekurang-kurangnya, ada dua kemungkinan kalau bersahabat dengan teman yang baik, yakni diri sendiri akan ikut menjadi baik atau mendapati kebaikan dari sang sahabat.
Dalam sebuah riwayat Rasulullah SAW memberikan pesan, bahwa setiap orang akan dikumpulkan bersama dengan orang yang ia cintai (HR Bukhari-Muslim). Maka, rawatlah persahabatan dengan orang-orang Muslim yang gemar di jalan kebaikan. Sebab, hal itu akan berfaedah kelak di hari akhir.
Kehidupan dunia bagi umat muslim tidak luput dari saling membantu dan bahu membahu saat dalam kesulitan, serta tersenyum ketika sahabat berhasil.
Pada dasarnya juga manusia adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan. Hingga, terbentuklah dari saling membantu tersebut menjadi persahabatan yang saling mendoakan dalam kebaikan, dan berharap persahabatan yang selama ini dijalani bisa sampai ke surga Allah SWT.
Akhirnya cerita, saya pun tiba di rumah pukul 11 malam dengan kegembiraan oleh sebab sudah dipantik dan diingatkan tentang kesejatenan.(*).