Oleh : Imam Trikarsohadi

Politik, dalam buku-buku para ulamasalafush shalih dikenal istilah siyasah syar’iyyah. Dalam Al Muhith, siyasah berakar kata sâsa – yasûsu. Dalam kalimat Sasa addawaba yasusuha siyasatan berarti Qama ‘alaiha wa radlaha wa adabbaha (mengurusinya, melatihnya, dan mendidiknya). Bila dikatakan sasa al amra artinya dabbarahu (mengurusi/mengatur perkara).

Jadi, asalnya makna siyasah (politik) tersebut diterapkan pada pengurusan dan pelatihan gembalaan. Lalu, kata tersebut digunakan dalam pengaturan urusan-urusan manusia; dan pelaku pengurusan urusan-urusan manusia tersebut dinamai politikus (siyasiyun). Dalam realitas bahasa Arab dikatakan bahwa ulil amrimengurusi (yasûsu) rakyatnya, mengaturnya, dan menjaganya. Dengan demikian, politik merupakan pemeliharaan (ri’ayah), perbaikan (ishlah), pelurusan (taqwim), pemberian arah petunjuk (irsyad), dan pendidikan (ta`dib).

Politik menjadi penting di Indonesia karena menganut sistem demokrasi yang cukup liberal. Jika dicermati, proses politik nyaris tanpa henti, entah itu saat ada moment-moment konstestasi maupun sebelum dan sesudahnya. Bahkan, setiap kebijakan dan keputusan publik, selalu ada unsur kepentingan politik didalamnya.

Dan apa boleh buat, menjelang  tutup tahun 2022 ini, pelbagai preparation kegiatan politik mulai dihidupkan, baik untuk tujuan pileg, pemilu, pilpres maupun pilkada. Pemetaan dan persiapan mulai dilakukan disegala lini. Kondisi ini telah memantik para elit dan loyalis mulai belomba untuk membangun diksi politik.

Aneka macam narasi mulai dibangun, tak ketinggalan juga narasi-narasi yang penuh satire kebencian, persepsi semu, janji-janji politik, drama-drama pencitraan, taktik-taktik terselubung untuk mendiskreditkan,  hingga ledekan dan hinaan. Itu semua dapat kita lihat diberbagai jejaring media sosial.

Padahal, narasi-narasi buruk dan memburuk-burukan atau lazim disebut tindakan deskontruktif, sejatinya secara etik tidak dibenarkan, karena bertentangan dengan terminologi politik yakni bahwa politik adalah usaha warga negara dalam mewujudkan kebaikan bersama. Dengan kata lain,suatu konsepsi politik yang didasari sentimen politik tanpa sikap moral (moral feeling) maka hepotesisnya akan menciptakan cultural-politic balas dendam dan balas jasa semata.

Terkait hal ini, semestinya etika berpolitik  dipahami sebagai seni untuk melayani bukan untuk menghakimi satu dengan yang lainnya. Sayangnya, atau celakanya, justru tindakan deskontruktif malah jadi kebiasaan baru masyarakat dalam tradisi berpolitik.

Sebab apa ? Jawabnya, karena di negeri ini, perpolitikan diposisikan sebagai jalan mengukuhkan kekuasaan, maka konsekuensinya terbentuk paradigma   dari para elit dan loyalis  yang cenderung menghalalkan segala macam cara demi tampuk kekuasaan politik. Kebiasaan inilah yang dinilai sabagai rujukan teoritis para elit dan loyalis dalam mencari dukungan suara rakyat.

Inilah yang kemudian menciptakan kebiasaan buruk dalam ruang-ruang diskusi para loyalis maupun konten media sosial yang dipenuhi dengan hujatan bernada sinis,menghina lawan politik, serta mendeskreditkan kompetitor guna mencapai hasrat politik. Cara – cara politik non etis semacam ini, tidak relevan bagi orang beragama, berilmu dan beradab dalam tatanan kehidupan sosial masyarakat.

Sebaliknya, jika jalan politik diposisikan sebagai jalan pengabdian kepada masyarakat, maka rumusan prilaku politik para elit dan loyalis mesti dikonstruksikan dengan memunculkan gagasan konstruktif yang dapat memberi jaminan kesejahteraan, kebaikan dan kemaslahatan bersama terlepas dari perbedaan pandangan politik atau asal muasal parpol.

Indikator inilah seharusnya lebih dominan untuk dimunculkan secara objektif dan rasional dalam ruang dikusi maupun mobilisasi politik di jejaring media sosial. Sehingga bargaining position kekuasan politik, pada prinsip aplikatifnya dapat menjadi jalan pengabdian yang memiliki manfaat bagi orang lain. Disinilah perlunya fungsi kritis dari elemen masyarakat agar dapat menilai calaon para anggota dewan, calon kepala daerah dan calon presdiennya yang dianggap memiki bobot dari aspek visi maupun proyeksi masa depan dalam membangun kesejahteraan rakyat.

Sebab itu, esensi nilai kedawasaan masyarakat dalam berpolitik, bukan sekedar fanatisme belaka, bukan sekedar kepentingan komunal maupun hanya menjadi “tim hore”,  melainkan atas dasar pertimbangan etis dan rasionalitas sebagai kerangka perilaku dalam diri (personal attitude). Paradigma politik yang demikian dapat mengantarkan adanya sikap kemerdekaan dalam berpolitik sesuai dengan jaminan konstitusi bagi setiap warga negara demokratis.

Dengan demikin kultus ethic tertinggi dari dalam diri seorang manusia dalam berpolitik, paling tidak harus menekankan dimensi prilaku politik berbasis gagasan serta sikap politik berlandaskan adab dan akhlak sebagai orang beragama  dalam kehidupan bermasyarakat.

Sebab itu pula, orang-orang yang berakhlak mulia, cerdas dan  pandai harus terlibat dalam seluruh proses politik. Sebab,  politik itu keharusan yang tak bisa dihindari. Karena secara praktis, politik sejatinya merupakan aktivitas yang mulia dan bermanfaat karena berhubungan dengan pengorganisasian urusan masyarakat/publik dalam bentuk yang sebaik-baiknya.

Tak ada orang yang bisa menghindari politik karena setiap orang pasti hidup di suatu negara, sedangkan negara adalah organisasi politik tertinggi. politik merupakan bagian dari kehidupan manusia dan tidak ada seorang pun yang bisa lepas dari politik. Begitu kita lahir, kita sudah bergabung dengan organisasi tertinggi yakni negara. Tidak ada seorangpun yang hidup tanpa terikat oleh politik. Orang yang ingin mempengaruhi kebijakan negara haruslah merebut kekuasaan politik. Orang yang menyatakan tidak mau terlibat dalam politik dan membiarkan kekuasaan politik diambil orang, maka dia terikat pada kebijakan-kebijakan pemenang kontes politik, betapa pun tak sukanya dia pada kebijakan itu. Karena itu, dapat dikatakan bahwa politik itu adalah fitrah atau sesuatu yang tak bisa dihindari.

Bagi ummat Muslim. Seperti diketahui, Islam adalah agama universal, meliputi semua unsur kehidupan, dan politik, negara dan tanah airi adalah bagian dari Islam. Tidak ada yang namanya pemisahan antara agama dan politik. karena politik bagian dari risalah Islam yang sempuran. Seperti ungkapan bahwa tidak ada kebaikan pada agama yang tidak ada politiknya, dan tidak ada kebaikan dalam politik yang tidak ada agamanya.

Di dalam Islam pun, politik mendapat kedudukan dan tempat yang hukumnya bisa menjadi wajib. Para ulama kita terdahulu telah memaparkan nilai dan keutamaan politik. Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa Dunia merupakan ladang akhirat. Agama tidak akan menjadi sempurna kecuali dengan dunia. Memperjuangkan nilai kebaikan agama itu takkan efektif kalau tak punya kekuasaan politik. Memperjuangkan agama adalah saudara kembar dari memperjuangkan kekuasaan politik (al-din wa al-sulthan tawamaan).

Dalam kaitan inilah ada kaidah ushul fiqh yang menyebutkan “Ma la yatimmul wajib illa bihi fahuwa wajib” (Jika ada satu kewajiban yang tidak bisa dilaksanakan kalau tidak ada sesuatu yang lain, maka sesuatu yang lain wajib juga diadakan/ dipenuhi). Dengan kata lain, “jika kewajiban mensyiarkan nilai kebaikan Islam tak bisa efektif kalau tidak berpolitik, maka berpolitik itu menjadi wajib pula hukumnya.” Inilah yang menjadi dasar, mengapa sejak awal turunnya Islam, muslimin itu sudah berpolitik, ikut dalam kegiatan bernegara, bahkan mendirikan Negara, dan Rasulullah, SAW, Khulafaur Rasyidin serta para pemimpin islam terdahulu telah membuktikanya.

Dalam konteks ke-Indonesiaan sekarang ini kaum muslimin tidak boleh apatis terhadap pemilihan pemimpin di tiap tingkatan, termasuk memilih presiden dan calon presiden. Kita tetap harus memilih karena siapa pun yang terpilih akan menentukan arah kebijakan negara yang juga mengikat kita.

Sebab itu, kita harus berkontribusi untuk negeri ini dengan memilih pemimpin dengan bijaksana. Memilih pemimpin yang bisa mengatur urusan negara dengan baik, memakmurkan dan mensejahterakan rakyat, pemimpin yang jujur, tegas dalam bersikap dan mempunyai kewibaan serta pemimpin yang bisa menampung aspirasi umat Islam dan didukung oleh mayoritas umat Islam.

Oleh sebab itu layaknya kita mengharapkan pemimpin yang memperjuangkan aspirasi umat Islam dan melenyapkan segala kerusakan dan kezaliman yang bisa merugikan rakyat, negeri dan agama. Utsman bin Affan Ra pernah berkata, Kezaliman yang tidak dapat dilenyapkan Alquran akan Allah Swt lenyapkan melalui tangan penguasa. Itulah aura pemimpin yang diharapkan. (Penulis adalah Dosen, Advisor, Wartawan Senior dan Anggota Dewan Pakar Pusat Kajian Manajemen Strategik/PKMS).

Bagikan:

Tinggalkan Balasan