Dede Farhan Aulawi (Pemerhati SDM)

Sesulit – sulitnya mencari pemimpin yang cerdas, jauh lebih mudah dari pada harus menemukan pemimpin yang berintegritas. Itulah sebabnya para ahli SDM mengatakan bahwa “Integrity is a top leadership attributes”. Memang banyak variabel yang berpengaruh terhadap kesuksesan seorang pemimpin, tetapi variabel yang sangat berpengaruh adalah integritas. Meskipun ada juga ahli yang mengatakan bahwa pentingnya integritas bagi seorang pemimpin setaraf dengan pentingnya kreativitas. Namun terlepas dari semua itu menunjukkan bahwa integritas dan kreativitas sama pentingnya.

Berbicara terkait SDM saat ini memang cenderung banyak membahas aspek kuantitaif dan kualitatif. Aspek kuantitatif berbicara tentang jumlah keperluan personil yang dibutuhkan berdasarkan perhitungan workload analysis yang menghasilkan man power planing. Sementara aspek kualitatif banyak berbicara masalah pemenuhan kompetensi dari personil sesuai dengan job description maupun job requirement-nya. Kemudian muncul apa yang disebut dengan training need analysis yang berbuah pada training plan. Sebenarnya kedua aspek tersebut belum lengkap karena belum mengintegrasikan prasyarat integritas bagi personil yang akan menduduki jabatan tertentu, khususnya jabatan sebagai seorang leader (pemimpin). Baik pemimpin kewilayahan, pemimpin satuan maupun pemimpin fungsional. Padahal jika pun jumlah personil sudah terpenuhi sesuai kebutuhan, begitupun kompetensinya sudah terpenuhi, tetapi jika tidak diikuti oleh pembangunan karakter kepemimpinan yang berintegritas maka kesucian misi organisasi bisa rusak.

Coba perhatikan orang – orang yang tertangkap tangan oleh KPK karena melakukan tindak pidana korupsi misalnya, mereka bukan orang – orang yang tidak berpendidikan atau tidak memiliki kompetensi tertentu. Mereka adalah orang – orang kompeten, orang – orang profesional, bahkan tidak sedikit pula yang pernah mengenyam pendidikan di luar tinggi. Namun sayangnya, kehebatan intelektualitas yang sudah mereka dapatkan di perguruan tinggi belum dibarengi dengan pembangunan karakter yang berintegritas. Akhirnya segala kehebatan intelektualitas dan kehormatan sosialnya, hancur oleh perilaku yang tidak berbasis integritas. Mereka yang melakukan tipikor juga bukanlah orang – orang miskin, tetapi justeru orang kaya yang serakah dimana mereka menyalahgunakan kewenangan dan kesempatan yang dimilikinya. Itulah sebabnya Jack Bologne Gone Theory menyebutkan bahwa faktor penyebab korupsi diantaranya karena keserakahan dan kesempatan. Dalam konteks ini menyadarkan perlunya penyelerasan konsep pembangunan intelektualitas yang seiring dengan pembangunan karakter berintegritas. Apalagi bagi mereka yang dibahunya menyandang gelar sebagai seorang pemimpin.

Dengan demikian maka integritas menjadi kunci utama kepemimpinan, maka dalam setiap membuat keputusan yang benar harus pada waktu yang benar dalam bersikap dan berperilaku, disitulah terletak pondasi atau dasar dalam membangun trust atau kepercayaan dan hubungan horisontal dan vertikal dalam suatu organisasi. Pemimpin yang memiliki integritas yang tinggi akan bersikap dan bertindak terhormat dan benar dalam setiap kebijakan dan tindakannya. Sikap dan perilakunya akan senantiasa selaras dengan apa yang ia ucapkan.

Banyak kepemimpinan yang gagal saat ini karena tidak selarasnya antara ucapan dan perbuatan. Kebohongan dan dusta merupakan salah satu manifestasi sikap dan karakter pemimpin yang tidak berintegritas. Itulah sebabnya pemimpin yang tidak berintegritas tidak bisa dijadikan tauladan dan rujukan dalam suatu organisasi. Perintahnya dilaksanakan oleh anak buah hanya karena secara hirarkis dia pimpinannya, meskipun hatinya jengkel dan menolak. Itulah sebabnya kepemimpinan yang berintegritas justeru akan tercermin pada seseorang yang sudah tidak menjabat lagi. Jika sudah tidak menjabat dan anak buah atau relasinya tetap respek pada dirinya, sikap dan perbuatannya sering dijadikan tauladan maka hal tersebut merupakan salah satu ciri pemimpin yang berintegritas. Tetapi jika sebaliknya, misalnya sudah tidak menjabat, mantan anak buah dan relasinya cenderung lebih cuek, maka perlu mengambil cermin untuk melakukan interospeksi barangkali selama ini ada sesuatu yang keliru. Mungkin terlalu sering tidak selarasnya antara ucapan dan kebijakan.

Itulah sebabnya dalam pandangan etika, integritas dapat diartikan juga sebagai kejujuran dan kebenaran dari tindakan seseorang. Lawan katanya adalah hipocrisy (hipokrit atau munafik) dimana tindakan dan kebijakannya tidak sesuai dengan ucapan, nilai-nilai dan prinsip kejujuran hidup secara umum. Perbuatannya tidak sejalan dengan sumpah dan janji yang pernah ia ikrarkan di bawah naungan kitab suci sesuai agama yang dianutnya, dan disaksikan oleh segenap pimpinan, kolega dan pemberi mandatnya. Apa yang ia ucapkan mengalir begitu ringan dan gampang tanpa menyadari konsekuensi moral dan hukum saat dimintai pertanggungjawabannya dihadapan Tuhan.

Seseorang yang mempunyai integritas bukan tipe manusia dengan banyak wajah dan penampilan yang disesuaikan dengan motif dan kepentingan pribadinya. Integritas dan kepemimpinan mempunyai hubungan yang sangat erat satu sama lain. Jadi ‘integrity is doing what we say will do’. Kita mungkin akan teringat ucapan Dwight Eisenhower yang mengatakan “The supreme quality for leadership is unquestionable integrity. Without it, no real success is possible “. Terjemahan bebasnya “Kualitas tertinggi untuk kepemimpinan adalah integritas yang tidak perlu dipertanyakan lagi. Tanpanya, tidak mungkin ada kesuksesan yang sesungguhnya “. Kalimat yang sederhana ini jika dicermati dengan baik maka akan menemukan makna yang dalam. Kemudian Moorman juga menjelaskan terkait dengan “Visual of Integrity” yang merupakan irisan ‘Morality Values’ dengan ‘Consistency’. Sementara itu Stephen R.Covey membedakan antara kejujuran dan integritass, dimana ia mengatakan “honesty is telling the truth, in other word, conforming our words reality-integrity is conforming to our words, in other words, keeping promises and ful-filling expectations. ” Kejujuran berarti menyampaikan kebenaran, ucapannya sesuai dengan kenyataan. Sedang integritas membuktikan tindakannya sesuai dengan ucapannya “.

Untuk itulah diperlukan adanya ikhtiar kolektif untuk sama – sama membangun karakter pribadi, karakter unit organisasi dan karakter organisasi secara keseluruhan yang berintegritas. Kemudian berbicara cara membangun integritas secara umum berprinsip pada (1) pemahaman penting dan urgensinya karakter berintegritas, (2) mau, berniat dan ada tekad untuk memulai membangun karakter berintegritas, (3) konsekuen dan konsisten dalam menerapkan nilai – nilai, (4) mengajak lingkungan sosial terkecil untuk membangun lingkungan berintegritas, dan (5) memiliki kematangan emosional dan kedewasaan spiritual uantuk menata secara apik ucapan dan perilaku dalam kehidupan empirik sosial yang lebih besar.

Jika sudah ada pemahaman kolektif baik secara individual maupun organisasional terkait dengan pentingnya membangun karakter kepemimpinan yang berintegritas, maka perlu dibuat sebuah perencanaan konkrit yang sederhana guna mengukuhkan sebuah niat dan tekad yang kuat, serta dilakukan secara terus menerus alias berkesinambungan. Mungkin tidak bisa langsung 100% menjadi manusia yang sempurna, tetapi dengan road map pribadi yang jelas dan terarah, maka secara bertahap karakter integritas ini akan terbangun. Secara paralel gerakan dan kampanye ‘karakter berintegritas’ ini harus digaungkan dan diresonansikan kepada lingkungan yang lebih besar sehingga menimbulkan getaran spiritual dalam membangun lingkungan organisasi yang lebih baik dan lebih baik lagi.

Referensi :
– Dineen, B. R., Lewicki, R. J., Tomlinson, E. C. (2006). Supervisory guidance and behavioral integrity: Relationships with employee citizenship and deviant behavior. Journal of Applied Psychology, 91, 622-635.
– Dirks, K. T., Ferrin, D. L. (2002). Trust in leadership: Meta-analytic findings and implications for research and practice. Journal of Applied Psychology, 87, 611-628.
– Grojean, M. W., Resick, C. J., Dickson, M. W., & Smith, D. B. (2004). Leaders, values, and organizational climate: Examining leadership strategies for establishing an organizational climate regarding ethics. Journal of Business Ethics, 55, 223-241.
– Johnson, M. K., Rowatt, W. C., & Petrini, L. (2011). A new trait on the market: Honesty- Humility as a unique predictor of job performance ratings. Personality and Individual Differences, 50, 857-862.
– Palanski, M. E., & Yammarino, F. J. (2011). Impact of behavioral integrity on follower job performance: A three-study examination. The Leadership Quarterly, 22, 765-786.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan