Oleh : Ir. Sunu Pramono Budi, MM.
Diantara kritik yang dialamatkan kepada Transmigrasi adalah memicu kecemburuan sosial. Biasanya kecemburuan sosial mulai muncul ketika kehidupan Transmigran pendatang lebih baik dibandingkan dengan penduduk sekitarnya. Tapi tidak semua daerah seperti itu. Kecemburuan sosial itu biasanya muncul pada kimtrans yang usianya sudah lebih puluhan tahun. Pemicu dan pelakunya kebanyakan kaum muda yang lahir dan besar setelah permukiman itu berkembang. Bukan oleh mereka yang saat kecilnya sama-sama melihat, bagaimana penderitaan yang dialami warga trans diawal hidup di kimtrans.
Beberapa contoh penyebab kecemburuan sosial diantaranya: mengapa Transmigran bisa menyekolahkan anaknya hingga jenjang tinggi? Bahkan sampai ada yang menjadi profesor, perwira tinggi TNI/POLRI, atau pengusaha sukses. Mengapa trans bisa punya ternak, bisa punya warung, punya kendaraan, dan lainnya. Padahal pada waktu baru datang, tidak punya apa-apa. Bahkan makanpun seadanya. Gaplek, oyek, jagung, ampog, thiwul, srowot, gembili, dan umbi hutan lainnya.
Ada juga trans yang diawal kehidupan menjadi buruh sadap karet, pemetik kelapa, dan dodos sawit di kebun milik penduduk sekitarnya. Terlebih saat jadup habis, dan gagal panen. Mereka tetap tegar bertahan di permukiman. Menempuh perjalanan jauh, demi mengadu nasib. Menjadi buruh bangunan di kota, jadi tukang becak, buruh panggul, kuli pelabuhan, tambang pasir, panglong, ngamen, dan pekerjaan kasar lainnya. Sedangkan trans dari warga setempat yang punya kesempatan dan hak yang sama, tidak berusaha bertahan. Ketika jadup habis, dan tanaman belum menghasilkan, mereka memilih meninggalkan permukiman. Akibatnya rumahnya rusak.
Anehnya, keberhasilan transmigran itu menyebabkan kecemburuan warga sekitar. Sangat disayangkan. Cemburunya itu bukan pada proses, tetapi setelah trans berhasil. Padahal jika mereka mau kerja keras, mengalami jerih payah, tekun, dan sabar seperti warga Transmigran, insya Allah bisa juga berhasil.
Mereka yang cemburu itu juga tidak membandingkan. Bagaimana warga trans yang punya 2 Ha dibandingkan dengan pemilik tanah HGU ribuan hektar yang ada disekitarnya. Selain itu, hingga kini masih banyak warga trans belum jelas hak milik tanahnya. Padahal, trans sebagai petani sangat menggantungkan hidup dari bercocok tanam. Bagaimana nasib petani trans jika tanpa tanah garapan?
Pemilik HGU itu hanya segelintir orang. Mereka bisa menguasai tanah lebih 30-60 tahun. Bahkan bisa diperpanjang lagi. Bisa jadi, pemilik HGU itu juga tidak pernah merasakan beratnya tinggal di perkebunan. Jika transmigran yang punya tanah 2 Ha bisa beli sapi, memperbaiki rumah, dan menyekolahkan anaknya, bagaimana kekayaan pemilik HGU lebih 30.000 Ha? Bedanya, pemilik HGU perkebunan itu tidak membeli sapi, membangun hotel, gedung pencakar langit, atau membeli pesawat yang dapat dilihat di sekitar perkebunan itu. Sehingga, walaupun kekayaannya sangat fantastis tidak menimbulkan kecemburuan sosial. Hal seperti ini perlu diketahui dan direnungkan oleh mereka yang masih cemburu.
Dengan tulisan ini, semoga kita (pemerintah, Transmigran, warga sekitar, pemilik HGU, aktivis lapangan) bisa berpikir cerdas dan jernih. Apa yang harus kita lakukan? Karena kecemburuan sosial seperti ini merugikan, melemahkan semangat berprestasi.
Transmigran bukan pengambil kebijakan. Sehingga cemburu seperti itu salah alamat. Jika kecemburuan itu tetap dibiarkan, akan menghambat semangat bersatu, maju, dan bersinergi membangun daerah.
Mari kita yang peduli Gerakan Transmigrasi berdiskusi. Berikan pemahaman kepada mereka yang cemburu dan suka menebarkan ujaran kebencian. Transmigrasi adalah program mulia untuk membangun daerah dan menyatukan potensi anak bangsa. Transmigran bukan penduduk liar. Mereka warga bangsa ini juga. Hadirnya diatur oleh pemerintah. Saatnya kita bersinergi mencari solusi, demi kejayaan dan keutuhan NKRI.(Penulis adalah Ketua Umum DPP Patri dan Anggota Dewan Pakar PKMS).