Oleh : Imam Trikarsohadi
Dalam kehidupan sehari-hari (sebut ; kehidupan sosial), berbohong merupakan salah satu upaya yang kerap dilakukan seseorang untuk mempermulus jalan mencapai suatu hal.
Bohong menjadi pilihan terakhir bagi mereka yang menganggap kebenaran tidak tepat untuk diungkapkan di situasi dan kondisi tertentu.
Alasan lain, bohong juga biasa digunakan oleh seseorang untuk mengamankan posisinya, bisa juga karena takut diketahui atau untuk menjaga hubungan baik dengan seorang lainnya.
Berbohong dalam konteks ini disebut dengan istilah interpersonal deception atau kebohongan antarpribadi. Namun, dalam konteks berbeda, kebiasaan berbohong bisa menjadi indikasi seseorang terkena ganggunan psikologis yang disebut sebagai pathological lying atau kebohongan patologis.
Nah, jika sudah demikian, mesti berhati-hati, karena seseorang yang sudah terkena syndrom kebohongan patologis, secara kasat mata sepertinya baik-baik saja, padahal sebenarnya sudah konslet, sebab ia merasa tak sempurna kalau tidak berbohong..
Kebohongan patologis mengacu pada kebohongan yang dilakukan secara tidak terencana dan tiba-tiba. Maksudnya tidak terencana adalah dia tidak berstrategi terlebih dahulu. Pokoknya bohong saja.
Tidak ada motivasi psikologis ataupun keuntungan yang diharapkan oleh seseorang yang melakukan kebohongan patologis ini. Jenis kebohongan yang satu ini juga meliputi kebohongan yang dilakukan secara kompulsif atau berulang-ulang untuk alasan tertentu, misalnya meredam kecemasan, ingin dianggap hebat atau tajir, dan sebagainya. Kebohongan dalam konteks ini tidak dapat disebut sebagai sebuah kewajaran, karena mengacu pada suatu gangguan kejiwaan.
Dilakukan secara Sadar
Terlepas dari motif yang dimiliki seseorang berbuat bohong, yang jelas berbohong merupakan tindakan manipulasi data yang dilakukan secara sadar agar lawan bicara percaya dengan apa yang kita katakan.
Sebab itu, tidak ada kebohongan yang dilakukan dengan tidak sadar. Adapun, yang ada hanyalah kebohongan yang sudah menjadi kebiasaan.
Berbohong sebenarnya adalah proses yang kompleks, karena pernyataan satu akan membutuhkan pernyataan yang lain. Maka dari itu, tak heran jika satu kebohongan akan diikuti oleh kebohongan yang lain.
Sebab, kebohongan adalah fakta baru yang coba dikonstruksikan oleh pelaku, yang butuh dikuatkan oleh fakta lain.
Seseorang yang menyatakan sesuatu dengan tidak jujur biasanya akan membutuhkan waktu lebih saat memberikan jawaban.
Artinya, membuat kebohongan itu merupakan hal yang kompleks dan rumit. Jadi mereka tampak mikir dulu dengan menunda menjawab, butuh waktu jeda.
Hal itu diiringi dengan raut muka atau intonasi kalimat yang menunjukkan ketidakyakinan, atau perasaan ragu. Karena itu, ada satu celah yang harus dicari untuk mengetahui kebohongan seseorang. Celah itu adalah terkait pernyataannya konsisten atau tidak.
Jadi, hal yang paling bisa kita lakukan untuk melihat seseorang berbohong atau tidak adalah dari kekonsistenan cerita, dan antara cerita dengan perilaku yang nyata.
Jika antara omongan dan tindakan berpuluh-puluh kali tidak nyambung, maka pertanda kita sedang berhubungan dengan pembohong. (Penulis adalah Dosen Pengampu Universitas Indonesia Mandiri).