Oleh : Ir. Sunu Pramono Budi, MM
Untuk ukuran di desaku, Desa Selat Kecamatan Abiansemal Kabupaten Badung Bali, Keluargaku terbilang miskin. Sebab untuk ukuran di sebut berada di desaku punya lahan perumahan yang disebut Karang umah, rata rata per KK luasnya satu hektar, punya tegalan, dan sawah rata rata lebih dari satu hektar. Hal itu merata saya lihat keadaan di desaku.
Sedangkan keluargaku, hanya memiliki tanah pekarangan lebih kurang dua puluh are, tidak memiliki tegalan, apalagi sawah. Walaupun saat itu masih berumur sepuluh tahun, tapi ketika itu saya sudah dapat merasakan perbedaan kehidupan dengan para tetangga di sekitar rumahku.
Bapak sering berkisah tentang keadaan keluarga. Kalau terus menerus seperti ini, bagaimana nasib anak anak kelak? Aku lima bersaudara, dua laki dan tiga perempuan.
Akhirnya ayah bulat tekadnya. Jalan satu satunya transmigrasi.. Kebetulan sebulan sebelumnya ada seorang warga di desaku pulang dari daerah transmigrasi di Desa Tolai Kecamatan Parigi Sulteng. Panggilan namanya Pan Suri. Beliaulah yang banyak memberikan informasi tentang transmigrasi, termasuk tata caranya, keadaan tanah, dan pola hidup di daerah rantau. Ayahku tertarik. Akhirnya, banyak juga warga yang kehidupannya lebih baik ikut transmigrasi.
Transmigrasi yang diikuti ayah bukan transmigrasi umum yang semua pembiayaannya di tanggung pemerintah, tetapi trans mandiri yang disebut swakarsa. Tiada pelatihan, tiada peninjauan ke daerah yang akan di tuju. Pokoknya semua serba minim informasi, dan hanya berdasarkan kepercayaan informasi yang diberikan oleh Bapak Pan Suri yang langsung didaulat sebagai Ketua rombongan.
Saya ketika itu walaupun berumur sepuluh tahun tetapi masih ingat. Saat itu bulan September 1978. Sanak saudara banyak yang berkumpul di rumah, nenek dari orang tuanya mama menangis. Beliau memang tidak setuju kami berangkat trsnsmigrasi. Mobil bis DAMRI sudah berjejer di depan jalan, menandakan rombongan siap diberangkatkan. Saya merasa senang saya tidak tahu apa itu transmigrasi. Sebagai anak kecil yang saya tahu kita akan naik Bis besar. Sebab seumur umur ketika itu saya belum pernah naik mobil, apalagi akan menuju Surabaya sebagai tempat penampungan sementara.
Di Surabaya kami ditampung di sebuah gudang kayu berlantai dua. Hanya ada satu kamar dan satu WC. Kesulitan hidup mulai kami rasakan. Selama dua belas hari kami ditampung akhirnya kami diberangkatkan dengan kapal pengangkut barang. Saya lihat ada beberapa mobil berjejer dan barang lainnya yang dibungkus terpal dalam kapal. Kami selama lebih kurang seminggu di lautan. Kapal melaju perlahan, goyangan ombak sangat terasa, apalagi kalau hujan. Pasti akan tampias basah karena kami berjejeran di pinggiran. Tapi yang menyenangkan ketika pembagian jatah makan kami menunggu bel berbunyi seperti bel di sekolahan. Jika dengar bel, itu pertanda harus antri mengambil jatah makan.
Setelah seminggu kami di laut lepas, akhirnya kapal berlabuh di pelabuhan Pentoloan Donggala Sulawesi Tengah. Kami pun bergegas turun dengan keadaan setengah mabuk laut, ada yang sempoyongan, ada yang sakit, kuyu, dan baru kita merasa kita akan di bawa ke mana ini.
Akhirnya kami ditampung di sebuah rumah kosong. Masih syukur, ada warung kecil di sampingnya, sehingga kami masih bisa beli makanan hanya sekedar pengganjal perut. Setelah lebih kurang tiga jam menunggu, akhirnya ada beberapa kapal motor merapat di dermaga Pentoloan. Rombongan kami dipecah dalam beberapa kapal motor, yang masing-masing bisa memuat dua puluhan penumpang dengan barang. Saya tidak tahu, kami mau dibawa ke mana.
Setelah hampir dua belas jam mengarungi lautan, akhirnya kapal berlabuh di pesisir pantai Kayu Meloa Kecamatan Pasangkayu Kabupaten Mamuju, saat itu masih propinsi Sulawesi Selatan. Saat ini sudah dimekarkan menjadi Kabupaten Pasangkayu Propinsi Sulawesi Barat saat ini.
Kampung Kayu Meloa di daerah pesisir ini nampak sepi hanya ada beberapa rumah,ssya mulai heran dengan bentuk rumahnya tidak seperti rumah di Bali.
Untuk pertama kali saya melihat model rumah kayu gelondongan panggung. Rumah berdinding batang kayu pipih, dan atapnya dari nipah, mirip sejenis pohon aren. Lantainya dari papan atau bambu. Hampir dua jam kami di pantai sambil membenahi barang bawaan dari Bali. Beras yang di bawa sebagian dibuang, karena busuk terendam air laut.
Setelah menunggu akhirnya kami diangkut menggunakan gerobak sapi. Saya agak ketakutan naik gerobak. Demikian pula kakak dan adik saya masih kecil. Dia menangis ketakutan, takut disepak sapi. Apalagi kusirnya di pinggangnya terselip pisau panjang. Akhirnya saya tahu namanya parang. Saya takut dan ada rasa curiga. Jangan-jangan kita akan dirampok di perjalanan. Tapi setelah mendapat penjelasan dari kepala rombongan Bapak Pan Suri akhirnya kami tahu, bahwa itu kebiasaan sehari-hari masyarakat suku Bugis di pedalaman.
Gerobak sapi berjalan perlahan, karena selain muatannya banyak, juga jalannya becek berlumpur. Kadang lewat semak belukar. Perjalanan sekitar lima belas kilometer. Hmm..lelahnya luar biasa manalagi perut mulai lapar. Sapi yang menarik kami pun nampak lelah. Untuk menambah laju sapi dicambuk berulang kali.
Akhirnya kami tiba di sebuah penampungan yang disebut gudang dipinggir sungai di tengah hutan, yang sebagian kayunya sudah di tebang. Disinilah kami mulai dengan kehidupan. Membabat hutan belantara hanya dengan kapak, bahasa Bali disebut kandik. Membuat rumah dari kayu hutan dan beratap daun rotan. Hidup sangat memprihatinkan, tidak ada sekolah, jalan masih di atas tumbangan kayu, tidak ada petugas kesehatan, semuanya serba tidak ada. Mungkin persis seperti awal mulanya membangun kerajaan Majapahit.
Setahun setelah kami berhasil membabat hutan, membuat rumah sederhana dari kayu gelondongan beratap daun rotan, sudah berhasil pula tanam ubi dan jagung. Ada ternak ayam dan padi Gogo Rancah atau padi ladang. Barulah setelah itu para orang tua kita berpikir membentuk perkampungan, yang kemudian diberi nama Kampung Mertajaya. Kampung ini masuk wilayah Desa Pasangkayu, Kecamatan Pasangkayu, Kabupaten Mamuju Provinsi Sulawesi Selatan.
Para tokoh juga mulai berpikir tentang pendidikan anak anak. Para orang tua kita yang sedikit berpengalaman inisiatif menghadap ke Kecamatan, yang jaraknya satu hari perjalanan pulang pergi, untuk menyampaikan prihal pendidikan anak- anak Transmigran. Termasuk saya yang putus sekolah di caturwulan pertama kelas 4 Sekolah Dasar.
Berdasarkan petunjuk Pak Camat dan Pak penilik sekolah diperintahkan kapada masyarakat, agar membuat sekolah darurat di lokasi pemukiman transmigrasi, sebagai sekolah filial atau kelas jauh dari SD Inpres Pasangkayu, yang berlokasi di ibukota Kecamatan.
Mulailah saya sekolah dengan diajar oleh kakak-kakak yang kebetulan tamatan SLTA. Bahkan ada yang tamatan SLTP. Gaji guru dibayar dengan tenaga murid pada setiap hari Sabtu, berupa kerja bakti di ladangnya guru. Ah, terlalu panjang kisah penderitaannya kalau semua dikisahkan. Tapi syukur, sekarang lokasi itu sudah menjadi daerah yang cukup maju dan makmur. Semuanya berkat kerja keras para orang tua kita yang sebagian besar sudah Almarhum, termasuk Ayah saya yang luar biasa perjuangannya. *(Penulis adalah Ketua Umum DPP PATRI dan Dewan Pakar PKMS).